Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ISAK tangis dan derai air mata pecah di halaman tengah kompleks rumah susun Puspa Agro di Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin sore pekan lalu. Seratusan warga Syiah asal Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, dan warga Desa Blu'uran, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang, Madura, bersalaman dan berpelukan dengan tamunya. Tetamu yang berjumlah sekitar 50 orang itu terbilang istimewa. Berasal dari Omben dan Karang Penang, yang beraliran Sunni, sebagian di antara mereka merupakan pelaku kerusuhan yang menyebabkan warga Syiah terusir dari kampungnya sejak Agustus tahun lalu. Sore itu, kedua pihak yang bertikai sepakat meneken perdamaian.
"Kaule nyo'on saporah se rajah. Kaule pon tak andi' dendam ka teretan Syiah ka kabbi (saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Saya sudah tidak punya dendam kepada saudara Syiah semuanya)," kata Rendi—sebut saja begitu—kepada pengungsi Syiah Sampang di Jemundo. Rendi mengaku terlibat langsung dalam pembakaran rumah warga Syiah Sampang pada akhir Agustus 2012. "Kami semua mohon maaf atas segala kejadian yang pernah terjadi," ujar pemimpin pengungsi Syiah Sampang, Iklil Al Milal, sambil menangis dan memeluk tamunya.
Acara bermaaf-maafan itu dilakukan setelah penandatanganan kesepakatan damai yang diteken tujuh orang. Empat orang mengaku wakil dari penduduk Omben dan Karang Penang, sedangkan tiga lainnya mengatasnamakan pengungsi Syiah. Salah satunya Iklil Al Milal.
Konflik Sunni-Syiah di Sampang meletup sepekan setelah Lebaran 2012. Tercatat 2 orang tewas, 7 terluka, dan 37 rumah ludes terbakar. Buntutnya, hampir 300 jiwa warga Syiah harus meninggalkan rumah, dan ditampung di Puspa Agro.
Para pengungsi berharap piagam perdamaian yang diteken sore itu dapat mempercepat kepulangan mereka ke Omben dan Karang Penang. Dalam piagam perdamaian, warga Syiah menyatakan iktikad baiknya untuk islah. Mereka siap kembali ke kampung halaman dan bertetangga dengan rukun seperti sebelum kerusuhan. Selain itu, mereka berjanji menghormati keyakinan masing-masing dengan meninggalkan upaya mendakwahkan pandangan keagamaan kepada yang sudah memiliki keyakinan. "Kami tidak akan mengajak orang lain untuk ikut bersama kami," ucap Iklil.
Yang tak kalah penting, mereka akan menghapus dendam dan mengubur kebencian kepada siapa pun di kampung halamannya. Menurut Iklil, dari 50 orang yang hadir dalam penandatanganan piagam perdamaian, 25 orang di antaranya terlibat langsung dalam konflik. Selain Rendi, ia menyebut sejumlah nama lain, baik dari Desa Blu'uran maupun Karang Gayam. "Piagam ini bukan main-main. Ini betul-betul dari inisiatif masyarakat, bukan rekayasa," katanya. "Warga Syiah tak ingin masalah ini berlarut-larut."
Namun jalan pulang sepertinya masih panjang. Piagam perdamaian itu disangsikan keampuhannya oleh banyak pihak. Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra), Nahdlatul Ulama, dan Majelis Ulama Indonesia se-Madura menilai kesepakatan itu rekayasa. "Mereka yang tanda tangan hanya mengaku-ngaku orang Karang Gayam dan Blu'uran," ujar juru bicara Bassra, KH Fudoli Ruham. Menurut dia, islah semacam itu tak mengubah apa pun. Bagi ulama Madura, rekonsiliasi harus tetap pada rekonsiliasi akidah dari ajaran Syiah ke ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
Hasil investigasi ulama, Fudoli melanjutkan, 40-an orang yang hadir dalam penandatanganan piagam itu adalah orang-orang luar Sampang, yakni dari PamekaÂsan. Ia pun mencontohkan nomor kendaraan orang-orang yang hadir dalam penandatanganan piagam itu, yang merujuk pada mobil Pamekasan. Antara lain, Avanza merah nomor M -1460-E, Xenia putih M-1165-AA, Avanza silver M-1412-E, dan Xenia hitam L-1780-N.
Saningwar, salah satu yang terlibat kesepakatan damai, mengakui berasal dari Pamekasan. Ia turut mengupayakan perdamaian karena diminta warga Karang Gayam dan Blu'uran. Menurut dia, warga Sunni-Syiah Sampang sudah lelah dengan konflik itu. "Kepada saya, mereka mengaku kastah (menyesal) sudah melakukan perusakan."
Untuk mengetahui siapa saja yang menandatangani perdamaian, Ketua Tim Rekonsiliasi Syiah Sampang Abdul A'la akan segera mengeceknya. Jika yang meneken bukan orang yang berkonflik, piagam perdamaian itu hanya akan menjadi formalitas dan tidak bisa menyelesaikan persoalan. Setahu A'la, belum semua pihak yang berkonflik bersedia menerima warga Syiah kembali ke Sampang karena persoalan dianggap belum selesai.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut A'la, menginginkan persoalan Sampang cepat selesai dan kedua belah pihak yang berkonflik bisa kembali bertetangga dengan rukun meski berbeda keyakinan.
Di sisi lain, Rudi Setiadi, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Sampang, mengaku tak tahu soal piagam tersebut. Sebab, perdamaian itu bukan program pemerintah daerah. Menurut dia, piagam perdamaian tidak serta-merta membuat pengungsi bisa pulang kampung. Ia khawatir piagam itu justru menghambat proses rekonsiliasi yang sedang dibangun pemerintah daerah. "Ini masalah berat, tidak bisa instan. Butuh proses untuk benar-benar menciptakan perdamaian," ucapnya.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengatakan pengungsi Syiah Sampang harus tetap dipulangkan. Namun dengan proses pelan-pelan lantaran masalahnya adalah persoalan kultural. "Mereka harus ketemu dulu dengan keluarganya. Berangsur ada 7 orang, 2 orang, lalu 20 orang kembali," ujarnya kepada Tempo.
Hal yang sama dia tegaskan saat berkunjung ke kantor Tempo di Jakarta, Rabu siang pekan lalu. "Pemulangan bukan sekadar masalah fisik: dipindah ke sana, lalu dijaga polisi dan tentara. Bukan itu yang kita mau," kata Soekarwo. Idealnya, warga Sampang bisa menerima kepulangan pengungsi, sedangkan penganut Syiah tak lagi mendakwahkan ajaran yang bisa menyinggung kalangan Sunni. Dengan begitu, gesekan tak perlu lagi terjadi.
Wakil Gubernur Saifullah Yusuf, yang mendampingi Soekarwo di kantor Tempo, menambahkan, kunci untuk menerima kembali pengungsi terletak pada penerimaan keluarga, kiai, dan pemerintah di Sampang. "Yang paling ditaati di sana pertama adalah bapak-ibu atau keluarga, lalu kiai atau guru, baru pemerintah, seperti kepala desa. Kalau ketiganya bisa menerima, beres," ujarnya.
Agar kepulangan pengungsi Syiah segera terwujud, tim A'la dan pemerintah menyiapkan strategi khusus lewat program pembenahan fisik dan nonfisik. Setahun pascakerusuhan, Dusun Nangkernang mulai dibenahi anggota Tentara Nasional Indonesia. Jalan-jalan kampung diperlebar, jembatan beton dibangun, serta posko keamanan bagi TNI dan Polri didirikan untuk mencegah konflik. Selain itu, dibangun lebih dari 500 unit rumah layak huni untuk warga Sunni dan Syiah di Nangkernang. Menurut Rudi, pembangunan rumah itu atas persetujuan Iklil.
A'la juga tak berdiam diri. Bersama timnya, mereka berusaha mendamaikan warga yang masih dendam melalui pendekatan kekeluargaan. Caranya, melibatkan kerabat dekat kedua belah pihak untuk silaturahmi. "Mendatang, mereka akan terus kami ajak untuk berkunjung ke warga Syiah."
Selama ini, sebagian warga Syiah di pengungsian sudah kerap bertandang ke kampungnya. Abdul, 40 tahun, penduduk Desa Blu'uran, misalnya, bercerita sempat beberapa kali melihat tetangga Syiahnya pulang ke rumah saudaranya yang Sunni. Noto, salah satu pengungsi Syiah, mengiyakan cerita Abdul. Ia mengaku sering pulang ke Nangkernang untuk menjenguk orang tuanya yang Sunni. Selama pulang, Noto merasa aman-aman saja. Saudara dan tetangganya yang Sunni tidak keberatan ia sering pulang. "Pulang enggak aman itu justru kalau ketahuan polisi. Kami ditangkap, lalu dikembalikan ke pengungsian," katanya.
Endri Kurniawati, Arief Rizqi Hidayat, Musthofa Bisri, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo