Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Tak Rela Melepas Tim-Tim, tapi TNI Harus Loyal"

19 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM setiap pos penting yang dipercayakan kepadanya, nama Rudini selalu berkibar. Sejak Maret berselang, namanya hampir tiap hari menjadi buah bibir karena ia memimpin Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang penuh kontroversi dan acap kali mengundang sumpah serapah dari berbagai kalangan.

Ketika menjabat Menteri Dalam Negeri, gagasannya tentang penghapusan DPRD tingkat I mengejutkan banyak orang. Alasannya, lembaga legislatif di tingkat provinsi itu lebih berfungsi sebagai bagian dari mekanisme pemerintah daerah alias musyawarah pimpinan daerah ketimbang lembaga wakil rakyat. Tatkala masih aktif di dinas militer, ia tergolong perwira tinggi jalur cepat yang selepas memimpin Kostrad langsung diangkat menjadi KSAD. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa dalam karir militernya yang penuh tantangan itu, Rudini pernah memimpin tiga batalyon Tentara Nasional Indonesia—sebutan baru untuk ABRI—di hutan-hutan Timor Timur (Tim-Tim), pada masa awal integrasi.

Hampir setahun, jenderal bintang empat ini mengomandani anak buahnya menghadapi gerilya Fretilin di seluruh wilayah Tim-Tim. Menjadi tentara memang cita-cita pria yang suka humor ini sejak masa kanak-kanak. Ia lahir pada 15 Desember 1929 di Malang, Jawa Timur, sebuah kota yang penuh dengan pangkalan garnisun Belanda dan ramai oleh parade serdadu, yang membuat Rudini kecil selalu ingin mengenakan baju tentara.

Walaupun orang tuanya menghendaki Rudini—anak ketiga dari 10 bersaudara—menjadi dokter, setelah lulus dari AMS-B (sekolah lanjutan zaman Belanda yang setingkat SMU masa kini), ia malah nyelonong ke Akademi Militer Yogya. Dari sini, dengan beberapa teman, pada 1951 Rudini disekolahkan di Akademi Militer di Breda, Belanda. Empat tahun kemudian, ia kembali ke Tanah Air dengan pangkat letnan dua dan langsung dilantik sebagai Komandan Peleton Ki Yon 518 Brawijaya.

Karir militer Rudini kaya dengan pelbagai pengalaman tempur. Ia pernah memimpin pasukan melawan gerilya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan. Ia juga pernah berangkat ke Mesir sebagai anggota pasukan perdamaian PBB. Timor Timur adalah medan gerilya terakhir yang dia masuki. Saat itu, Kolonel Rudini menjabat Panglima Komando Tempur Lintas Udara.

Setelah itu, karirnya terus menanjak dan mencapai puncak saat menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (1983-1986). Setahun sebelum ia pensiun dari dinas tentara, Soeharto merekrutnya sebagai Menteri Dalam Negeri (1987-1992). Rudini, yang saat itu begitu populer, mengaku menemukan horizon baru, tapi baginya tetap saja lebih mudah memimpin militer daripada sipil. "Ibaratnya kita tinggal batuk, bawahan langsung menjalankan," katanya dengan gurau.

Kini, di sela-sela kegiatan KPU, bapak tiga anak hasil perkawinannya dengan Odyana itu masih aktif di Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI), kelompok think tank nirlaba yang dibentuknya bersama tiga rekan sesama pensiunan tentara sejak 12 tahun lalu. Kendati sudah pensiun, langgam kerjanya masih mencerminkan semangat militer. Dalam usia hampir 70 tahun, staminanya masih cukup prima, begitu pula ketahanan sarafnya. Yang terakhir ini mungkin berkaitan erat dengan keyakinannya bahwa sebagai pemimpin harus dapat diandalkan dan sebagai manusia harus berkepribadian. "Be yourself," demikian katanya pada suatu kali. Tubuhnya memang tak lagi singset, kepalanya pun sudah penuh uban, tapi jenderal yang senang musik klasik dan olahraga ini tak pernah direpotkan oleh beragam penyakit khas "orang pensiunan". Di kantor LPSI, lantai 20 Wisma Artha Graha, Jakarta Pusat, Rudini menerima Dwi Wiyana, Wendi Ruky, Hermien Y. Kleden, dan fotografer Rully Kesuma dari TEMPO.

Petikannya:


Setelah 23 tahun bersama Indonesia, hasil referendum di Timor Timur memperlihatkan bahwa mayoritas rakyat Tim-Tim justru ingin berpisah dari Indonesia. Menurut Anda, mengapa?

Dampak negatif itu terjadi antara lain karena berlakunya operasi militer. Waktu saya jadi menteri, Tim-Tim adalah daerah operasi militer dan masih tertutup karena urusan gerilya Fretilin belum selesai. Orang tidak bisa sembarangan masuk ke sana. Baru pada Desember 1988, Presiden Soeharto memutuskan Tim-Tim menjadi daerah terbuka.

Apakah itu karena kehadiran militer yang terlalu lama?

Mungkin! Tapi, untuk kepentingan menghabisi gerilya memang butuh kehadiran TNI. Toh, Tim-Tim akhirnya boleh dibuka sehingga sama dengan provinsi lain. Operasi pun beralih, bukan lagi operasi tempur tetapi operasi teritorial. Namanya pun bukan lagi Operasi Seroja, melainkan Korem (Komando Resor Militer). Jadi, pasukan dilatih dan diberi tugas mendidik rakyat bertani dan sebagainya.

Lalu, di mana letak kegagalan kita meyakinkan rakyat Tim-Tim?

Itu kan politik dari Fretilin dan Ramos Horta, yang memang sangat mahir melobi. Lobi luar negeri mereka memang lebih kuat daripada kita. Tapi, kalau kita tanya kepada rakyat, saya berani mengatakan mereka itu berterima kasih pada integrasi. Yang tadinya tidak bisa bersekolah menjadi bisa. Mereka dilatih membuat kerajinan tangan di koperasi untuk dijual, dan sebagainya. Waktu saya jadi Menteri Dalam Negeri, saya meninjau itu semua. Tapi Fretilin—masih aktif kendati sudah terpojok—kemudian memanfaatkan isu politis yang dia tiupkan ke luar negeri bahwa rakyat Tim-Tim tambah menderita setelah integrasi. Itu omong kosong!

Dalam Sidang Dewan Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional, 8 Oktober 1974, di Jakarta, Presiden Soeharto menegaskan sikap Indonesia yang tidak berambisi teritorial terhadap Tim-Tim. Kemudian ada integrasi....

Itu kemauan rakyat! Rakyat di sana sendiri yang menyatakan di Dili sesudah Juli 1976. Prinsipnya, kita kan tidak punya misi. Tapi, kalau ada orang yang mau bergabung, kita pertimbangkan dan kita terima.

Bagaimana dengan tudingan invasi militer oleh TNI?

Itu manipulasi politik. Kita masuk karena ada pernyataan rakyat yang ingin integrasi. Sebutan invasi itu tidak adil karena tidak ada fakta bahwa TNI itu menyerbu. Tidak ada serbuan, baik dari laut, udara, maupun darat melewati perbatasan. Yang ada hanya sukarelawan yang membantu. Tapi ini juga resminya baru berlangsung setelah pernyataan integrasi—pada 16 Juli 1976—diterima oleh MPR.

Tapi, mengapa tuduhan invasi ini begitu gencar datang dari luar negeri, bahkan juga dalam negeri?

Tidak bisa dikatakan ada invasi. Karena invasi artinya menyerbu lewat perbatasan dan ada perlawanan. Kita masuk biasa atas permintaan rakyat setempat. Jadi, bukan invasi. Itu keputusan politik. Jakarta menerima integrasi, tentara masuk.

Bagaimana proses persiapan misi militer TNI pada awal integrasi?

Operasi militer itu dibagi menjadi operasi tempur dan pemantapan. Operasi tempur ini menghadapi gerilyawan. Nah, di daerah-daerah yang sudah mantap, operasi tempur digantikan operasi teritorial. Tentara akan mengajarkan rakyat bertani, bercocok tanam, dan sebagainya. Di Tim-Tim, seluruh proses itu disebut Operasi Seroja.

Apa sebetulnya Operasi Seroja itu?

Operasi ini dapat dikatakan tindak lanjut dari pernyataan rakyat Tim-Tim, paling tidak sebagian, waktu itu untuk berintegrasi dengan Indonesia. Tugasnya adalah menstabilkan keamanan dan ketertiban. Kita masuk dan memerangi Fretilin yang bergerilya karena Fretilin yang tadinya kuat—sebelum TNI masuk—menghantam partai yang kecil-kecil.

Apakah potensi konfliknya begitu besar sampai harus menjadi daerah operasi militer TNI selama lebih dari 12 tahun?

Saya kira tidak terlalu besar. Tapi gerilya memang masih kuat. Sepuluh orang gerilyawan bersenjata bisa bikin repot satu batalion.

Karena gerilyawan Fretilin lebih terlatih?

Bukan terlatih, tapi lebih terbiasa dengan keadaan alam di sana. Mereka bisa berlari seperti kijang tanpa sepatu di daerah bergunung-gunung. Sementara itu, orang Tim-Tim yang ikut kita, yang dikasih sepatu dan makan nasi, ternyata tidak bisa berlari cepat. Gerilyawan Tim-Tim itu bisa hanya makan satu ubi untuk tiga hari tanpa minum dan lari tanpa sepatu tapi tetap kuat. Hebat, memang!

Di daerah mana Anda melihat kehebatan ini?

Di daerah Aileu, Ermera. Di situ kan ada hutan, pantai, gunung, seperti Ambon. Di situ mereka bisa berlari-lari dengan enteng dan kencang.

Taktik gerilya mana yang paling merepotkan?

Mereka itu beroperasi dengan gaya serang dan lari (hit and run). Menunggu kita lengah, lalu menghantam dan lari. Mereka masuk ke Dili dengan cara menyamar, pakai pakaian biasa. Persis waktu kita dulu melawan Belanda.

Dari segi militer, apakah Fretilin termasuk lawan yang tangguh?

Kemampuan menembak mereka bagus. Banyak prajurit mereka yang bekas tentara Portugal dan kemudian bergabung dengan rakyat biasa.

Secara umum, bagaimana Anda menilai hasil Operasi Seroja?

Saya kira lebih banyak berhasilnya. Artinya, kesatuan-kesatuan besar Fretilin bisa kita hantam. Kecamatan dan kabupaten bisa kita kuasai. Mereka tercerai-berai dan terpaksa bergerilya. Bahwa TNI bisa memaksa mereka mengubah taktik dari tempur biasa menjadi gerilya, itu sudah suatu keberhasilan. Langkah berikutnya adalah operasi antigerilya. Tim-Tim jadi daerah operasi militer.

Apa kesulitan paling besar yang Anda hadapi sebagai panglima operasi?

Banyak prajurit yang kurang pengalaman perang. Logistik juga jadi masalah. Makanan pokok kita tidak ada, harus didrop oleh pesawat. Kalau kepepet betul, kita makan umbi-umbian dan berburu kuda liar untuk bisa makan daging. Rakyat setempat juga jadi masalah. Mereka tidak mengerti siapa kita. Kita harus belajar berkomunikasi dengan bahasa tarzan, sebelum mulai belajar bahasa Tetun.

Bagaimana mengatur gerak pasukan?

Berkeliling ke seluruh wilayah Tim-Tim. Lamanya kami menetap di suatu wilayah bergantung pada ada-tidaknya operasi di sana. Kalau ada gerakan militer, kami menetap satu sampai dua minggu. Alamnya sangat menantang. Banyak hutan, gunung, dan lembah yang curam. Malarianya hebat. Cuacanya gila-gilaan. Hujan bisa tidak berhenti selama seminggu. Tapi, syukurlah, saya sehat-sehat saja selama di sana. Pulang dari Tim-Tim malah sering flu dan masuk angin.

Di mana basis komando Anda sebagai panglima operasi?

Di Dili. Selama menjadi daerah operasi militer, Tim-Tim itu dibagi menjadi tiga sektor. Sektor barat bermarkas di Bobonaro, sektor tengah di Manatuto, lalu sektor timur di Baucau. Saya memantau keadaan di seluruh daerah itu.

Apakah pihak intelijen menyuplai secara teratur seluruh informasi yang Anda perlukan?

Informasi intelijen selalu jadi pedoman utama operasi militer. Mereka masuk lebih dulu, beroperasi secara klandestin, dan memberi informasi kepada militer. Tapi, sewaktu di Tim-Tim, informasinya tidak begitu lengkap.

Tidak lengkapnya seperti apa?

Sungai yang dikatakan dalam dan banyak buaya ternyata kering dan tidak ada buaya. Waktu hujan memang airnya luar biasa deras, tapi beberapa saat kemudian kering lagi. Binatang-binatang buas yang dilaporkan dalam laporan intelijen ternyata tidak ada.

Kapan masa-masa paling krusial selama operasi Anda di Tim-Tim?

Waktu itu kami baru menguasai kota. Yang gawat pasukan kami mulai dari komandan batalyon sampai ke bawah itu umumnya belum pernah bertempur. Rata-rata mereka lulus pada 1966 dan belum pernah bertempur karena tidak ada perang. Paling-paling mereka mengejar PKI, yang juga sudah habis pada 1966 itu. Dengan kondisi seperti ini, sebagai panglima, saya harus terus di belakang mereka untuk memberi nasihat.

Berapa orang anak buah Anda yang tewas di Tim-Tim?

Anak buah langsung, sih, tidak banyak, sekitar 20 orang. Tapi, secara menyeluruh, ada 1.200 makam di sana. Belum yang dikirim pulang dalam keadaan cacat.

Menteri Penerangan Mohammad Yunus Yosfiah termasuk salah seorang anak buah Anda?

Itu bawahan langsung saya. Tim komandonya bagus. Ia jago di lapangan dan sangat berani. Setiap kali menyerang lawan dan berhasil, ia datang dan bertanya, "Ke mana lagi, Pak?" Saya pikir ini orang nekat. Terus, kata temannya, "Yunus itu berani karena lagi patah hati." Eh, akhirnya dapat nona Tim-Tim. Ha-ha-ha....

Setelah 23 tahun beroperasi di sana, kok, gerilyawan masih saja ada di hutan. Menurut Anda, apakah ini termasuk kegagalan TNI?

Operasi gerilya termasuk gagal karena operasi semacam ini memang tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Saya tidak sedang mencari-cari excuse walau gerilya DI/TII dulu juga baru selesai dalam 15 tahun. Tapi, kalau ada yang mengatakan operasi gerilya gagal, saya menerima itu. Tapi memang sulit. Maka itu, saya tidak yakin tentara asing bisa mengatasi Tim-Tim sendirian, tanpa TNI. Apalagi mereka sudah berpihak. Bisa-bisa, nanti pihak prokemerdekaan masuk kota, prointegrasi gantian masuk hutan.

Banyak dokumen dan cerita lisan yang menggambarkan kekejaman TNI selama operasi militer di sana. Membunuh, merampok....

Kalau membunuh dalam perang memang tidak ada pilihan. Tapi yang digambarkan dalam dokumen-dokumen asing itu amat berlebihan. Di kalangan tentara, ada semacam keyakinan bahwa orang yang mencuri, merampok, memerkosa, dan membuat susah rakyat, tidak akan selamat. Dan itu terbukti. Ada prajurit dengan ransel penuh barang curian tertembak mati. Bahwa mereka sampai merampok di rumah-rumah, itu omong kosong, walau oknum tentara yang "melenceng" memang ada. Kasus-kasus pasti ada.

Tentara Indonesia juga dituding sebagai biang keladi matinya ratusan ribu rakyat Tim-Tim. Apa komentar Anda?

Memang ada rakyat yang mati. Tapi, kalau sampai puluhan ribu, untuk ngubur-nya saja, perlu berapa hari? Saya pernah menghadiri penguburan delapan orang prajurit. Menggali kuburnya saja sudah perlu sehari penuh. Bagaimana kalau puluhan ribu?

Tokoh integrasi Lopez da Cruz—seperti yang dikutip John G. Taylor dalam Indonesia's Forgotten War—menyebutkan, jumlah korban hingga 60 ribu jiwa?

Oke, tapi apakah yang menembak itu hanya TNI? Apakah Fretilin tidak menembak? Kalau dikatakan kejam, ya, sama kejamnya. Jangan karena ada tengkorak berlubang terus dibilang, "Wah, bukti cukup kuat bahwa TNI yang menembak." Tunggu dulu. Apakah gerombolan tidak punya senjata? Padahal, senjatanya sama. Rakyat yang membantu TNI dibunuh Fretilin. Sementara itu, yang membantu Fretilin juga disikat TNI. Jadi, kalau dikatakan korban ada 60 ribu, mungkin benar. Tapi, dalam jangka waktu berapa lama? Korban tembakan siapa? Jangan terus dilempar ke TNI. Bukan saya membela TNI, tapi ini pengalaman saya di daerah-daerah kacau sejak masih letnan dua. Jadi, kalau dikatakan 100 ribu oke, 60 ribu oke. Tapi itu nonsens kalau terjadi dalam waktu singkat dan yang menembak cuma TNI.

Jadi, tidak benar tuduhan bahwa TNI melakukan usaha-usaha pembantaian di Tim-Tim (genocide)?

Dalam perang gerilya, orang itu berebut rakyat. TNI versus Fretilin sama-sama mencari dukungan rakyat. Maka, pembunuhan terjadi. Tapi saya berani bertanggung jawab untuk mengatakan bahwa tidak pernah terjadi pembantaian atau pembersihan etnis.

Pernahkah Anda mendengar tuduhan pemerkosaan yang dilakukan tentara TNI?

Sulit menjawab soal ini. Menurut penelitian resmi pemerkosaan hanya terjadi satu kali. Dan prajurit yang melakukan itu dihukum berat. Yang lain adalah mau sama mau. Lha wong, mau sama mau, kok, buntutnya bilang memerkosa, itu gimana? Di daerah pertempuran, tiap hari tegang. Mereka tidur tidak tenang dan tidak bertemu anak-istri. Dalam tiga bulan, kerbau pun sudah kelihatan cantik. Maka, maksimal prajurit itu ada di lapangan enam bulan. Setelah itu mereka harus dipindahkan ke daerah yang lebih aman untuk menurunkan battle fatigue.

Bagaimana Anda mengatasi kelelahan anak buah?

Harus banyak berkomunikasi. Tingkat stres tinggi dalam menghadapi Fretilin yang kejam sekali. Prajurit korban bukan cuma ditembak mati, kepala dan anggota badan itu sudah tidak ada. Aduh, kalau memakamkan itu sedih sekali. Belum lagi harus memberi tahu keluarganya. Maka, ketika selesai bertugas di Tim-Tim, saya berjanji dalam hati supaya di Indonesia jangan ada pertumpahan darah lagi. Saya sudah muak.

Kabarnya, Anda pernah nyaris tewas di Tim-Tim. Bagaimana ceritanya dan di mana kejadiannya?

Kejadiannya di daerah Aeliu, arah ke barat jurusan ke Ermera. Ketika itu, seperti biasa, saya keliling mengikuti pasukan. Komandannya masih muda dan berpangkat kapten. Di sebuah ketinggian (daerah perbukitan), saya tanya kepada komandan, "Ketinggian itu sudah dikuasai belum?" Dijawab, "Sudah, Pak!" Ya, sudah, saya keluar. Eh, musuh muncul dan memberondong dengan senapan mesin.

Sama sekali tidak ada perlindungan?

Ada selokan di pinggir jalan. Saya pun tiarap. Pengawal saya juga masih prajurit baru, sehingga cara menembaknya belum begitu mahir. Anggota pasukan ada yang kena di punggung dan ada pula yang kena tangannya. Sembari menangis, prajurit yang terluka tangannya itu bertanya, "Pak, saya ini mati atau tidak?" Saya katakan, "Goblok, selama kamu ngomong, berarti belum mati!" Ha-ha-ha.... Lalu, saya ambil alih senjatanya dan menembak. Nah, prajurit yang di belakang saya suruh naik melingkar dan keadaan bisa diatasi. Begitulah, dalam keadaan seperti itu, kita hanya bisa pasrah kepada nasib.

Anda sakit hati karena Tim-Tim akan lepas dari Indonesia?

Sakit hati tidak, tapi saya tidak ikhlas dengan penyelesaian seperti itu. Dari awal saya bilang, saya sulit bersikap obyektif menilai keadaan Tim-Tim sekarang, karena ada hubungan emosional. Bukan saya tidak setuju rakyat Tim-Tim minta merdeka. Tapi caranya bukan begini. Ini bukan keputusan politik yang bijaksana.

Kerelaan TNI menyerahkan Tim-Tim kepada pasukan asing adalah juga ketaatan kepada sebuah keputusan politik. Namun, ada suara sumbang yang menyebutkan mereka rela karena Tim-Tim toh sudah bumi hangus.

Ha-ha-ha.... Sekarang saya tanya, "Yang rela itu siapa?" Sebab, TNI itu enggak rela. Tapi, TNI harus loyal pada keputusan politik. Kalau tidak, TNI bisa dianggap melakukan kudeta. Saya kira, kalau mau jujur, tidak ada TNI yang rela. Wong, mereka sudah menderita begitu lama di sana.

Jadi, tidak ada kerelaan?

Kalau TNI rela, itu omong kosong. Tapi, kan harus loyal terhadap keputusan politik. Mau bagaimana lagi?

Lalu, bagaimana Anda melihat persiapan kemerdekaan Tim-Tim yang akan dipimpin Xanana Gusmao?

Menurut saya, tidak realistis kalau mereka mau memproklamasikan kemerdekaan Tim-Tim sekarang. Persiapannya apa? Dia cuma mengandalkan kelompoknya dan dukungan internasional.

Bukankah dulu Indonesia waktu merdeka juga tidak punya apa-apa dan juga mengandalkan dukungan internasional?

Sama sekali tidak. Kita tidak mengandalkan dukungan internasional! Dulu itu, pokoknya ingin bebas dari penjajahan. Tiba-tiba saja semua setuju dan serentak memberontak di seluruh Indonesia, di bawah Bung Karno, yang begitu pandai mengerahkan rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus