Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menyiasati Ruang yang Tak Bertepi

Penari tenggelam dalam keluasan ruang tarian tunggal. Sebuah pilihan festival tari yang menantang.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOROT lampu terfokus pada satu struktur piramida dari bambu yang menjulang bak gunung dalam kegelapan panggung. Seorang laki-laki yang hanya mengenakan cawat berupa lilitan kain putih bersimbah peluh menggerakkan semua bagian tubuhnya dalam gerakan lambat tapi bertenaga. Otot tubuhnya meregang, perut naik-turun secara ritmis bak irama denyut jantung yang berdegup kencang. Agus Mbendol Margiyanto menyedot mata penonton ke dalam ruang sempit piramida yang berdinding kegelapan. Ia mengurai gerak menjadi lebih detail. Maka penonton pun lebih leluasa menikmati perjalanan gerak saat ia merentang tangan, badan menggeliat. Agus Mbendol, 22 tahun, lewat koreografinya bertajuk Day-Lama tampil pada hari kedua Solo Dance Festival, 22-24 April, di Teater Besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Dua belas koreografer tari dari sembilan daerah unjuk kebolehan menampilkan karya tari tunggal. Agus Mbendol, peserta dari Solo, dengan cerdik mengatasi masalah keluasan ruang yang biasa dihadapi koreografi tari tunggal. Agus menciptakan ruang yang lebih ramping untuk dirinya. Ia bergerak di tiga struktur ruang imajinatif yang dibatasi bilah bambu mengerucut dari bagian bawah hingga sudut tajam di bagian atas. Ruang gerak Agus semakin hemat tapi lebih detail ketika ia bergerak dari satu ruang ke ruang lain mengikuti bentuk ruang yang semakin mengerucut. Bak pemain akrobat, ia bergayut, menggantung dengan kaki di atas, sembari mengarahkan perhatian penonton pada gerak tangan, badan, dan kepala. Penguasaan ruang merupakan masalah menonjol dalam festival tari tunggal ini. Koreografer dihadapkan pada keluasan ruang yang harus ditaklukkan hanya oleh satu orang penari. Tapi, di sisi lain, tari tunggal memberikan peluang luas kepada koreografer dan penari untuk mengolah gerak yang secara eksklusif mendapat limpahan perhatian penonton. Elly D. Luthan, koreografer dari Jakarta yang menarikan sendiri koreografinya bertajuk Wisik, melakukannya dengan meletakkan lampu minyak di sudut kiri panggung, sedangkan sudut kanan ia tutup dengan kehadiran penyanyi dan pemain musik. Tapi tetaplah ruang masih terlalu luas bagi Elly. Alumni Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardjo ini akhirnya mampu mencuri perhatian penonton pada bagian akhir karyanya ketika ia mengurung diri di ruang berupa panggung kecil di tengah guyuran air. Adalah I Nyoman Sura, 31 tahun, yang mampu menyita perhatian penuh penonton dari awal hingga akhir pertunjukannya. Koreografer dari Denpasar ini tampil dalam warna putih dari rambut hingga bagian bawah tubuhnya yang dibalut dengan kain lebar hingga membentuk ruang berjalan ke mana pun ia bergerak. Nyoman Sura duduk dengan badan serata lantai di tengah hamparan rok putih yang mencitrakan suasana sureal. Bak sesuatu yang sedang tumbuh, badannya begerak pelan ke atas. Gerakannya tertumpu pada tubuh bagian atas, tangan, dan kepala. Tiba-tiba ia berdiri mengibaskan rok putih lebar yang kemudian menutup ruang dari satu sudut ke sudut lain. Nyoman Sura sama sekali tak menyisakan elemen gerak tari Bali pada karyanya. Gerakan tubuhnya terasa ringan dan terkesan mengekspresikan kegembiraan. Kadang tampak gerakan mirip tari balet. Nyoman Sura tak sendiri. Koreografer dan penari dari Solo, Fadjar Satriadi, 35 tahun, menemukan bentuknya sendiri lewat gerak suara perut dan getaran tubuh yang mengguncang untaian genta kecil berjuntai di lehernya. Berbeda halnya peserta lain. Elemen gerak seni tradisi berbaur dengan elemen gerak tari modern. Maria Bernadeth Aprianti dari Jakarta memasukkan gerak tari elemen seni tradisi Flores ke dalam koreografinya berjudul Kantar. Ali Sukri dari Padang Panjang tampil mengesankan dengan entakan ritmis kaki dan tangan dari gerak silat Minangkabau. Deddy Luthan memasukkan elemen gerak tari keraton Jawa dan tari Jawa pesisir yang dinamis dan Peni Puspita dari Surabaya kental dengan elemen tari rakyat pesisir. Walhasil, festival yang diselenggarakan Mataya Production ini menyisakan banyak harapan terhadap seni tari. Pilihan tari tunggal secara tegas sejak pertama kali festival ini diselenggarakan pada 2001 menumbuhkan tantangan baru bagi koreografer dan penari. Penyelenggara bertekad terus bisa menyelenggarakannya dua tahun sekali. Heru Prasetya dari Mataya berharap 10 tahun ke depan festival ini bisa menjadi barometer tari di Indonesia. "Kami baru mulai. Dan kami akan terus jalan," katanya. Memang itulah ungkapan yang lebih menyerupai tekad, cita-cita, ketimbang rencana. Raihul Fadjri, Imron Rosyid (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus