Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDELAPAN pelakon itu meng endap dalam gelap, lalu men cari posisi masing-masing di te ngah panggung. Cahaya meng alir sangat kikir, musik mera tap dalam senyap. Dengan cara itulah Bandar Serai Orchestra membuka pertunjukan Opera Melayu Tun Teja, 29 Agustus lalu.
Pertunjukan tiga malam berturut-turut ini—hingga 31 Agustus—masih mengait dengan ulang tahun emas Provinsi Riau. Karena itu taklah ganjil ketika Chaidir, dokter hewan yang penu lis kolom dan Ketua DPRD itu, tampil mengelu-elukan penonton pada malam perdana.
Di tengah ”bengkalai” Gedung Teater Tertutup Bandar Serai—kini bernama Anjung Seni Idrus Tintin—di Kota Pekanbaru itu, Tun Teja memang tak bisa diharapkan perfect. Kualitas akustik, seperti yang seyogianya dituntut pertunjukan ”opera”, agak jauh dari yang bisa diharapkan sebagai ”halwa telinga”.
Tapi produser pertunjukan, Al Azhar, yang sekaligus Ketua Harian Yayasan Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai), sejak jauh hari berpantang mundur. Latihan sudah enam bulan, empat kali seminggu, dan semangat para pendukung menggebu-gebu. Lagi pula, ”Biarlah para pencinta seni tahu sampai di mana pembangunan gedung teater tertutup ini,” katanya kepada Tempo.
Dalam tatar terminologi, ”opera Melayu” memang terbuka untuk perdebatan panjang. Tetapi bentuk seni pertunjukan seperti yang ditampilkan pada tiga malam berturut-turut itu se sungguhnyalah bukan kejutan mendadak. Hampir di sepanjang pesisir timur Andalas, paling tidak sejak akhir abad ke-18, sudah dikenal seni pertunjukan yang disebut Opera Stamboel, Mak Yong, Mendu, Mamanda, Opera Bangsawan, atawa Randai Kuantan.
Bedanya, Opera Melayu Tun Teja sepenuhnya menggunakan perangkat musik Barat dengan sistem notasi Barat. Memang, ”Supaya agak lain, semua aria dalam opera ini, termasuk overture-nya, saya tulis dalam tangga nada minor,” kata Zuarman Ahmad, komposer dan konduktor Bandar Serai Orchestra. ”Bahkan, dalam revisinya kelak, seluruhnya akan saya tulis dalam tangga nada D-minor.
Mungkin itu sebabnya, suasana sendu membalut sekujur pertunjukan, bahkan pada adegan-adegan puncak yang mestinya bisa ”membakar” panggung, mi salnya pertarungan Hang Tuah-Hang Jebat, atau pembangkangan Jebat de ngan merebut payung emas kebesaran Kesultanan Malaka. Suasana monoton ini memang agak mengganggu, apalagi untuk penonton yang belum terlatih mengerabati ”opera”, kendati namanya ”opera Melayu”.
Dengan 160 pendukung—termasuk rombongan paduan suara—pertunjuk an ini mendemonstrasikan keterampil an organisasi panggung yang ketat. Para pemain ”direkrut” dengan sistem audisi. Akhirnya terpilihlah Indah Permata Sari sebagai Tun Teja. Anak SMU 3 Rumbai berusia 17 tahun itu tampil bagus, dengan suara merdu dan gerak tubuh serasi.
Benang merah Tun Teja adalah usaha menafsirkan kembali Hikayat Hang Tuah dari perspektif berbeda. Sudah lama, sebetulnya, kebesaran laksamana legendaris itu mengalami timbang-ulang berketerusan. Itu pula yang dilakukan Marhalim Zaini, penyair-penga rang produktif yang menulis libretto Tun Teja.
Proses menulis libretto ini juga tak mudah. ”Pada mulanya saya gamang,” kata lulusan Jurusan Teater Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu. ”Saya berusaha mendapatkan naskah libretto King’s Witch Goenawan Mohamad, tapi tak berhasil.” Akhirnya, Marhalim ”bergerak” sendiri bersama Zuarman dan Al Azhar, mencari bentuk yang paling mungkin untuk penonton dan kondisi sarana pertunjukan.
Hasilnya sama sekali tak mengecewakan. Selama ini, legenda Hang Tuah selalu berporos pada tiga tokoh utama: Tuah-Jebat-Sultan Melaka. Dalam Opera Melayu Tun Teja, tafsir itu disampaikan dari perspektif perempuan, yakni Teja yang dipersembahkan oleh Tuah kepada Sultan.
Teja, putri Bendahara Pahang itu, sebermula telah bertunangan dengan Megat Panji Alam. Tapi ia diguna- gunai Tuah—diperankan Rizki Alfa rin syi. Adegan guna-guna dan man tra hitam ini merupakan satu di antara adegan paling memikat malam itu. Teja, dalam kelambu semu dan limpasan cahaya biru, dikitari delapan tokoh tenung yang bergerak liar, dalam iringan musik yang tipis miris.
Betapa kecewanya Teja setelah tahu Tuah mempersembahkannya ke haribaan Sultan Malaka sebagai garwa ampil. Dengan ”jasa” sebesar itu, Tuah tetap tak kebal fitnah: ia dituduh bermukah dengan satu di antara istri Sultan. Tuah dibuang atas perintah Sultan—sebetulnya Sultan memerintahkan laksamana itu dibunuh.
Penyingkiran ini membangkitkan amarah Jebat (diperankan Monda Gianes), dan terjadilah amuk mbalelo Jebat yang termasyhur itu. Tak ada yang mampu meneduhkan Jebat, sehingga Tuah harus ”dihidupkan” kembali. Kedua saudara seperguruan itu akhirnya terlibat pertarungan panjang, yang berakhir pada perunjangan Jebat oleh Tuah, dengan keris Jebat sendiri. Tun Teja menyaksikan semuanya: perjalanan senjakala sebuah kesultanan.
DENGAN keterbatasan fasilitas panggung malam itu, skenografer Sonny Suamarsono, yang ”dibon” dari Jakarta, sudah berupaya maksimal. Begitu pula sound director Totom Ko drat, yang dibantu Armand Rambah. Koreografer Nanda, dengan kedelapan awaknya, memberi warna khas, terutama pada adegan-adegan ”ranggi” yang bisa memecah kesenduan.
Memang, Rizki dan Monda, sebagai Tuah dan Jebat, belum berhasil mere presentasikan doa tokoh legenda Melayu dari abad ke-18 itu. Pertunjukan ini, tampaknya, lebih bertumpu pada para pemain perempuan, yang rata-rata tampil bagus, termasuk Yussafat Rose Lidya, mahasiswi Universitas Islam Negeri SUSKA Pekanbaru, yang memerankan Raden Mas Ayu.
Tapi Anjung Seni Idrus Tintin itu sendiri punya masalah cukup serius. Gedung pertunjukan ini memang megah pada tampak luarnya, tapi agak ”menyedihkan” interiornya. Undak-undakan untuk kursi penonton terlalu curam, sehingga yang kebagian kursi paling belakang akan mengalami gangguan jarak pandang ke panggung.
Tak ada pula ruang khusus untuk orkes, sehingga Zuarman Ahmad dan para anak buahnya benar-benar seperti ”dipojokkan”. Jarak timpani dengan musik gesek, misalnya, sangat dekat, sehingga produksi bunyi yang muncul bergalauan. Toh, Marhalim Zaini, yang sekaligus bertindak sebagai direktur pertunjukan, patut diberi unjuk hormat.
Masyarakat penonton Pekanbaru juga ”menakjubkan”. Ruangan penonton tumpah ruah selama tiga malam berturut-turut. Bertubi-tubi calon penonton mara ke kantor Yayasan Bandar Serai, meminta karcis. ”Dari sisi pembelajaran apresiasi, kenyataan ini sangat menggembirakan,” kata Al Azhar.
Amarzan Loebis (Pekanbaru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo