Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pak Dirman, Selamat Pagi

Patung Sudirman didirikan di Jalan Sudirman, Jakarta. Mengawali 34 patung pahlawan lain.

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tangan kiri Pak Dirman menghormat. Tangan kanannya menekan tongkat. Sebilah keris menonjol dari jubah panjangnya yang seolah tertiup angin. Patung dengan dasar tatakan berlapis keramik hitam setinggi enam meter itu berdiri membelakangi deretan pohon hijau gelap nan rimbun di median Jalan Sudirman. Tepatnya di kawasan Dukuh Atas, di depan gedung BNI. Pematungnya adalah Sunaryo, dosen Seni Rupa ITB. Bukan karena sama-sama asal Banyumas—daerah kelahiran Pak Dirman—Sunaryo lalu dipilih untuk proyek ini. Sunaryo memang dikenal sebagai pematung monumen. Beberapa monumen karyanya menghiasi beberapa jalan utama di Bandung. Dan kini, setelah hampir tiga tahun sempat terkatung-katung terganggu kontroversi pemilihan Gubernur Jakarta, Sunaryo dengan teknik pengecoran pasir silika menyelesaikan patung perunggu Sudirman itu. "Saya pilih model yang pakai jubah, yang sedikit detailnya," tuturnya. Kita bisa membandingkan patung Sudirman buatan Sunaryo dengan patung Sudirman di Yogya. Di sana juga terdapat patung Sudirman. Letaknya di tepi Jalan Malioboro, tepatnya di depan gedung DPRD. Patung ini tahun 1950-an dikerjakan oleh Sanggar Pelukis Rakyat, dipimpin oleh Hendra Gunawan. Posisinya hampir sama. Berikat kepala Jawa, dibalut mantel panjang lusuh, bertongkat. Bedanya, ia tak menghormat, tapi tangan satunya menyelip di saku. Harus diakui, sosok Sudirman karya Hendra itu lebih tampak kejelataannya. Jiwa Pak Dirman—jenderal rakyat yang kedinginan, sakit paru-paru, tapi tak pernah menyerah—muncul di patung itu. Membuat Jakarta bak taman patung agaknya obsesi Gubernur Sutiyoso selama periode kedua jabatannya. Saat pembukaan, Bang Yos membayangkan Jakarta di bawah kepemimpinannya bisa seperti Amsterdam, sebuah kota necis penuh patung-patung elok. Ia menyodorkan rencana besar membuat patung di 34 titik di seluruh kawasan jalan raya Jakarta, terutama di jalan-jalan dengan nama pahlawan. Di situlah patung para pahlawan akan berdiri, sesuai dengan nama jalannya. Di Jalan M.H. Thamrin, misalnya, nanti akan dibangun patung Thamrin. Di Jalan Imam Bonjol ditahbiskan patung Imam Bonjol. Patung Diponegoro, yang sekarang terletak di dekat Monas, rencananya juga akan dipindahkan ke depan gedung Bappenas di Jalan Diponegoro. "Di Jalan Diponegoro itu malah ada patung Ibu Kartini (maksudnya patung Kartini hadiah dari Jepang—Red). Mengapa patung-patung ini tidak dipindah ke jalan yang sesuai dengan namanya?" kata Sutiyoso, bak kritikus dari Galeri Christie. Sementara itu, bila minggu-minggu ini Anda lewat di dekat patung Arjuna Wijaya di ujung selatan jalur tengah Jalan Merdeka Barat, tentu Anda melihat para tukang yang belepotan keringat. Patung delapan kuda gahar yang berbaris dua-dua, menarik kereta Arjuna berbentuk garuda, itu akan direnovasi total. Biayanya dianggarkan Rp 3,5 miliar. Padahal dulu pembuatan patung karya Nyoman Nuarta tersebut menelan Rp 300 juta. Mahal, karena patung yang tadinya berbahan poliester resin cokelat itu semuanya diganti logam tembaga. Dana dihimpun bukan dari APBD, melainkan dari "barter" pemerintah DKI Jakarta dengan pengusaha iklan (kecuali Nyoman Nuarta, yang mencari donatur sendiri). Para juragan reklame itu akan mendapat konsesi penguasaan billboard iklan sekitar areal patung Di sekitar Stasiun Sudirman, tak jauh dari patung, misalnya, sebuah billboard besar menjadi hak penuh perusahaan bernama Patriamega selama beberapa waktu. Patung Sudirman sendiri menelan biaya Rp 6,5 miliar. Itu meliputi pembuatan taman. Sunaryo menambahkan taman berupa jajaran 17 tugu lampu setinggi kurang-lebih satu meter (mengingatkan orang pada patung selamat datang kampus ITB, yang juga memiliki jajaran tugu kecil). "Saya dibayar satu miliar lebih untuk kerja ini," Sunaryo mengaku. Menurut Zachrie Zunaid, anggota Tim Penasihat Arsitektur Kota (TPAK), dari 34 titik itu, yang sudah pasti akan dibangun berikutnya adalah patung Thamrin di ujung Jalan Thamrin. Tepatnya di bundaran air mancur di depan BI. "Itu proposalnya sudah masuk dan sudah ada pendananya dari pihak iklan," tuturnya. Yang juga pasti adalah patung yang nantinya akan ditabalkan sebagai "Patung Persahabatan". Patung itu bakal berlokasi di tengah jalan, dekat pom bensin Hayam Wuruk. Patung tersebut berupa orang Tionghoa dan pribumi saling berpelukan di depan burung garuda. Awalnya, TPAK tidak setuju "Patung Persahabatan" itu diletakkan di tengah jalan. "Kita maunya patung itu diletakkan di depan pelataran Stasiun Kota. Lebih bagus ruangnya," ujarnya. Tetapi itu ditampik pihak investor. Ternyata biro iklan lebih dulu berkonsultasi dengan ahli fengshui. Dan menurut ramalan fengshui, lokasi di sana tidak cocok dan akan merugikan usaha mereka. Jadilah mereka urung. Mereka baru mau mendanai patung itu setelah diletakkan di tengah Jalan Hayam Wuruk itu. Terlihat jelas dari hal ini, pematung tidak bebas menentukan lokasi sendiri. Tak mengherankan, penempatan patung Sudirman mengundang kritik. Lokasi patung Sudirman satu garis lurus, yang berawal dari patung Api di ujung selatan Sudirman ke arah patung Selamat Datang di Bundaran HI. Dibanding patung-patung ini, patung Sudirman tertelan. Praktis, patung Sudirman gagal menjadi monumen yang kukuh. Apalagi bila dibandingkan dengan berbagai patung tahun 1960-an seperti Tani Bergerilya di Taman Prapatan, patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, ataupun patung Pemuda Angkasa di Pancoran yang setinggi 11 meter. "Skala ruang patung Sudirman itu hanya seperti patung taman," komentar Sonny Sutanto, salah satu pendiri Arsitek Muda Indonesia (AMI). " Tidak ada latar belakang langit. Itu membuat patung Sudirman kelihatan tak menonjol," Marco Kusumawijaya menambahkan. Tambahan lagi, patung Sudirman yang menghadap ke arah utara itu hanya bisa dilihat oleh mereka yang datang dari arah bundaran. Mereka yang datang dari arah sebaliknya hanya melihat punggung Pak Dirman. Seorang wartawan senior berseloroh ketika melihat Pak Dirman di tengah panorama gedung-gedung bertingkat. "Kasihan. Pak Dirman seperti pemulung, sendiri diapit gedung-gedung." Toh, meski ketiban rezeki, sebagai pematung tulen syahdan Sunaryo juga tak setuju apabila Jakarta tiba-tiba diserbu oleh patung-patung pahlawan. "Nanti Jakarta mau dibawa ke mana? Apa mau jadi museum satu kota?" katanya. Menurut dia, makna patung menjadi merosot. Patung hanya menjadi seolah senilai papan nama jalan. "Monumental itu tak harus berbentuk pahlawan. Bisa patung abstrak," kilahnya. Pernyataan ini mengingatkan bahwa karya-karya personalnya sesungguhnya juga berspirit abstrak, bahkan cenderung meditatif, diliputi misteri (ingat salah satu karyanya, batu-batu hitam yang dibungkus). Tapi karya patung Sudirman ini, apa pun, mengukuhkannya lagi sebagai pembuat patung monumen bersifat kepahlawanan. Seperti monumen Bandung Lautan Api di Lapangan Tegallega, Dasasila Bandung di Simpang Lima, Perjuangan Rakyat Jawa Barat di Dipati Ukur, yang pernah dibuatnya. Dahulu jenderal besar kita Sudirman adalah seorang pelopor. Dan kini patungnya menjadi pelopor, pilot project, lusinan patung lain yang tentu saja sisi-sisi kepahlawanannya ditakar dalam sorot tafsir (masih) sejarah Orde Baru. Pak Dirman yang sendiri, kesepian di tengah kemacetan, selamat pagi.... Seno Joko Suyono, Endah W.S., Boby Gunawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus