LAMPU sorot menangkap basah seseorang yang berusaha lolos dari penjara lewat titian tali di dinding. Tidak ada yang bisa dilakukan kawan kita ini, selain memainkan jemarinya. Ia meniru dengan mcmbuat bayangan anjing di dinding, sepertl yang biasa dilakukan penonton layar tancap saat layar terang tanpa gambar. Situasi di atas menggambarkan dengan jelas peranan humor, yang jenakanya sebagai katup pelepas dari situasi terjepit. Karya Ortiz (Argentina) itu hanya salah satu contoh dalam pameran "Kartun Internasional Plus" di galeri Ancol Jakarta. Pameran yang berlangsung 27 Januari hingga 5 Februari silam itu menampilkan sejumlah kartunis dari pelbagai latar belakang budaya itu, untuk menggelitik tawa kita. Terkadang dengan mengolah bermacam hal yang hanya mungkin itu terjadi di gambar, seperti Ikan-lkan yang berlompatan dari kolam menyeruduk ke gaun panjangseorang gadis yang bermotif ombak (Hua Hua Feng, RRC), atau ada orang menggenggam matahari (Z. Sakic, Yugoslavia), dan kepala pemain suling yang lepas dari badannya (Agung Karika, Indonesia). Melebih-lebihkan ukuran bahwa kakap mulutnya begitu besar hingga mampu menelan hiu, bahkan orang kecil tangannya besar, sah pula dilakukan dalam kartun. Umumnya para kartunis berusaha mengolah situasi untuk mempermainkan pikiran orang. Lewat permainan itu, perumpamaan tampak pada karya Enver Malkoq (Turki), yang menampilkan alat giling daging dimasuki bendera berbagai negara dan menghasilkan bendera Amerika. Dan G.M. Sudarta (kartunis harian Kompas) bermain dengan slogan "kencangkan ikat pinggang" lewat kartun berangkai -- yang diakhiri gambar orang kehilangan pinggang. Banyak kartunis memilih situasi sehari-hari yang biasa dihadapi publiknya, lalu diolah dan dikacaukan menjadi sesuatu yang tanpa terduga. Koesnan Hoesni dari Indonesia, misalnya, membayangkan sewaktu mengenakan baju lengan panjang, yang muncul di ujung lengan baju tangan monyet. Dalam pada itu, Jaya Suprana malah melantunkan gita cinta di bawah jendela kekasihnya dengan genderang besar. Borislav Stankovic (Yugoslavia) -- merupakan peraih grand prize pada lomba kartun "Candalaga Mancanegara" tahun lalu -- menampilkan tujuh orang membaca koran. Salah seorang pembaca koran Tomorrow tertawa lebar, sedang yang lain membaca koran Today dengan ketakutan. Dalam pameran ini beberapa kartunis menampilkan karya yang lebih gelap seperti buang air di mahkota raja, dikencingi anjing. Tapi dari jenis yang sakit ini, ada saja yang menyentuh, misal karya Christian Marcu (Rumania), seseorang terjepit batu besar dan akan ditolong oleh orang-orang yang justru berdiri di atas batu yang menjepitnya itu. Humor pun bisa lembut seperti pada karya Fabio Bacci (Italia). Ia menampilkan pengemudi kereta aspal (stoomqeals) yang berusaha menaikkan sebelah roda keretanya supaya tak melindas tanaman: bunga kecil. Banyak pengamat berpendapat bahwa kartun dari negara Timur lebih gelap atau menekan, dengan membandingkan contoh kartun Rumania dan Italia tadi. Pendapat ini masih perlu ditelaah, tapi peranan budaya dan lingkungan memang berpengaruh besar pada karya kartun. Ada saja sementara kartun yang dipamerkan membuat kita berpikir keras mencari segi lucunya. Di sini kita menyadari bahwa humor, sebagai dorongan untuk tertawa, memang universal. Hanya apa yang ditertawakan dan cara menertawakannya tetap milik suatu lingkungan tertentu. Pada abad informasi ini, batas lingkungan makin dibuka lewat media massa, bahan bacaan, aneka hiburan, dan usaha penyamaan gaya hidup, termasuk menginternasionalkan tertawa. Kini banyak negara melembagakan dan melombakannya, seperti Belanda, Belgia, Turki, Jepang, Jerman, Italia, dan belakangan di Semarang. Bahkan di Bulgaria berdiri gedung museum besar, House of Humor and Satire, di Gabrovo yang mengkoleksi berbagai karya humor dari seantero penjuru dunia, termasuk di dalamnya benda humor topeng Bali, Calonarang, yang untuk orang Bulgaria dianggap "makhluk lucu". Keterbukaan batas akhirnya memacu para kartunis untuk mencari idiom yang bebas dari keterbatasan bahasa verbal, dengan bahasa gambar. Inilah mungkin yang dikarapkan penyelenggara lomba dan "Pameran Kartun Internasional Plus", mencari "nilai mutlak" humor. Hanya sulit membayangkan "nilai mutlak" itu. Kecuali bila pameran yang menampilkan kartun dari segala pejuru dunia itu bermanfaat dinikmati sebagai upaya memahami bagaimana berbagai kelompok masyarakat menertawakan dirinya dan lingkungannya.Prijanto S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini