Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada dimensi pertama, kita melihat bagaimana sistem-sistem dalam masyarakat dahulu mampu melahirkan suatu bentuk seni pertunjukan yang mampu memukau dan mengikat kekaguman dan kecintaan khalayaknya. Pada zaman sistem kekuasaan feodal-absolut kita menyaksikan aura wibawa istana atau "keraton" mendikte dan mendesain format dan semangat seni pertunjukan itu. Baik format maupun semangat seni pertunjukan masa itu berfungsi untuk meneguhkan aura wibawa sang raja dan sistem kekuasaannya. Demikianlah, misalnya, lakon wayang wong Makuto Romo dari Mangkunegaran, Surakarta, dan lakon wayang wong Gondowardoyo dari Keraton Yogyakarta, saya kira, berfungsi untuk meneguhkan aura wibawa dua kerajaan tersebut. Dalam dua lakon seni pertunjukan tersebut, seniman yang menciptakan koreografi dan cerita wayang wong itu tidak disebut dan tidak (perlu) dikenal. Semua karya seni pertunjukan di bawah aura wibawa sistem kekuasaan feodal absolut diklaim oleh sang penguasa, sang raja. Di kepulauan kita, yang pernah mengenal sistem kekuasaan feodal absolut, meski berbeda dalam tingkat format dan semangat, seni pertunjukan itu berfungsi sama bernaung di bawah aura wibawa sistem kekuasaannya. Dalam dimensi yang sama, seni pertunjukan berada di bawah naungan aura wibawa sistem sosial masyarakat kekerabatan yang tidak pernah mengenal sistem kekuasaan feodal absolut. Di bawah aura wibawa masyarakat yang demikian berkembang seni pertunjukan rakyat seperti kita lihat pada seni pertunjukan Minangkabau, Batak, dan daerah di bagian timur kepulauan kita.
Juga seni pertunjukan di bawah aura wibawa masyarakat sistem kekerabatan ini tidak mengenal dan memandang perlu menampilkan nama seniman pencipta kesenian. Seniman dalam masyarakat begitu juga anonim sifatnya. Para seniman yang mencipta karya seni pertunjukan dalam masyarakat sistem kekerabatan yang disangga sistem ekonomi pertanian tradisi mempersembahkan karya mereka kepada masyarakat lingkungannya.
Dalam dua seni pertunjukan tersebut kita telah mampu mengikatnya dalam tradisi, yaitu ikatan waktu yang panjang yang disangga oleh pengakuan, persetujuan, dan kekaguman masyarakat pendukungnya. Yang mendapat aura wibawa sistem kekuasaan feodal-absolut menghasilkan seni pertunjukan "klasik" dan "adiluhung" mungkin karena sifat aura wibawa sistem kekuasaan yang selalu berat menekan perkembangan masyarakatnya.
Sedangkan seni pertunjukan di bawah aura wibawa masyarakat kekerabatan berkembang dalam rutinitas pengulangan yang disangga oleh sifat homogen sistem ekonomi pertanian tradisi.
Sementara itu, era kolonialisme membawa "embusan Barat" yang dari sedikit mengajari kita perihal "individualisme", "pasar bebas", dan "sistem ekonomi uang". Pengaruh-pengaruh tersebut berembus secara paradoks dan ironis, karena sistem kekuasaan kolonial sambil menancapkan kekuasaannya di kepulauan kita, sistem kekuasaan mereka yang feodal absolut maupun sistem masyarakat kekerabatan yang disangga oleh sistem ekonomi pertanian tradisi yang homogen. Maka, kedua macam seni pertunjukan kita mulai kenal dengan "uang", "pasar", dan "kemasan". Seni pertunjukan "klasik", adiluhung" wayang wong Jawa, misalnya, mulai dikemas secara komersial, wayang wong Sriwedari, Ngesti Pandowo, dan beberapa rombongan wayang wong komersial lainnya. Ketoprakan Ludruk, teater pedalaman, berkembang menjadi teater komersial kota pula. Dan dengan mulai munculnya lebih banyak kota, muncul pula berbagai macam seni pertunjukan komersial yang lain seperti komedi stambul atau orkes keroncong. Teater komedi stambul Dardanela, Miss Ribut, kemudian pada zaman pendudukan Jepang, misalnya Bintang Surabaya, Warna Sari, Sinar Sari, juga kemudian teater "modern" amatir bermunculan di kota-kota. Perkumpulan sandiwara Maya pada zaman pendudukan Jepang boleh disebut sebagai cikal bakal teater modern Indonesia.
Perkembangan seni pertunjukan yang kena "embusan pembaratan" yang demikian membawa aspek baru dalam posisi para penciptanya. Para seniman yang berkarya dan menciptakan seni pertunjukan mulai dikenal dan ditonjolkan. Pribadi seniman mulai dikenal. Nama seperti Anjar Asmara, Dewi Dja, Tan Tjeng Bok, Ismail Marzuki, atau Gesang, mulai dikenal dalam perjalanan seni pertunjukan baru itu.
Lahirnya republik kita beraspirasi untuk membangun suatu sistem kekuasaan baru yang demokratis, yang tidak lagi feodal (apalagi) yang absolut dan kolonial. Kita mengacu kepada asas demokrasi yang berdasar pada egaliterisme yang mengakui hak dan kewajiban yang sama dari rakyat. Dan sistem ekonomi kita ingin kita kembangkan menjadi sistem ekonomi yang modern, yang berorientasi ke pasar persaingan dan perdagangan bebas, dan tumbuhnya suatu industri yang satu rangkaian dan lingkungan pertumbuhan sistem-sistem yang kuat dan subur bagi semuanya. Dalam seni pertunjukan kita yang sekarang dan baru memang kita masih akan berada di bawah naungan sistem kekuasaan di bawah naungan sistem masyarakat. Tapi sistem kekuasaan itu adalah sistem kekuasaan yang demokratis, yang berdasar pada pemerintah dan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem sosial masyarakat kita secara bertahap akan meninggalkan status homogen dari masyarakat kekerabatan dan ekonomi pertanian tradisi kita. Aura wibawa seni pertunjukan kita sekarang dan masa mendatang adalah aura wibawa percakapan, penggunjingan, diskusi, dan kritik bagian terbesar masyarakat kita yang mestinya bebas dan mandiri. Seni pertunjukan itu dengan demikian semangatnya adalah terbuka dan transparan. Seniman yang terlibat dalam semua proses penciptaan seni pertunjukan itu dikenal, diakui, dan dihormati.
Dalam "merayakan asal serta menghormati keragaman" seperti dicanangkan dalam Milleniart di Tirtagangga Karangasem baru-baru ini--dan akan dilanjutkan di beberapa kota lainnya hingga Oktober nanti--semestinya kita menempatkannya terus dalam konteks pertumbuhan masyarakat demokratis kita. Kita menonton dan menyaksikan pertunjukan yang digelar, Musik Berasi, Flores, Tarian Ritual Bisu dari Pangkep, Sulawesi Selatan, Musik Sumbawa, Gambuh Macbeth dan Wayang Wong Tejakula dari Bali, Musik Komoro dari Irian, dan seni pertunjukan lainnya dengan penuh kegembiraan, kekaguman, dan kecintaan tapi tanpa semangat mengelus "antikuitas". Kita menghormati dan takjub akan keragaman dan keawetannya.
Umar Kayam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo