Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Film adalah medium yang kuat untuk mengabadikan sejarah dan menggambarkan kehidupan seseorang dalam segala kompleksitasnya. Salah satu film Indonesia yang berhasil menghadirkan kisah kehidupan tokoh aktivis mahasiswa Soe Hok Gie dengan penuh ketulusan adalah Gie.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film ini mengisahkan perjalanan hidup Soe Hok Gie, seorang aktivis dan penulis pada tahun 1960-an yang memiliki kejujuran tak kenal kompromi dalam melawan tirani dan rezim yang berkuasa saat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film ini juga berhasil menciptakan pengalaman visual yang unik dan mendapatkan pengakuan di tingkat nasional dan internasional.
Kehidupan Gie: Aktivis yang Melawan Arus Zaman
Soe Hok Gie, diperankan oleh Jonathan Mulia dan Nicholas Saputra dalam film ini, adalah tokoh yang selalu berada di luar arus zaman atau bahkan melawannya. Ia dikenal sebagai pribadi yang lurus, jujur, dan tegas dalam prinsip-prinsipnya.
Namun, kejujurannya ini seringkali sulit diterima oleh orang-orang di sekitarnya. Cintanya pada Indonesia dan dunia mahasiswa membuatnya selalu angkat bicara ketika ada yang dianggapnya akan merusak kedua hal itu.
Gie sangat kecewa ketika melihat perjuangannya melawan tirani dan rezim yang berkuasa ternyata malah melahirkan rezim baru yang kejam. Hal ini menyebabkan pembantaian jutaan orang yang dituduh komunis, termasuk sahabat masa kecilnya, Tjin Han, yang diperankan oleh Christian Audi dan Thomas Y Nawilis dalam film ini. Gie menjadi saksi pahit atas dampak dari perjuangannya yang berakhir tragis.
Idealisme vsacademy awards Kompromi
Waktu terus berlalu, dan orang-orang di sekitarnya mulai menyesuaikan diri dengan rezim baru, bahkan melakukan korupsi. Namun, Gie menolak untuk diam, meskipun ada kesempatan untuk "masuk" ke lingkaran kekuasaan dan militer. Idealismenya membuatnya diisolasi. Teman-teman dekatnya meninggalkannya, dan perempuan yang dicintainya menolaknya. Hanya alam yang menjadi tempat di mana ia bisa merasa diterima dan dicintai apa adanya.
Film Gie menghadirkan konflik yang mendalam antara idealisme dan kompromi. Gie memilih untuk tetap setia pada prinsip-prinsipnya, meskipun hal itu mengisolasi dirinya dari masyarakat yang semakin terjerat dalam korupsi dan pragmatisme.
Salah satu hal yang membuat film Gie menonjol adalah cara ia mencoba menghadirkan Soe Hok Gie dari segala sisi. Film ini bukan sekadar puja-puji terhadap tokoh utamanya; sebaliknya, ia menggambarkan sisi-sisi kompleks dalam kehidupan Gie.
Pengakuan Internasional dan Penghargaan
Dilansir dari milesfilms.net, film Gie mendapatkan berbagai pengakuan internasional dan penghargaan, termasuk penghargaan dari Pusan International Film Festival, Indonesian Film Award, dan MTV Indonesia Movie Award.
Film ini juga menjadi perwakilan Indonesia di Academy Awards 2006 untuk kategori Best Foreign Language Film. Penghargaan ini adalah bukti bahwa Gie bukan hanya berbicara pada tingkat nasional, tetapi juga mendapatkan penghargaan di tingkat internasional.
Sutradara Riri Riza Mengenai Film Gie
Dalam sebuah wawancara dengan wartawan Tempo, sutradara Riri Riza menjelaskan alasan di balik minatnya dalam mengangkat kisah Soe Hok Gie. Ia menyatakan bahwa banyak kisah menarik tentang orang-orang yang terlibat dalam sejarah Indonesia yang tidak terdokumentasi secara resmi.
“Karena saya masih muda, cerita Soe Hok Gie untuk saya menarik karena ada anak muda yang ikut terlibat pada suatu masa yang penting di Indonesia dan jarang dibicarakan orang,” ucapnya.
Gie adalah salah satu tokoh yang jarang dibicarakan, terutama dalam masa-masa penting tahun 1960-an yang masih tertutup. Riset untuk film ini dimulai sekitar tahun 2002 dan berlangsung selama beberapa tahun sebelum film akhirnya diproduksi.
“Sebenarnya ide datang dari Mira (Lesmana). Dia sudah membaca Catatan Harian Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie saat dia masih remaja dan sangat terinspirasi oleh kisah itu. Jadi, bisa dikatakan idenya sudah datang 10-15 tahun yang lalu. Tapi kami mulai serius membicarakannya sekitar dua setengah tahun silam. Riset mulai berjalan sekitar Maret 2002,” lengkapnya.
Pilihan Editor: Soe Hok Gie Pergi Selamanya di Gunung Semeru 55 Tahun Lalu