SATU lagi patung untuk Ibu Kota Jakarta: Tumbuh dan Berkembang karya G. Sidharta, di Jalan Taman Pakubuwana. Kabarnya, masih menunggu "hari baik" untuk peresmiannya, bersama taman yang mewadahinya dalam dandanan baru Taman Pakubuwana. Patung setinggi 7,5 m dan selebar kira-kira 6 m itu sendiri telah selesai dikerjakan bulan Maret lalu. Bahan bakunya dari lembaran baja setebal 2 cm, dibangun atau disatu-satukan dengan las. Inilah satu-satunya patung publik -- patung di ruang terbuka atau taman -- di Jakarta yang menggunakan bahan demikian. Bukan hanya bahannya tak lazim. Juga rautnya. Sebab, dengan bahan begitu dari teknik las, dihasilkan gubahan raut tersusun dari bidang-bidang segi tiga, segi empat, dan segi banyak: gubahan geometri yang agak kompleks berseluk-beluk, dengan sudut-sudut dan rusuk-rusuk tajam. Pasal tak lazim lainnya ialah warna-warninya. Tumbuh dan Berkembang mengakhiri adat monotoni abu-abu patung publik di Ibu Kota, dan "meledak" dengan warna-warni terang-rata: biru, merah, hijau, di samping putih dan abu-abu. Warna itu membentuk raut geometris, namun tidak selalu mengikuti raut yang terjadi oleh bidang lembaran baja: di sana-sini warna itu memotong bidang itu. Patung keseluruhannya merupakan permainan dua gubahan yang berlainan namun jalin-berjalin: gubahan raut-raut bidang baja dan gubahan raut yang terjadi olel warna-warni. Hasilnya ialah sebuah gubahan baru yang kompleks: sebuah polifoni yang berisi keanekaragaman, dan bukan sebuah harmoni yang seragam dan serempak, begitu ibaratnya dalam gubahan musik. Patung di Taman Pakubuwana itu berbeda dari garapan "tumbuh dan berkembang" Sidharta yang sudah-sudah. Kita tidak bersua dengan irama mengalir, kontinu. Alih-alih, kepada kita disajikan irama putus-putus atau patah-patah, mengentak-entak, irama staccato. Bukankah ini irama yang kita alami dalam kehidupan metropolitan yang sibuk dan serba cepat-cepat bergerak, berubah, beralih, berganti? Kesepakatan antara pematung Sidharta di satu pihak dan arsitek Slamet Wirasondjaja -- konsultan Dinas Pertamanan DKI yang merancang Taman Pakubuwana yang baru -- di lain pihak, untuk menempatkan "patung modern" di taman itu, telah melahirkan patung yang bukan saja meninggalkan praktek dan gagasan yang sudah teradatkan, tetapi juga patung yang dengan cerdas dan canggih menyajikan kias alias metafora bagi kehidupan metropolitan zaman kita. Tentu saja di samping bahan dan tekniknya mencerminkan rekayasa modern, geometrismenya menggugah gagasan tentang rasionalitas, dan tata rupanya mengesankan dinamisme, polifoni, dan irama staccato seperti baru saja kita singgung, patung seberat 10 ton itu harus sanggup berdiri kukuh. Untuk itu, Sidharta meminta peran serta ahli sipil, Umar Handoyo. Badan patung, sesudah dibersihkan, disalut epoxy, untuk mencegah oksidasi. Barulah diberi warna dengan polyurethane. Masih terdapat segi-segi fungsional lainnya. Rautraut geometris sederhana dan warna-warna rata, misalnya, meskipun membentuk gubahan keseluruhan agak kompleks, tentunya akan lebih lancar terpahami atau "terpegang" oleh pencerapan dibandingkan dengan gubahan rupa tak beraturan yang berisi banyak sekali rinci. Dengan kata lain, patung itu tidak perlu menawan perhatian berlama-lama. Soalnya, seputar taman terdapat jalan menuju, atau datang dari, tiga jurusan, yang ramai dengan lalu lintas. Selain itu, patung yang menyediakan bidang-bidang lebar dan warna-warna rata itu mengundang coret-moret dan coreng-moreng, ideal untuk segala macam grafiti. Maka, di kaki patung itu dibangun kolam untuk menghalangi tangan jail. Apa lagi Taman Pakubuwana itu dirancang untuk mengundang orang berjalan-jalan dan duduk-duduk. Konon, menurut Sidharta, patungnya itu menelan biaya Rp 96 juta. Masa penggagasan dan perancangannya lama, sejak awal 1989, melibatkan konsultasi dan pembicaraan panjang, baik dengan Badan Perencanaan Daerah DKI maupun dengan arsitek taman, Slamet Wirasandjaja. Patung itu sendiri dikerjakan selama 4 bulan, sampai Maret lalu. Banyak orang melihat, seni patung layak terpanggil oleh pembangunan kota, apa lagi Jakarta. Memang, Sidharta mengeluh tentang sempitnya ruang. Tetapi ia menunjuk ke halaman bangunan-bangunan, publik, dan ke taman. "Apakah bukan sudah waktunya," tanyanya, "patung itu di taman, dan bukan di jalan?" Sananto Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini