Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan bernama Iyem itu mendadak ingin membunuh bayinya. Keinginan mengerikan tersebut disampaikan Iyem kepada pasangannya, Abu. Mereka berdua adalah pasangan gelandangan papa. Mereka kelaparan, sudah lima hari tak makan. Mereka putus asa karena kemiskinannya. "Jangan tatap, kita bunuh saja," kata Iyem.
Iyem (Dwi Lestari Johan) dan Abu (Ruzel) berdebat tentang metode membunuh bayi. Abu menyarankan membunuh secara perlahan dengan mengisap napasnya. Iyem mengusulkan menutup jalan napas bayi dengan telapak tangan. Mereka membunuh sang bayi bukan karena benci, melainkan lantaran sangat mencintainya. Keduanya tak ingin menambah sengsara pada bocah mungil itu.
Adegan "absurd" itu adalah bagian dari lakon Kapai-kapai yang dipentaskan Teater Kala, Makassar, di Taman Budaya Surakarta, Jawa Tengah, Selasa malam pekan lalu. Kapai-kapai berkisah tentang gelandangan yang mencari kebahagiaan. Namun, dalam pencariannya, gelandangan itu menemui kepedihan dan keputusasaan.
Lakon yang ditulis Arifin C. Noer (almarhum) pada 1972 ini berlatar kehidupan sosial Indonesia ketika memulai industrialisasi. Arifin ingin memotret bahwa Abu hanyalah sekrup kecil dari mesin industri itu. Tokoh Abu adalah korban PHK dari perusahaan percetakan.
Masih relevankah naskah ini? Menonton pentas ini, kita segera bisa melihat bahwa persoalan kita sekarang masih sama dengan apa yang direnungkan Arifin 40 tahun silam. Tokoh Abu maka dari itu oleh Shinta Febriany, sutradara Teater Kala, yang dalam naskah aslinya dinyatakan akan meninggal pada 1980 diubah menjadi 2013. Shinta mengusung delapan kardus setinggi dada yang menyimbolkan gelandangan. Shinta juga menghadirkan delapan bantal. "Ini simbol impian dan harapan manusia," kata Shinta.
Penampilan Teater Kala malam itu melengkapi perhelatan seni Mimbar Teater Indonesia yang digelar di Surakarta pada 22-27 September lalu. Kurator dan penggagas acara, Halim H.D., mengundang teater-teater muda untuk merayakan Arifin. Naskah Arifin C. Noer dikenal di berbagai pelosok, dari Makassar sampai Malang. Dari Karanganyar, misalnya, tampil Teater Bandul Nusantara pimpinan Damar Tri dengan lakon Tanpa Dasar tanpa Akhir, adaptasi dari Sumur tanpa Dasar. Dari Surabaya, datang bekas pemain Srimulat, Cak Tohir, yang melakukan monolog. Dari Malang, Teater Sastrasia dari Universitas Kanjuruhan menyuguhkan Dalam Bayangan Tuhan arahan sutradara Dengkeq Darmanto.
Dengkeq pada 1980-an adalah aktor kuat Teater Melarat Malang pimpinan sutradara Dr Hazim Amir (almarhum). Pernah teater yang namanya mungkin diambil Hazim dari nama Poor Theater (teater milik sutradara avant-garde Grotowski dari Polandia) ini mementaskan naskah Bayangan Tuhan-nya Arifin. Saat itu, Dengkeq memerankan Sandek, tokoh utama, seorang buruh.
Pementasan menarik karena Hazim Amir menggunakan berbagai macam topeng. Sayang, pada waktu dipanggungkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, baru separuh jalan, listrik mati. Dr Hazim tak mau melanjutkan pementasan meski diberi alternatif disajikan ulang malam berikutnya. Tontonan Bayangan Tuhan versi arek-arek Malang ini betapapun demikian mendapat pujian Arifin C. Noer sendiri. Menurut dia, mereka mampu melakukan tafsir yang tak terduga.
Arifin adalah dramawan yang dikenal giat mencari siasat kemungkinan dramaturgi baru yang menolak menjiplak mentah-mentah tradisi Barat. Ia mencari suatu bentuk ekspresi yang bisa menampilkan kelindan antara imajinasi dan realisme. Ia banyak memanfaatkan teknik panggung teater dan hiburan tradisional, seperti tarling Cirebon, untuk pencarian bentuk itu. Mengkaji pemikiran dan pencapaian estetis Arifin maka penting, tatkala situasi teater kita lesu, kekurangan darah.
Halim sengaja memilih sutradara muda dan teater yang baru tumbuh untuk regenerasi pemain teater. Selain itu, ia ingin pemain teater muda belajar tentang karya naskah penulis besar. "Pemain muda harus dipaksa belajar dan punya riset kuat tentang naskah teater," katanya.
Shinta Maharani, Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo