Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayangkan mosaik merah-kuning muncul di depan kita, bak lukisan surealis yang sekadar garis dan bayang. Tapi mosaik ini lama-lama membentuk bayang-bayang kota. Seperti pemandangan yang kita lihat dari jendela pesawat kala hendak mendarat. Lamat-lamat kita melihat pola rumah-permukiman, sawah, sungai, dan jalan yang berkelok-kelok melalui selapis tipis mega. Bedanya, petualangan yang dijelang kali ini bukan sekadar di ketinggian 10 ribu meter—ukuran standar penerbangan—tapi menjelajah jauh ke ruang angkasa.
Perasaan berada di ruang angkasa itu yang dijaga, secara irama dan visual, dalam pementasan Orizzonte degli Eventi, atau Event Horizon, di Teater Salihara, Jakarta, Rabu-Kamis pekan lalu. Inilah pertunjukan multimedia yang diusung Sincronie, kelompok pemusik kontemporer lintas generasi dunia, dalam menyambut Hari Nasional Italia 2 Juni dan Tahun Astronomi Internasional.
Dalam membawakan Orizzonte, Sincronie mendatangkan Icarus Ensemble, lima orang pemusik yang menguasai bidangnya masing-masing, ke Jakarta: Massimiliano Viel pada synthesizer dan musik elektronik, seniman video Fabio Volpi, pemain perkusi tradisi Italia Pino Basile, pianis Andrea Carnevali, dan pemain trompet Guido Guidarelli.
Selama satu jam lebih, kelima musisi ini membawakan komposisi kontemporer yang pelik di telinga. Synthesizer yang dibawakan Massimiliano mengiringi alunan trompet yang naik-turun, tanpa mudah dikenali iramanya. Demikian pula suara piano Andrea, yang kadang bertabrakan dan kadang bersisian dengan suara elektronik dari synthesizer. Juga berbagai jenis tambourine dan tamborello, rebana asal Italia, yang ditabuhkan kadang lambat dan datar, kadang keras, seolah-olah tanpa harmoni.
Tapi hidangan utamanya sungguhlah visualisasi yang tampil di layar. Dari situ kita bisa mencerna musik yang demikian asing untuk telinga publik umum ini. Dari layar, audiens seolah-olah dibawa ke dalam pesawat ruang angkasa, dan menatap dunia luar dari baliknya. Kita melihat langit yang penuh bintang-bintang dengan ordinat matematis yang bertebaran, serta garis-garis lintang dan bujur yang membentang di antaranya. Kemudian ordinat-ordinat itu mengubah diri menjadi bentukan kubus tak beraturan, sesekali menjadi peta kontur gunung, lembah dan sungai, sebelum membuncah menjadi bagian dari galaksi bintang-bintang yang serba berputar cepat.
Entah irama yang mana, namun kombinasi pengalaman visual dan telinga yang terjadi membawa kita ke perasaan terperangah dan tertarik ke dalam sebuah pusaran pengalaman yang luar biasa asing, nonbumi, seperti dalam Close Encounters of the Third Kind (1977) karya Steven Spielberg, salah satu film yang membangkitkan kembali film science fiction. Bisa jadi ini karena, seperti juga dalam film itu, ada beberapa bisikan suara seperti suara manusia yang diperdengarkan di tengah-tengahnya.
”Tanpa visualisasi, memang sulit menikmatinya,” kata Fabio seusai pertunjukan kepada Tempo. Untuk proyek ini, ia membuatnya dari rekaman langit Google Earth di atas Jakarta dan Bali (pertunjukan yang sama dilakukan di Klungkung)—meski tak selamanya ia membuat visualisasi khusus untuk setiap tempat mereka tampil.
Dalam sebuah sesi, piano dimainkan bukan di tutsnya, melainkan langsung di string-nya. Pemain perkusi Pino Basile memainkan dentaman datar di atas semacam genderang berbentuk seperti topi hitam tukang sulap. Seusai pertunjukan, Pino menunjukkan genderang yang di Italia disebut cupa-cupa itu, yang dibuatnya dari ember biasa dan secarik kain vinyl.
Menurut Massimiliano Viel, sebagian komposisi itu sungguh-sungguh berasal dari bunyi-bunyian yang direkam dari radio galaksi dan komunikasi luar angkasa. Namun, seperti diduga pianis Adelaide Simbolon, yang menyaksikan pertunjukan ini, ada partitur dari repertoar abad pertengahan di dalamnya. Massimiliano menyebut antara lain karya Hildegaard von Bingen, seorang santo asal Jerman yang juga cendekiawan dan pemusik pada abad ke-11. Ini di luar komposisi kontemporer ala George Crumb dan Karlheinz Stockhausen di abad ke-20.
Adelaide kagum dengan upaya mereka melakukan eksplorasi bunyi melalui banyak instrumen: berbagai jenis tambourine, prepared piano, dan synthesizer. Meski tekniknya bukan sama sekali baru, varian suara yang ditimbulkannya mengagumkan. ”Rasanya ajaib sekali mendengar piano bisa mengeluarkan bunyi-bunyi aneh ini,” katanya.
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo