Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mengusik Garuda Hijau

Logo dan warna pesawat garuda sudah diubah. desain total masih dalam tahap penyelesaian. perancangnya walter landor association (wla) dari as. banyak di kritik para perancang grafis indonesia. (sr)

17 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sebelah barat Tugu Monas, sebuah replika pesawat jumbo B 747 diparkir. Gambar pesawat dengan perbandingan satu banding satu di Pameran Produksi Indonesia 85 itu tidak berniat memamerkan sebuah jenis baru. Yang mau diperlihatkan: wajah baru - baik logo maupun warna pesawat maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Tubuh kapal udara itu, yang biasanya terlihat di lapangan terbang berwarna keperakan - warna materialnya - di sisi Monas itu berubah jadi putih mulus. Di dekat pintunya, dan di ekor, muncul logo -lambang maskapai - yang baru. Tergambar di situ stilasi kepala dan sayap burung garuda. Kepala burung, yang tampak agak jelas lewat paruh dan jambulnya, berwarna biru tua - sementara lima lembar jalur sayapnya memiliki warna bernuansa dari biru tua ke hijau. Segaris dengan logo, pada tubuh pesawat, terpancang tulisan: Garuda Indonesia - dengan posisi sedikit miring. Rancangan baru ini, yang konon belum selesai 100%, dikerjakan oleh Walter Landor Associates, sebuah biro desain grafis yang dinilai berkaliber internasional dan berpusat di San Francisco, Amerika Serikat. Memiliki pengalaman kerja 30 tahun lebih, biro yang dibangun desainer kawakan Walter Landor ini dikenal punya spesialisasi mendesain lambang yang menggambarkan identitas perusahaan (corporate identity). Garuda mengontak biro desain itu awal tahun ini. Sesudah itu, rancangan besar pun dimulai. Desain yang harus dibuat meliputi logo, warna pesawat, segala perlengkapan darat, tanda isyarat, seragam, tiket, brosur, dasar-dasar tata ruang dalam pesawat, tanda kopor, dan sejumlah lagi. Atau, dalam bahasa rancang-merancang, dikenal sebagai desain total. Termasuk dalam tanggung jawab merancang adalah pengawasan pelaksanaan yang mungkin akan makan waktu sekitar dua tahun. Dan untuk kerja besar itu honorarium yang disepakati adalah US$ 1,1 juta atau hampir Rp 1,3 milyar. Garuda tidak memberi kendala kepada Walter Landor Associates (WLA). "Mereka bebas berkreasi, tidak kami dikte," ujar R.A.J. Lumenta, direktur utama Garuda. "Mereka terjun ke bawah melihat pelabuhan udara kita, selain mengetahui tuntutan di dunia internasional." Tak cuma melongok-longok di pelabuhan udara, orang-orang WLA juga mengunjungi berbagai daerah di Indonesia, misalnya Yogya, Toraja, dan Bali, untuk mencari citra dan kekhasan Indonesia. Hasilnya: 300 kemungkinan rancangan logo. Dari situ terpilih enam rancangan yang dianggap paling pas, sebelum akhirnya ditentukan dua sebagai alternatif terakhir. Tak terdengar argumen perihal kesan garuda yang dihasilkan. Tapi ada alasan dalam menentukan warna. Warna hijau-biru yang bernuansa itu dikatakan warna pastel yang membangun kesan tenang dan dingin. Sedangkan tentang kaitan seluruh logo dengan citra Indonesia - hasil pencarian ke berbagai pelosok itu - belum pula terdengar argumentasi. Yang jelas, logo Garuda betapapun lebih dekat pada pengertian lambang - yang punya beban menyarankan suatu Imail atau citra - daripada hanya tanda, seperti tanda pabrik atau perusahaan (corporate identity) ataupun tandatanda lalu lintas. Citra yang harus digambarkan lambang Garuda, tak lain, adalah Indonesia sendiri. WLA juga sadar, agaknya, bila risetnya pun sampai meliputi beberapa perjalanan di Indonesia. "Logis bila Landor yang terpilih," ujar A.D. Pirous, perancang grafis terkemuka Indonesia dan dekan Fakultas Desain dan Seni Rupa ITB. "Landor bukan agency sembarangan banyak perusahaan penerbangan mempercayakan logonya pada mereka." Tapi masalahnya, menurut Pirous, bagaimana Landor menentukan pilihan. Gambar garuda saja - banyak sekali ragamnya di Indonesia - dari model pahatan Bali sampai gambar stilasi pada batik. Karena itu, mengenal garuda sebagai lambang citra Indonesia "bukan proses sederhana dan masalah logo bukan sekadar penyusunan bentuk visual". Akibat survei WLA sendiri tidak kelihatan pada hasilnya - ujar Wagiono, perancang grafis lain dan direktur biro desain grafis GGI. "Kalau mau diukur dengan referensi visual di Indonesia, tidak ada bentuk sayap garuda seperti pada logo Garuda itu." Pada Wagiono, logo Garuda ini terlalu manis - kurang gagah. Ia berpendapat, citra orang Indonesia tentang garuda adalah citra mereka tentang diri mereka sendiri. "Kita sudah tak bisa lepas dari imaji garuda lambang negara yang membangun kesan gagah dan berwibawa," kata desainer yang juga ketua umum Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) itu. Memang banyak dipersoalkan manakah yang "lebih sah": kesan sebuah bangsa tentang diri dan lambang mereka sendiri, yang - dalam hal Indonesia - diwarnai oleh sesuatu yang bersifat kebesaran dan perjuangan, alias idealistis, ataukah "kesan antropologis" sebuah perusahaan asing yang sangat maju yang, barangkah saja, lebih melihat negeri kita sebagai sebuah wilayah pariwisata dalam iklim tropis. Mana pula "lebih sah" dominasi kesan merah-putih atau kesan putih pucat yang mengangkut warna biru-hijau. Karena itu, memang cukup layak bila timbul pertanyaan, mengapa bukan desainer Indonesia yang diminta merancang. "Bagi perusahaan Garuda, yang omsetnya 50 sampai 80 milyar per bulan, taruhannya terlalu besar," jawab Lumenta. Direktur utama itu merasa belum melihat biro desain kita yang mampu membuat desain total dan mampu pula mengawasi pelaksanaannya. Priyanto, perancang grafis yang juga ketua Jurusan Komunikasi Grafis Institut Kesenian Jakarta dan pengajar utama Jurusan Desain Grafis Fakultas Desain dan Seni Rupa ITB, tidak setuju. Ia mengutarakan desain total bukan hal aneh bagi desainer Indonesia dalam pendidikan, itu salah satu pokok yang diajarkan, bahkan bagian utama tahap studi akhir. DENGAN membentuk tim, Priyanto yakin desain total Garuda Indonesia sebenarnya bisa dibuat. Desain total yang melibatkan berbagai profesi, seperti perancang grafis, desainer interior, dan arsitek, seperti yang untuk pavilyun kita di Expo Vancouver, Kanada, atau di Osaka atau Tsukuba, Jepang, menurut Priyanto, sudah sering dilaksanakan. "Desainer kita sebenarnya mampu bekerja multidisipliner," katanya. Lagi pula, menurut dia lagi, Garuda 'kan bukan perusahaan baru - jadi sudah memiliki ciri yang jelas. Data dan obyek yang mau dibuatkan desainnya sudah gamblang. Priyanto sendiri mengkritik WLA - kalau biro itu memang diberi kebebasan penuh - terlalu berani melakukan perubahan drastis. Akibatnya, "Garuda harus berjuang keras dengan identitas barunya." Mengapa? Ia menunjuk berbagai perubahan logo perusahaan penerbangan lain, misalnya KLM. Perubahan di sana lebih bisa dikatakan renovasi: ada identitas yang senantiasa dipertahankan. "Identitas yang sudah terpaku di kepala orang, lepas dari bagus jeleknya, sebenarnya tidak ternilai harganya," katanya. Namun, Wagiono, ketua umum IPGI, merasa bisa mengerti kekhawatiran Lumenta. "Soalnya barangkali bukan tidak percaya tapi tidak mengenal," katanya. Sebab, kepercayaan, "Tak bisa melulu didasarkan rasa nasional tapi juga referensi. Dan referensi itu harus dipublikasikan melalui himpunan profesi - dalam hal ini IPGI sendiri." Kesempatan, menurut Wagiono, kadang-kadang memang harus diperjuangkan. Jim Supangkat Laporan A. Luqman (Jakarta) Didi Sunardi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus