Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pada dimensi pertama, kita melihat bagaimana sistem-sistem dalam masyarakat dahulu mampu melahirkan suatu bentuk seni pertunjukan yang mampu memukau dan mengikat kekaguman dan kecintaan khalayaknya. Pada zaman sistem kekuasaan feodal-absolut kita menyaksikan aura wibawa istana atau "keraton" mendikte dan mendesain format dan semangat seni pertunjukan itu. Baik format maupun semangat seni pertunjukan masa itu berfungsi untuk meneguhkan aura wibawa sang raja dan sistem kekuasaannya. Demikianlah, misalnya, lakon wayang wong Makuto Romo dari Mangkunegaran, Surakarta, dan lakon wayang wong Gondowardoyo dari Keraton Yogyakarta, saya kira, berfungsi untuk meneguhkan aura wibawa dua kerajaan tersebut. Dalam dua lakon seni pertunjukan tersebut, seniman yang menciptakan koreografi dan cerita wayang wong itu tidak disebut dan tidak (perlu) dikenal. Semua karya seni pertunjukan di bawah aura wibawa sistem kekuasaan feodal absolut diklaim oleh sang penguasa, sang raja. Di kepulauan kita, yang pernah mengenal sistem kekuasaan feodal absolut, meski berbeda dalam tingkat format dan semangat, seni pertunjukan itu berfungsi sama bernaung di bawah aura wibawa sistem kekuasaannya. Dalam dimensi yang sama, seni pertunjukan berada di bawah naungan aura wibawa sistem sosial masyarakat kekerabatan yang tidak pernah mengenal sistem kekuasaan feodal absolut. Di bawah aura wibawa masyarakat yang demikian berkembang seni pertunjukan rakyat seperti kita lihat pada seni pertunjukan Minangkabau, Batak, dan daerah di bagian timur kepulauan kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo