Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sisa-sisa yahudi mesir

Kehidupan kaum yahudi mesir. diperkirakan jumlahnya 200 orang saja, cukup 2 sinagog untuk peribadatan mereka. (sel)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM pembantaian terhadap orang Arab sipil di Libanon, Beirut, bukan Yahudi terutama yang dituduh. Setidak-tidaknya, bukan ras. Tak disangkal, pihak Israel tak kurang menunjukkan kelakuan biadab terhadap orang Palestina. Bahkan setelah Israel berdiri pada 1948, munculnya jutaan pengungsi Arab itu hanya tertutup dari pandangan dunia oleh "nasib bangsa Yahudi yang memelas" di zaman Nazi bahkan di abad-abad lampau Eropa umumnya. Namun sebagai ras, di tanah aslinya sendiri, Arab dan Yahudi sebenarnya tidak bertengkar-setidak-tidaknya di tempat-tempat yang agama Islamnya kuat. Bahkan di Kairo, Mesir, Jalan Muskie, misalnya, diubah namanya menjadi Jalan Moshe Dayan -- meski majalah Asy-Syira yang menulis sedikit tentang kehidupan kaum Yahudi Mesir, tidak menyebut sejak kapan. Namun diketahui bahwa antara lain menteri pertahanan Israel 1967 dan 1973, Ashkul, lahir di rumah di jalan itu. Dan memang jalan itu, termasuk dalam daerah elite, dulu dikenal sebagai odesh (konsentrasi) Yahudi. Mereka merupakan 90% jumlah penduduk di situ, hidup dalam bangunan-bangunan mentereng -- meski terdapat juga beberapa gelintir yang miskin. Yang terakhir itu misalnya orang-orang yang menjual pakaian bekasdi pojok masjid dan Universitas Al Azhar, atau calo-calo "berbagai bidang". Bagaimanapun, orang mudah mengenali seorang Yahudi yang berbeda dari seorang Arab. Sejarah Yahudi di Mesir memang panjang sekali--bahkan sejak kelahiran bangsa itu sendiri. Tiga puluh tujuh abad yang lalu dicatat sebagai hijrah pertama orang Yahudi ke negeri tersebut, dibawah pimpinan (Nabi) Ya'qub. Ketika itu daerah Kanaan sedang mengalami kesulitan pangan, yang sangat terkenal dalam riwayat (Nabi) Yusuf yang dikisahkan Kitab Suci. Yusuf sendiri, anak Ya'qub, dikisahkan sedang menjabat sebagai menteri urusan pangan di Mesir. Ya'qub menempati daerah Ghassan daerah yang kemudian memunculkan (Nabi) Musa. Musalah yang membawa hijrah dan menyelamatkan Bani Israel itu dari pembantaian Firaun Ramses 11. Adapun Firaun memburu Yahudi karena bangsa itu dianggap bersekongkol dengan Hexos untuk memberontak. Sejak itu, selain di Tanah Kanaan atau Palestina, di Mesir Yahudi mencatat sejarah di bawah pemerintahan berbagai kerajaan Islam. Sampai kemudian tumbuh Zionisme di abad lalu, yang mengundang semua Yahudi kembali ke tanah leluhur. Berdirinya Negara Israel kemudian makin memperuncing hubungan Yahudi dan Arab. Sebagai reaksi terhadap pengusiran bangsa Palestina oleh Israel di negeri mereka sendiri, di Mesir meletus juga gerakan anti-Yahudi--22 Juni 1956--yang membuat hijrahnya kaum Yahudi ke Israel. Kebencian yang muncul di benak orang Mesir saat itu mendapat tambahan oleh kenyataan hidupnya orang Yahudi yang dianggap eksklusif, dekat dengan penguasa, dan memegang kendali ekonomi. Sejak saat itu boleh dikatakan sejarah Yahudi habis di negeri itu. Asy-Syira, yang terbit di Beirut itu, memperkirakan kini hanya sekitar 2.000-an orang saja yang ada di Mesir. Mereka tinggal di Kairo, Iskandariah, dan beberapa pelosok. Tidak lagi "eksklusif" Malah beberapa yang diwawancarai majalah itu mengaku lebih betah tinggal di Mesir daripada di Israel. Cukup dua sinagog untuk peribadatan mereka. Sinagog tua yang terletak di tengah Kairo, sejak ditandatanganinya perjanjian Camp David mulai banyak dikunjungi turis dari Israel. Juga beberapa odesh yang dianggap memiliki nilai sejarah. Pelancong Yahudi cukup banyak. Badan Sekretariat Yahudi di Mesir di bawah pimpinan Murad Sulaiman dan beranggotakan tujuh orang, kini sibuk. Sinagog dirawatnya kembali setelah kira-kira 30 tahun terlunta. Talmud pun dibaca. Badan itu pula yang mengurus pariwisata Yahudi di Mesir. Menunjukkan Ghassan tempat Musa menyelamatkan leluhur mereka, dan lain sebagainya. Karena itu mereka menganggap Sadat pahlawan "Saya baru kali ini bisa menengok anak-anak saya di Israel," kata Elen Abadi, 72 tahun. Tak terperi kerinduannya menengok anak cucu. Tapi ketika anak-anaknya dan para kerabat memintanya tinggal di Israel, yang konon jauh lebih makmur, orangtua itu menolak. "Saya merasa asing di sana. Saya tak mengenal bahasa mereka. Bahasa saya Arab. Mereka tak berhasil menahan saya," katanya. Hingga kini setahun sekali anak-anaknya pasti datang menengoknya. Teman Elen, Maurice Levi, 56 tahun, bilang: "Walaupun ada gerakan 56 dulu, saya sama sekali tidak berpikir untuk pergi. Waktu itu saya pasrah apa yang hendak orang Mesir lakukan. Sebab sebenarnya orang Mesir itu baik." Maurice, setelah Camp David, juga sempat mengunjungi Israel dan menemui anak-anaknya. Katanya- "Saya takut kalau-kalau saya mati di sana. Saya ingin dimakamkan di Mesir." "Kali inilah kami benar-benar memiliki hak hidup sejati," kata Murad Sulaiman, melukiskan situasi setelah Camp David. Badan yang ia urus itu kini tak banyak lagi punya persoalan yang berkaitan dengan penguasa. Persoalan kami di sini sudah selesai. Tinggal bagaimana kami mau berkiprah bersama warga negara lain membangun negeri ini, yang juga negeri kami." Emil, 48 tahun, karyawan bank, belum pernah ke Israel. Tapi percaya bahwa Mesir "tentu lebih baik." Juga Fortulie Ibrahim, 50 tahun, yang malah pernah menulis surat kepada sanak familinya di Israel dan mengundang mereka untuk tinggal saja di Mesir. "Di sini hidup bagai dalam lingkup keluarga," katanya dalam surat. Barangkali karena Israel, seperti yang didengarnya, bersuasana tegang. Rose Gaffaran, yang sudah sangat tua, juga ingin mati di Mesir. Sisa hidupnya ingin dibaktikannya kepada sinagog tua. "Saya tidak tahu ada perjanjian damai. tapi memang ini negeri saya," katanya agak cedal. Ada pelancong Yahudi berkewarganegaraan Italia. Ditulis dalam ejaan Arab, namanya Maliki aki. Sejak umur 13 tahun ia meninggalkan Mesir. Tak terperi rasa sedihnya saat itu. Ia lelah berpisah dengan rekan-rekan baiknya: guru Pahasa Prancisnya, serta orang Mesir yang mengajarinya sepakbola "Begitu hari Sabtu saya ke sinagog di sini, dalam hati saya bersumpah untuk ecara tetap mengunjungi negeri ini, yang telah mengorbankan putranya yang terbaik untuk perdamaian,' katanya bagai dalam pidato. TAPI kian banyaknya pengunjung Israel ke Mesir rrnyata tak menggugah menaiknya jumlah pelancong Mesir ke Israel. David Heysh, warganegara Amerika bermoyang Yahudi Mesir, menganggap gampang hubungan ini. Toh ia tahu keadaan ekonomi Mesir--yang lebih banyak harus mengekspor tenaga kerja ke negara-negara makmur di Timur Tengah lainnya. David tak menyebut berita-berita tentang perlakuan buruk pihak Israel kepada penduduk asli Arab di sana. Tapi tentang Mesir dikatakannya "mungkin sekarang ada pertambahan orang Yahudi di sini. Tak lagi sebagai penduduk resmi, tapi sebagai pekerja pada perusahaan patungan Mesir-Israel." Pemujaan terhadap Sadat sangat besar. Jamal Abdul Nasser, yang begitu dielu-elukan di Timur Tengah, tak bergema di hati mereka. Luka lama, ketika Nasser menganggap para Yahudi Mesir berorientasi ke Israel, musuh Mesir, cukup membekas. Hijrah orang Yahudi yang cukup besar waktu itu membuat Jalan Muskie misalnya kosong melompong. "Bagaimanapun juga gelas yang pecah tak mungkin diutuhkan kembali," kata seorang pengurus sinagog di Mesir. Tak heran bila masih ada juga rasawas-was di kalangan mereka, walaupun Nasim Rosano, 80 tahun, sangat yakin bahwa pengganti Sadat--Husni Mubarak--akan tetap memelihara suasana sebelumnya. Tapi ternyata tak semua orang Yahudi sangat menyukai perjanjian damai Israel-Mesir dua tahun lalu itu. Sahata Harun pengacara dengan tegas menolak Camp David. Ia pernah dituduh konunis. Berkali-kali berurusan dengan penguasa karena sikap oposisinya. Tahun 1979 diadili, walaupun kemudian dibebaskan. Nabi Musa dilahirkan di Mesir," katanya. Aqidah agama Yahudi sendiri dibuat oleh Akhnaton. Dan secara sejarah antara Yahudi dan Mesir tak ada kerenggangan." Tentang perjanjian Camp David, katanya. "Perjanjian itu tak akan memulangkan orang Yahudi ke Mesir kembali. Itu perjanjian politik. Sedang kepergian Yahudi dari Mesir lebih banyak desakan ekonomi." Ia tak memberi penjelasan, meski semua orang tahu perekonomian Mesir memang jelek. "Kedutaan Besar Israel sendiri di sini, kami tidak butuh mereka. Padahal mereka sangat ingin mengurusi segala yang berbau Yahudi. Ini menjengkelkan. Dulu itu, saya sama sekali tak melihat Nasser ingin mengusir Yahudi dari Mesir. Tapi justru karena ada kelompok tertentu!" Ia sendiri pengagum Nasser. Jumlah Yahudi di Mesir bisa tetap, bisa juga bertambah di masa datang. Kini mereka kembali membuka berbagai usaha. Penukaran uang, biro perjalanan dan pembungaan uang, muncul lagi dengan dalang Yahudi. Peranan memang bisa saja menjadi makin besar Dan kembali menimbulkan persoalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus