DALAM pembantaian terhadap orang Arab sipil di Libanon, Beirut,
bukan Yahudi terutama yang dituduh. Setidak-tidaknya, bukan ras.
Tak disangkal, pihak Israel tak kurang menunjukkan kelakuan
biadab terhadap orang Palestina. Bahkan setelah Israel berdiri
pada 1948, munculnya jutaan pengungsi Arab itu hanya tertutup
dari pandangan dunia oleh "nasib bangsa Yahudi yang memelas" di
zaman Nazi bahkan di abad-abad lampau Eropa umumnya.
Namun sebagai ras, di tanah aslinya sendiri, Arab dan Yahudi
sebenarnya tidak bertengkar-setidak-tidaknya di tempat-tempat
yang agama Islamnya kuat. Bahkan di Kairo, Mesir, Jalan Muskie,
misalnya, diubah namanya menjadi Jalan Moshe Dayan -- meski
majalah Asy-Syira yang menulis sedikit tentang kehidupan kaum
Yahudi Mesir, tidak menyebut sejak kapan. Namun diketahui bahwa
antara lain menteri pertahanan Israel 1967 dan 1973, Ashkul,
lahir di rumah di jalan itu.
Dan memang jalan itu, termasuk dalam daerah elite, dulu dikenal
sebagai odesh (konsentrasi) Yahudi. Mereka merupakan 90% jumlah
penduduk di situ, hidup dalam bangunan-bangunan mentereng --
meski terdapat juga beberapa gelintir yang miskin. Yang terakhir
itu misalnya orang-orang yang menjual pakaian bekasdi pojok
masjid dan Universitas Al Azhar, atau calo-calo "berbagai
bidang". Bagaimanapun, orang mudah mengenali seorang Yahudi yang
berbeda dari seorang Arab.
Sejarah Yahudi di Mesir memang panjang sekali--bahkan sejak
kelahiran bangsa itu sendiri. Tiga puluh tujuh abad yang lalu
dicatat sebagai hijrah pertama orang Yahudi ke negeri tersebut,
dibawah pimpinan (Nabi) Ya'qub. Ketika itu daerah Kanaan sedang
mengalami kesulitan pangan, yang sangat terkenal dalam riwayat
(Nabi) Yusuf yang dikisahkan Kitab Suci. Yusuf sendiri, anak
Ya'qub, dikisahkan sedang menjabat sebagai menteri urusan pangan
di Mesir.
Ya'qub menempati daerah Ghassan daerah yang kemudian memunculkan
(Nabi) Musa. Musalah yang membawa hijrah dan menyelamatkan Bani
Israel itu dari pembantaian Firaun Ramses 11. Adapun Firaun
memburu Yahudi karena bangsa itu dianggap bersekongkol dengan
Hexos untuk memberontak.
Sejak itu, selain di Tanah Kanaan atau Palestina, di Mesir
Yahudi mencatat sejarah di bawah pemerintahan berbagai kerajaan
Islam. Sampai kemudian tumbuh Zionisme di abad lalu, yang
mengundang semua Yahudi kembali ke tanah leluhur.
Berdirinya Negara Israel kemudian makin memperuncing hubungan
Yahudi dan Arab. Sebagai reaksi terhadap pengusiran bangsa
Palestina oleh Israel di negeri mereka sendiri, di Mesir meletus
juga gerakan anti-Yahudi--22 Juni 1956--yang membuat hijrahnya
kaum Yahudi ke Israel. Kebencian yang muncul di benak orang
Mesir saat itu mendapat tambahan oleh kenyataan hidupnya orang
Yahudi yang dianggap eksklusif, dekat dengan penguasa, dan
memegang kendali ekonomi.
Sejak saat itu boleh dikatakan sejarah Yahudi habis di negeri
itu. Asy-Syira, yang terbit di Beirut itu, memperkirakan kini
hanya sekitar 2.000-an orang saja yang ada di Mesir. Mereka
tinggal di Kairo, Iskandariah, dan beberapa pelosok. Tidak lagi
"eksklusif" Malah beberapa yang diwawancarai majalah itu mengaku
lebih betah tinggal di Mesir daripada di Israel.
Cukup dua sinagog untuk peribadatan mereka. Sinagog tua yang
terletak di tengah Kairo, sejak ditandatanganinya perjanjian
Camp David mulai banyak dikunjungi turis dari Israel. Juga
beberapa odesh yang dianggap memiliki nilai sejarah.
Pelancong Yahudi cukup banyak. Badan Sekretariat Yahudi di Mesir
di bawah pimpinan Murad Sulaiman dan beranggotakan tujuh orang,
kini sibuk. Sinagog dirawatnya kembali setelah kira-kira 30
tahun terlunta. Talmud pun dibaca. Badan itu pula yang mengurus
pariwisata Yahudi di Mesir. Menunjukkan Ghassan tempat Musa
menyelamatkan leluhur mereka, dan lain sebagainya.
Karena itu mereka menganggap Sadat pahlawan "Saya baru kali ini
bisa menengok anak-anak saya di Israel," kata Elen Abadi, 72
tahun. Tak terperi kerinduannya menengok anak cucu. Tapi ketika
anak-anaknya dan para kerabat memintanya tinggal di Israel, yang
konon jauh lebih makmur, orangtua itu menolak.
"Saya merasa asing di sana. Saya tak mengenal bahasa mereka.
Bahasa saya Arab. Mereka tak berhasil menahan saya," katanya.
Hingga kini setahun sekali anak-anaknya pasti datang
menengoknya.
Teman Elen, Maurice Levi, 56 tahun, bilang: "Walaupun ada
gerakan 56 dulu, saya sama sekali tidak berpikir untuk pergi.
Waktu itu saya pasrah apa yang hendak orang Mesir lakukan. Sebab
sebenarnya orang Mesir itu baik."
Maurice, setelah Camp David, juga sempat mengunjungi Israel dan
menemui anak-anaknya. Katanya- "Saya takut kalau-kalau saya mati
di sana. Saya ingin dimakamkan di Mesir."
"Kali inilah kami benar-benar memiliki hak hidup sejati," kata
Murad Sulaiman, melukiskan situasi setelah Camp David. Badan
yang ia urus itu kini tak banyak lagi punya persoalan yang
berkaitan dengan penguasa. Persoalan kami di sini sudah selesai.
Tinggal bagaimana kami mau berkiprah bersama warga negara lain
membangun negeri ini, yang juga negeri kami."
Emil, 48 tahun, karyawan bank, belum pernah ke Israel. Tapi
percaya bahwa Mesir "tentu lebih baik." Juga Fortulie Ibrahim,
50 tahun, yang malah pernah menulis surat kepada sanak familinya
di Israel dan mengundang mereka untuk tinggal saja di Mesir. "Di
sini hidup bagai dalam lingkup keluarga," katanya dalam surat.
Barangkali karena Israel, seperti yang didengarnya, bersuasana
tegang. Rose Gaffaran, yang sudah sangat tua, juga ingin mati di
Mesir. Sisa hidupnya ingin dibaktikannya kepada sinagog tua.
"Saya tidak tahu ada perjanjian damai. tapi memang ini negeri
saya," katanya agak cedal.
Ada pelancong Yahudi berkewarganegaraan Italia. Ditulis dalam
ejaan Arab, namanya Maliki aki. Sejak umur 13 tahun ia
meninggalkan Mesir. Tak terperi rasa sedihnya saat itu. Ia lelah
berpisah dengan rekan-rekan baiknya: guru Pahasa Prancisnya,
serta orang Mesir yang mengajarinya sepakbola "Begitu hari Sabtu
saya ke sinagog di sini, dalam hati saya bersumpah untuk ecara
tetap mengunjungi negeri ini, yang telah mengorbankan putranya
yang terbaik untuk perdamaian,' katanya bagai dalam pidato.
TAPI kian banyaknya pengunjung Israel ke Mesir rrnyata tak
menggugah menaiknya jumlah pelancong Mesir ke Israel. David
Heysh, warganegara Amerika bermoyang Yahudi Mesir, menganggap
gampang hubungan ini. Toh ia tahu keadaan ekonomi Mesir--yang
lebih banyak harus mengekspor tenaga kerja ke negara-negara
makmur di Timur Tengah lainnya. David tak menyebut berita-berita
tentang perlakuan buruk pihak Israel kepada penduduk asli Arab
di sana. Tapi tentang Mesir dikatakannya "mungkin sekarang ada
pertambahan orang Yahudi di sini. Tak lagi sebagai penduduk
resmi, tapi sebagai pekerja pada perusahaan patungan
Mesir-Israel."
Pemujaan terhadap Sadat sangat besar. Jamal Abdul Nasser, yang
begitu dielu-elukan di Timur Tengah, tak bergema di hati mereka.
Luka lama, ketika Nasser menganggap para Yahudi Mesir
berorientasi ke Israel, musuh Mesir, cukup membekas. Hijrah
orang Yahudi yang cukup besar waktu itu membuat Jalan Muskie
misalnya kosong melompong.
"Bagaimanapun juga gelas yang pecah tak mungkin diutuhkan
kembali," kata seorang pengurus sinagog di Mesir. Tak heran bila
masih ada juga rasawas-was di kalangan mereka, walaupun Nasim
Rosano, 80 tahun, sangat yakin bahwa pengganti Sadat--Husni
Mubarak--akan tetap memelihara suasana sebelumnya.
Tapi ternyata tak semua orang Yahudi sangat menyukai perjanjian
damai Israel-Mesir dua tahun lalu itu. Sahata Harun pengacara
dengan tegas menolak Camp David. Ia pernah dituduh konunis.
Berkali-kali berurusan dengan penguasa karena sikap oposisinya.
Tahun 1979 diadili, walaupun kemudian dibebaskan.
Nabi Musa dilahirkan di Mesir," katanya. Aqidah agama Yahudi
sendiri dibuat oleh Akhnaton. Dan secara sejarah antara Yahudi
dan Mesir tak ada kerenggangan."
Tentang perjanjian Camp David, katanya. "Perjanjian itu tak akan
memulangkan orang Yahudi ke Mesir kembali. Itu perjanjian
politik. Sedang kepergian Yahudi dari Mesir lebih banyak desakan
ekonomi." Ia tak memberi penjelasan, meski semua orang tahu
perekonomian Mesir memang jelek.
"Kedutaan Besar Israel sendiri di sini, kami tidak butuh mereka.
Padahal mereka sangat ingin mengurusi segala yang berbau Yahudi.
Ini menjengkelkan. Dulu itu, saya sama sekali tak melihat Nasser
ingin mengusir Yahudi dari Mesir. Tapi justru karena ada
kelompok tertentu!" Ia sendiri pengagum Nasser.
Jumlah Yahudi di Mesir bisa tetap, bisa juga bertambah di masa
datang. Kini mereka kembali membuka berbagai usaha. Penukaran
uang, biro perjalanan dan pembungaan uang, muncul lagi dengan
dalang Yahudi. Peranan memang bisa saja menjadi makin besar Dan
kembali menimbulkan persoalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini