Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Hurt Locker
Sutradara: Kathryn Bigelow
Skenario: Mark Boal
Pemain: Jeremy Renner, Anthony Mackie, Guy Pearce, Ralph Fiennes
Produksi: Voltage Pictures, First Light, Kingsgate Films
”Perang adalah candu.”
Film ini dimulai dari kutipan buku War is a Force that Gives Us Meaning karya Chris Hedges.
Dan Bagdad, beserta segala sisanya yang sudah porak-poranda, memiliki bom yang ditanam di tempat-tempat yang tak terbayangkan: di dalam bangkai mobil; di pojok warung yang sudah membusuk, atau di tubuh seorang anak.
Adalah tugas tim elite yang dipimpin Sersan Matt Thompson (Guy Pearce) untuk menjinakkan bom yang bertebaran seenaknya di sekujur tubuh Bagdad itu. Pada dua menit pertama, Sersan Thompson, yang kepemimpinannya terlihat karismatik, macho, dan dihormati kedua anak buahnya, Sersan J.T. Sanborn (Anthony Mackie) dan prajurit Owen Eldridge (Brian Geraghty), ikut meledak dan hancur. Jadi, Guy Pearce, aktor Australia serius dan ganteng itu, cuma tampil sekejap. Rupanya dia tampil untuk memberikan kontras pada penggantinya, seorang penjinak bom bernama Sersan William James (Jeremy Renner dalam penampilan yang terjaga).
James, seorang pemimpin tim yang lebih muda, jantan, sembarangan, tak takut mati, dan tak peduli struktur. Sementara pemimpin sebelumnya mengikuti aturan penjinakan menurut buku—mengenakan pakaian pelindung yang mirip kostum astronaut—James membuang buku peraturan. Dia terlalu gerah dengan tetek-bengek itu dan memutuskan melepas semua atribut, termasuk earpeace yang berguna untuk berkomunikasi dengan anak buahnya yang mengawasi dari jauh. Ternyata, tanpa atribut itu, James memang mampu bekerja dengan rapi dan teliti. Bom selalu dapat dijinakkan. Itu yang menjadi target utama. Dia dipuji Kolonel Reed (David Morse) habis-habisan karena sudah berhasil menjinakkan 700-an upaya pengeboman. Tetapi kedua anak buahnya menggerutu karena beroperasi dengan bos satu ini sama seperti menantang maut. James seperti tak peduli bahwa nyawanya bisa melayang, sementara kedua anak buahnya adalah tentara biasa: mereka ingin pulang dengan selamat menemui keluarganya.
Film terbaru sutradara Kathryn Bigelow ini—seorang sutradara perempuan yang sangat gemar membuat film laga dengan otot dan keringat lelaki—kini memfokuskan karyanya pada perjalanan seorang James, seorang penjinak bom yang sebetulnya memiliki kepribadian yang lebih kompleks daripada sekadar yang terlihat: dia keras dan sembarangan; tetapi dia emosional melihat kawan kecilnya, seorang anak kecil Irak, yang tubuhnya ditanami bom.
Bagdad yang dipilih film ini adalah bagian-bagian yang sudah tak memiliki roh; sebuah kota yang hancur oleh bom dan tak mampu membangun diri, sementara para kakek dan nenek terseok-seok mengumpulkan reruntuhan bangunan untuk dijual kembali.
Ketika malam turun, kita melihat para tentara berkisah tentang wanita yang mereka cintai. Perlahan kita semakin mengenal James sebagai seorang suami yang ”merasa tak yakin apakah dia masih menikah atau sudah bercerai”, karena pernikahannya tampak runtuh meski mereka semua masih serumah.
Keistimewaan film ini adalah pilihan cerita yang jauh lebih personal daripada problem perang yang luar biasa besar. Bigelow memilih satu sosok saja, bukan seluruh debat politik Amerika dan Irak. Ini semua digambarkan melalui adegan yang sebagian besar diambil dengan kamera yang digenggam, sehingga bergerak sangat cepat, dan dengan tata suara yang terpelihara. Sejak ketegangan sebuah bom yang akan meledak, hingga saat James berhasil menjinakkannya, selalu muncul pertanyaan: siapa yang akan menjadi korban berikutnya saat ini? Menegangkan.
Emosi James dalam film sebetulnya menjadi sajian utama. Hubungan perkawanannya dengan salah seorang anak lelaki Irak yang biasa berjualan DVD bajakan kepadanya menjadi salah satu bagian kisah manusia yang menarik (meski para penggemar film pasti sudah bisa menebak alasan meletakkan anak Irak yang lucu dan manis ini).
Adegan kembalinya James ke AS untuk sekejap—alineasinya terhadap keluarga dan kota besar yang menyediakan ratusan produk yang tak ada artinya bagi dia—memperlihatkan bahwa: James merasa medan perang sebagai rumahnya; tempat dia merasa lebih berguna dan lebih perkasa.
Untuk sebuah film berlatar belakang perang, tanpa meributkan filsafat dan moral politik dengan kata-kata, film ini sesungguhnya justru berhasil menggaruk hati kita hingga akhirnya darah mengucur. Pedih. Perang bukan saja membuat seorang James (yang sesungguhnya berhati baik) menjadi kecanduan. Perang membuat seseorang merasa berguna di ladang pembantaian.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo