Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada kekeliruan tanggal pengeboman Kota Padang,” Bukit Tinggi, dan Manado dalam bagian tentang PRRI/Permesta di bawah judul Gerakan Separatis Belum Usai, TEMPO Edisi Khusus 17 Agustus (18-24 Agustus 2003), halaman 80-81. Pengeboman dilakukan bukan pada 12 Februari 1958, melainkan pada 21 dan 22 Februari 1958, seminggu sesudah pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Jadi, pembentukan PRRI bukan ”jawaban” atas pengeboman itu, seperti yang ditulis TEMPO. Pengeboman itulah yang jadi jawaban pemerintah pusat terhadap pembentukan PRRI dan Permesta. Selain itu, TEMPO edisi yang sama menyesatkan karena menempatkan PRRI/Permesta pada kelompok yang sama dengan Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan Organisasi Papua Merdeka di bawah judul Gerakan Separatis Belum Usai itu tadi. PRRI bukanlah gerakan separatis, dan selayaknya tidak berada di bawah judul itu. Amatlah panjang latar belakang persoalannya untuk diuraikan di sini. Karena itu, mari dilihat dari saat-saat terakhir sebelum PRRI dibentuk. Ketegangan politik (termasuk ketegangan di tubuh Angkatan Darat) pada waktu itu membuat mereka yang tidak puas kepada pemerintah pusat—di Sumatera dan Sulawesi—mengeluarkan ultimatum (10 Februari 1958) agar Kabinet Perdana Menteri Djuanda mengundurkan diri dalam tempo lima hari. Mereka mendesak mantan wakil presiden Moh. Hatta serta Sri Sultan Hamengku Buwono IX membentuk kabinet baru. Jika ultimatum itu tidak dipenuhi, mereka mengancam akan membentuk pemerintahan tandingan di Sumatera. Djuanda tidak menanggapi ultimatum ini, sedangkan Presiden Sukarno tengah ”berlibur panjang” (untuk waktu enam minggu) di luar negeri. Karena ultimatum itu tidak digubris, pada 15 Februari 1958, mereka yang menentang pemerintah pusat membentuk PRRI di Padang, dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Siapa bilang ini gerakan memisahkan diri dari Republik Indonesia? PRRI dan rakyat yang bersimpati terhadap perjuangannya menyebut pasukan TNI yang memerangi PRRI sebagai ”Tentara Sukarno” atau ”Tentara Pusat”, bukan ”Tentara Indonesia” ataupun ”TNI”. Murid-murid sekolah di pengungsian sepanjang 1958-1961 senantiasa memperingati Hari Proklamasi 17 Agustus, mengibarkan bendera Merah Putih dengan menyanyikan Indonesia Raya, bahkan mengibarkan bendera setengah tiang pada setiap 10 November (Hari Pahlawan). Jadi, apa alasan untuk menyebut PRRI sebagai separatisme? Hanya, Mayor Jenderal A.H. Nasution, Menteri Keamanan Negara/Kepala Staf Angkatan Darat pada waktu itu, memakai istilah ”kembali ke pangkuan Republik” ketika menawarkan ”penghentian perlawanan” kepada PRRI/Permesta. Sebagai bahasa politik, pemakaian istilah itu dapatlah dimaklumi. Untuk kepentingan politik pulalah, dalam waktu yang lama—bahkan dalam pelajaran sejarah di sekolah—dikesankan bahwa PRRI/Permesta adalah gerakan separatisme, walau penjelasan sejarawan dan ahli ilmu politik lewat berbagai penelitian membantah hal itu. Selayaknya TEMPO memperhatikan kejujuran melihat sejarah dan berbuat lebih teliti. Terlepas dari segenap akibatnya, aspirasi politik PRRI/Permesta janganlah disamakan dengan separatisme, termasuk menaruhnya di bawah satu judul yang sama dengan RMS, OPM, ataupun GAM, suatu hal yang mungkin dianggap sepele, padahal sama sekali tidak remeh.
MASMIMAR MANGIANG
Jalan Cucakrawa 6
Jakarta 12840
Klarifikasi Majalah NARWASTU Pembaruan Kami ingin mengklarifikasi tulisan TEMPO Edisi 11-17 Agustus 2003, halaman 32. Dalam Laporan Utama berjudul Foto Terakhir Berlatar JW Marriott ada kalimat ”Gadis Kawanua 26 tahun ini menghadap kamera fotografer majalah Narwastu” dan ”Angelina berpose untuk sampul majalah Katolik itu.” Perlu kami jelaskan bahwa yang benar adalah ”Majalah NARWASTU Pembaruan”. Majalah kami juga bukan majalah Katolik, melainkan majalah bernapaskan Kristiani. Majalah kami tidak diterbitkan oleh orang-orang Katolik, tapi oleh orang-orang dari berbagai gereja.
JONRO I. MUNTHE
Pemimpin Redaksi Majalah NARWASTU Pembaruan
Jalan Pramuka Raya 19A, Jakarta Timur
Penarikan Peredaran Produk Makanan Beberapa koran di Jakarta memberitakan bahwa Menteri Kesehatan Ahmad Sujudi meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menarik produk makanan yang terbukti mengandung MSG (vetsin) tapi tidak mencantumkan kandungan itu dalam kemasan. Menurut Menteri Ahmad Sujudi, hal itu melanggar Pasal 33 ayat 2 UU No. 8/1999 dan Pasal 5 PP 69/1999. Apalagi mengandung MSG, menurut dia, seolah-olah MSG itu bahan tambahan pangan (BTP) yang berbahaya. Ucapan tersebut menunjukkan bahwa Menteri Kesehatan tidak memahami PP 69/1999 itu dengan baik dan benar. Menurut pasal 61 ayat 4, masukan itu harus diberikan Menteri Kesehatan kepada menteri teknis, bukan kepada Kepala BPOM, yang bukan menteri teknis. Lagi pula tindakan administratif berupa penarikan itu, menurut pasal 61 ayat 3, ”Hanya dapat dilakukan setelah peringatan tertulis diberikan sebanyak-banyaknya tiga kali.” MSG adalah BTP di antara 342 macam BTP. Sampai sekarang, pemerintah/Departemen Kesehatan tidak menyebutkan bahan apa saja yang termasuk BTP (food additive). Menteri Kesehatan sebelumnya, 15 tahun lalu, pernah mengeluarkan surat keputusan yang berisi daftar 342 BTP yang diizinkan untuk ditambahkan pada pengolahan pangan. Menteri Ahmad Sujudi juga tidak dapat membuktikan bahaya penggunaan MSG sebagai landasan penarikan produk makanan. Padahal MSG di Amerika dinyatakan sebagai bahan yang aman dan dimasukkan ke daftar GRAS (generally recognized as safe). Selain itu, tidak ada pasal dalam PP 69/1999 yang menyebutkan berat BTP dalam produk makanan harus disebutkan dalam label atau iklan. Pada label makanan kecil yang diimpor dari Amerika (ML 562204001 S) saya baca adanya 10 macam BTP yang digunakan, termasuk MSG, tapi tanpa menyebut kandungan/berat bahannya masing-masing. Dalam PP 69/1999, nama Menteri Kesehatan disebut 10 kali sebagai pejabat yang akan mengeluarkan peraturan pelaksanaan, tapi belum ada satu pun peraturan tersebut yang diterbitkan.
DRS. SUNARTO PRAWIROSUJANTO
Jalan Patiunus 8 Blok 5, RT 004/004
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Koreksi Surat Pembaca Dalam rubrik Surat di Majalah TEMPO Edisi 11-17 Agustus 2003, berjudul Bubarkan Perhutani, tercantum nama saya sebagai penulisnya. Saya mohon diralat karena tulisan itu bukan buah pemikiran saya.
F.S. HARTONO
Yogyakarta
—Kami minta maaf atas kekeliruan tersebut.
Sidang Tahunan MPR Sidang Tahunan (ST) MPR telah berakhir. Banyak kalangan, termasuk sebagian anggota MPR sendiri, menilai ST kali ini seakan hanya sebuah reuni dari orang-orang yang dipilih menjadi wakil rakyat dengan biaya sangat besar. Ibarat reuni karena tidak memiliki nilai yang penting, banyak agenda pembahasan yang kurang mendesak. Percepatan ST—semula direncanakan sepuluh hari kemudian disingkat menjadi tujuh hari—mengisyaratkan bahwa agenda yang dibicarakan kurang penting sehingga dapat dibicarakan dalam waktu yang singkat, tidak perlu pembahasan, diskusi, serta perdebatan yang lama dan mendalam. Ironisnya, semua ini harus dibiayai rakyat sekitar Rp 20,7 miliar. Inilah pemborosan uang rakyat yang justru dilakukan oleh wakil-wakil rakyat. Pemborosan uang rakyat oleh para anggota legislatif ini sama parahnya dengan pemborosan uang rakyat oleh kalangan eksekutif. Padahal, pada saat yang sama, beban hidup rakyat semakin dan semakin berat: subsidi pendidikan dicabut (biaya sepenuhnya dibebankan kepada rakyat), tarif listik, air, dan telepon naik, kekeringan melanda berbagai wilayah di Indonesia hingga memunculkan rawan pangan, serta sederet hal lain yang menambah penderitaan rakyat.
SRI HERAWATI
Jalan Borobudur 177, Perum Bumi Bekasi, Jawa Barat
Hasil ’Polling’ PDIP Ada empat alasan keprihatinan kita soal diusulkannya pembekuan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) PDIP yang melakukan polling. Pertama, setelah bersusah payah merancang, melaksanakan, dan membahas polling—tentu menghabiskan waktu dan uang tidak sedikit—bukannya menyusun rekomendasi untuk menindaklanjuti polling, Ketua Balitbang Kwik Kian Gie malah mengusulkan pembekuan Balitbang PDIP. Kita prihatin karena sungguh ”tidak nyambung” logika usul pembekuan balitbang dengan buruknya hasil polling bagi Megawati dan PDIP. Kedua, dalam manajemen yang baik, masukan bagi organisasi, betapapun buruknya—seperti polling yang dilakukan Balitbang PDIP—seharusnya dibahas. Apalagi, menurut kesimpulan tim Sukowaluyo, hasil polling balitbang tersebut konsisten dengan hasil polling lembaga riset lain seperti Danareksa dan The Ford Foundation. Bukankah seharusnya Kwik dan kawan-kawan justru secara serius membahas berbagai kemungkinan sebab yang telah menghasilkan hasil yang kurang baik tersebut, lalu merancang strategi agar hasil Pemilu 2004 jauh lebih baik dari hasil yang diproyeksikan polling tersebut? Kita prihatin karena manajemen Balitbang PDIP bukannya menghadapi masalah—dan mencoba menyelesaikannya—tapi malah menghindarinya. Ketiga, kalau toh Kwik tidak percaya hasil polling tersebut—memang tidak semua polling akurat memproyeksikan gambaran populasi yang diwakili—yang seyogianya dipersoalkan misalnya adalah prosedur sampling, rancang kuesioner, pelaksanaan polling di lapangan, dan perangkat analisis yang digunakan. Unsur manakah yang kiranya membuat hasil polling biased dan ”tidak bisa dipercaya” mencerminkan realitas populasi yang dituju? Kita prihatin karena ketidakpercayaan terhadap hasil polling ditentukan begitu saja tanpa argumen logis, bak pepatah ”buruk muka, cermin dibelah.” Keempat, berbagai argumen pembekuan justru mencerminkan lemahnya kepemimpinan Balitbang PDIP dan kepemimpinan PDIP secara umum. Bukankah sense of mission, soliditas, dan sebagainya merupakan kewajiban pemimpin untuk memastikannya? Kita prihatin karena ternyata pemimpin balitbang partai pemenang Pemilu 1999 telah menghindari kewajibannya.
HADI SATYAGRAHA
Jakarta Pusat
Alamat Ibu Harini Bambang Setelah membaca Majalah TEMPO Edisi 30 Juni-6 Juli 2003, saya tertarik sekali dan ingin mencontoh usaha Ibu Harini Bambang. Dapatkah kiranya TEMPO memberikan alamat beliau? Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih.
NY. S. HARDOJO
Malang 65116
—Terima kasih atas perhatiannya. Anda bisa menghubungi Nyonya Harini di Jalan Banjarsari XIV/4A, Cilandak Barat, Jakarta Selatan.
Keluhan Bidan Desa Saya, salah seorang bidan desa dengan status bidan pegawai tidak tetap (PTT) di salah satu desa di Kabupaten Nias, Sumatera Utara, ingin menyampaikan keluhan melalui rubrik Surat di Majalah TEMPO. Pada Oktober 2002 lalu, kami mendapatkan informasi tentang seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) Departemen Kesehatan, sesuai dengan pengumuman dari Ketua Panitia Seleksi CPNS Departemen Kesehatan RI Provinsi Sumatera Utara yang dikeluarkan pada 10 Oktober 2002 dengan nomor KP.00.03.1.5336 yang ditandatangani oleh Ketua Panitia Seleksi CPNS Departemen Kesehatan RI Provinsi Sumatera Utara atas nama Dr. H. Fauzi, S.K.M. Selanjutnya, saya dari Nias mempersiapkan berkas untuk ikut seleksi administrasi dan akhirnya saya memperoleh nomor/kartu tanda peserta ujian dengan nomor 11010628 (fotokopi terlampir). Seleksi dilaksanakan pada 9 November 2002 di Medan. Selanjutnya, pada 29 November 2002, Kepala Biro Kepegawaian, ditandatangani Dr. Wahyu Purwaganda sebagai Ketua Panitia Seleksi CPNS, mengeluarkan pengumuman hasil seleksi melalui faks dengan nomor KP.04.01.2.1.13298. Alangkah senangnya saya karena dari sekian banyak peserta seleksi, saya/nama saya tercantum sebagai salah seorang yang berhasil diterima sebagai CPNS. Dan pada 12 Desember 2002, saya mendaftar ulang sekaligus melengkapi berkas yang masih diperlukan. Kemudian, pada 26 Maret 2003, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan RI mengeluarkan surat dengan nomor KP.01.02.1-1.8796 perihal pembatalan kelulusan CPNS Departemen Kesehatan RI Tahun 2002 yang ditandatangani oleh Kepala Biro Kepegawaian atas nama Dr. Deddy Ruswendi, M.P.H. Dan nama saya tercantum sebagai salah seorang yang dibatalkan dengan alasan bahwa kami (saya) bidan PTT di luar angkatan I, II, III. Sedangkan dalam pengumuman seleksi penerimaan, persyaratan tersebut tidak ada. Dalam hal ini, saya sebagai seorang bidan di desa, yang bertugas di daerah terpencil, merasa sangat dirugikan baik moral maupun materiil yang cukup banyak. Pertanyaan saya: apakah memang persyaratan/peraturan di zaman reformasi ini dapat diubah segampang membalikkan telapak tangan atau ada unsur lain? Saya sangat mengharapkan jawaban dan tanggapan serta kebijakan dari instansi terkait, lebih-lebih Departemen Kesehatan RI, untuk masalah ini.
YULIWATI HAREFA
Bidan PTT di Dahana Sogawu-gawu
Kecamatan Gunungsitoli, Nias
Surat untuk Gubernur Jawa Barat SEBELUMNYA saya mengucapkan selamat atas terpilihnya bapak menjadi orang nomor satu di Jawa Barat. Siapapun tahu amanat yang bapak emban tidaklah mudah, apalagi bapak mewarisi berbagai kebobrokan yang ditinggalkan oleh gubernur terdahulu yang juga bekas atasan bapak yaitu Nuriana. Korupsi, kemiskinan, penjarahan hutan, pungutan liar, kerusakan infrastruktur dan ketidaktertiban di segala bidang adalah karya nyata Nuriana yang dipersembahkan kepada rakyat Jawa Barat. Sepuluh tahun beliau berkuasa sangatlah tidak berbekas. Rakyat tetap miskin, lingkungan hancur dan sumber daya alam habis terkuras. Saya teringat kata-kata yang dilontarkan Bapak Agum Gumelar saat beliau menuju kota Bandung melalui jalur Padalarang yang terkenal macet dan kumuh ”Jawa Barat ini seperti tidak ada gubernurnya, dari dulu Padalarang dibiarkan seperti ini, tidak ada perbaikan” ucapnya. Itu hanya satu contoh kecil saja tapi bagi saya bermakna luas bahwa Nuriana memang tidak pernah berbuat apa-apa bagi kepentingan rakyat Jawa Barat. Harapan saya pada bapak satu saja. Jangan ulangi perbuatan Nuriana! Jadilah pemimpin sejati yang berkarya untuk rakyat. Selamat bekerja pak! Jangan lupa bersihkan dulu diri bapak dan lingkungan tempat bapak bekerja. Di sekitar Gedung Sate banyak sampah dan gubuk liar.
RAISA NUR AMALIA
Tubagus Ismail, Bandung
Pelurusan Berita dari Mabes TNI DALAM tulisan berjudul Dalam Sangkar Emas Republik di TEMPO Edisi 17 Agustus 2003, terdapat data yang tidak akurat, terutama tulisan tentang proses evakuasi Teungku Daud Beureueh dari Aceh ke Jakarta, yang dapat menurunkan kredibilitas edisi khusus itu. Puspen TNI perlu meluruskan tulisan itu untuk menghindari disinformasi. Berdasarkan penuturan pelaku sejarah Bapak dr. Zakaria Latif (saat itu berpangkat letnan dua CKM dan sekarang berpangkat kolonel CKM), tim berkunjung ke rumah Teungku Daud Beureueh berangkat dari rumah Komandan Kodim (Dandim) Pidie. Tim tersebut adalah Dandim Pidie, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sigli, tim Kopassus di bawah pimpinan Kapten Inf. Suparmin dengan dua orang bintara, dan Kepala Kesehatan Kodim Pidie Letda CKM dr. Zakaria Latif. Di rumah Teungku Daud Beureueh, Kajari Sigli meminta kesediaan menjadi saksi dalam perkara Komando Jihad di Surabaya. Karena Teungku Daud Beureueh tidak bersedia, kemudian Teungku Daud Beureueh digendong oleh Kapten Inf. Suparmin dan disuntik oleh dr. Zakaria Latif. Jarum suntik yang digunakan tetap utuh dan tidak patah. Walaupun demikian, darah keluar dari lengan Teungku Daud Beureueh. Setelah itu, Teungku Daud Beureueh dibawa dengan kendaraan jip preman ke heli pad untuk diterbangkan ke Medan dengan helikopter Bolcow melalui Bandara Malikussaleh untuk melakukan pengisian bahan bakar. Di Bandara Malikussaleh, dijemput oleh Komandan Sub Tim B Kapten Inf. Sofyan A.B. dan Wadansubtim B Lettu Inf. Sjafrie Sjamsoeddin. Penumpang helikopter terdiri dari pilot pesawat, Kapten Inf. Suparmin, Teungku Daud Beureueh, dan Letda CKM dr. Zakaria Latif. Setelah pengisian bahan bakar, helikopter terbang ke Medan. Selanjutnya Teungku Daud Beureueh berangkat ke Jakarta menggunakan pesawat khusus. Demikian penuturan dr. Zakaria Latif. Perlu dijelaskan bahwa evakuasi Teungku Daud Beureueh ke Jakarta bukan dilakukan oleh tim khusus yang dikirim dari Jakarta yang dipimpin oleh Lettu Inf. Sjafrie Sjamsoeddin, melainkan dilaksanakan oleh tim gabungan yang terdiri dari Dandim Pidie, Kajari Sigli, Kepala Kesehatan Kodim Pidie, dan tim Kopassus yang sedang bertugas di Aceh di bawah pimpinan Kapten Inf. Suparmin. Sedangkan Lettu Inf. Sjafrie Sjamsoeddin pada saat itu berkedudukan di Lhok Seumawe, Aceh Utara.
SUPAMA
Letkol CAJ NRP 320523
WS Kadislisapen Puspen TNI
—Terima kasih atas tambahan informasi Anda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo