Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tepat hari ini, 17 Maret pada1939 silam, cendekiawan muslim Nurcholis Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur lahir. Nurcholis Madjid adalah salah satu pemikir Islam terbaik Indonesia. Dia telah memberikan kontribusi pemikiran-pemikiran keislaman kontemporer.
Cak Nur juga disebut sebagai lokomotif pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Tak jarang, pemikiran Nurcholis Madjid menjadi acuan bagi kalangan pembaharu modernisme muslim di Tanah Air.
Profil Cak Nur
Cak Nur adalah seorang cendekiawan muslim yang fasih berbicara tentang Islam di Indonesia. Ia dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman atau ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Cak Nur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939.
Dia dilahirkan dari kalangan keluarga pesantren. Ayahnya adalah K.H Abdul Madjid, seorang kyai jebolan pesantren Tebuireng, Jombang, yang didirikan oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadaratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Sementara ibunya adalah adik dari Rais Akbar NU dari ayah seorang aktivis Syarikat Dagang Islam (SDI) di Kediri yang bernama Hajjah Fathonah Mardiyyah.
Dikutip dari Uici.ac.id, Cak Nur telah mendapatkan bimbingan agama yang kuat sedari kecil. Ia mengenyam pendidikan di Pesantren Darul Ulum, Jombang, dan Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo. Sementara untuk pendidikan kesarjanaan, Cak Nur menempuhnya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta.
Cak Nur kemudian melanjutkan pendidikan doktoral di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Ia menyelesaikan studinya tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah. Setelah lulus, Cak Nur menjadi dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sempat menjadi Rektor Universitas Paramadina Mulya.
Karier intelektualnya, dimulai pada masa menjadi mahasiswa di IAIN Jakarta. Cak Nur aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). HMI dianggap sebagai gerakan kaum modernis yang cenderung dekat dengan Masyumi.
Karier organisasi Cak Nur dimulai dari komisariat HMI, pada puncaknya terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI selama dua periode (1966-1969) dan (1969-1971). Tak berhenti di situ, Nurcholis Madjid juga terpilih sebagai presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) pada 1967-1969. Selama masa jabatannya, Nurcholis Madjid berhasil menarik Malaysia sebagai salah satu anggota organisasi Islam regional tersebut.
Pada 1968, dalam kapasitasnya sebagai ketua umum PB HMI, Nurcholis Madjid berkunjung ke Amerika Serikat. Saat itu Cak Nur memenuhi undangan program “Profesional Muda dan Tokoh Masyarakat”, dari pemerintah Amerika Serikat.
Pada 1969, Nurcholis Madjid membuat risalah ideologis yang monumental yang diberi nama Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI. NDP berisi pedoman ideologis bagi kader HMI yang hingga kini jadi acuan pergerakan dan pemikiran organisasi yang melahirkan banyak pemimpin di Indonesia.
Semasa hidupnya, Nurcholis Madjid bersama sejumlah tokoh mendirikan Yayasan Paramadina. Yayasan ini digunakannya sebagai salah satu pusat kajian keislaman, yang menawarkan citra baru Islam inklusif dan menghadirkan perspektif baru dalam menelaah problem kemanusiaan kontemporer. Melalui platform Paramadina inilah dia mengembangkan secara konsisten jalur intelektualnya.
Sebagai seorang tokoh pembaharu, Nurcholis Madjid kerap menuangkan pemikirannya di bidang keislaman, politik Islam, moral dan kemasyarakatan di berbagai media antara lain Kompas, Panji Masyarakat, Pelita, Suara Pembaharuan, Republika, Majalah Ulumul Qur’an, Prisma dan Amanah. Tulisannya juga acap menghiasi lembaran majalah politik, misalnya Adil, Forum, Gatra, Matra, Majalah Tempo dan lainnya.
Selain itu, Nurcholis Madjid memiliki beberapa karya-karya, termasuk Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1987), Khazanah Intelektual Islam (1986), Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (1993), dan Pintu-Pintu Menuju Tuhan (1994). Ada pula Islam Agama Kemanusiaan, dan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (1995), Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (1995), serta Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (1997).
Pada 29 Agustus 2005 Nurcholis Madjid berpulang di Rumah Sakit (RS) Pondok Indah, Jakarta Selatan. Ia wafat usai menderita penyakit sirosis hati dan sempat menjalani operasi transplantasi hati di RS Taiping, Guangdong, Cina.
KHUMAR MAHENDRA | DWI ARJANTO | HENDRIK KHOIRUL MUHID
Pilihan editor: Mengenang Nurcholis Madjid, Cendekiawan Muslim yang 2 Kali Ketua Umum HMI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini