Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mimpi bunga di tengah jakarta

Pameran lukisan karya mulyadi w dan arief sudarsono di galeri edwin, jakarta. ada anak, ada kuda, ada dongeng, jauh dari hiruk-pikik modernisasi. lukisan dekoratif yang khas, dan jadi karya kreatif.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK perempuan itu menunggang kuda putih. Rambutnya tergerai ke belakang, penuh bunga. Di sekitarnya adalah juga bunga-bunga, putih. Kain si dara dilukis jelas, bermotifkan ornamen-ornamen. Inilah Mimpi tentang Bunga karya Mulyadi W., 51 tahun, salah seorang pelukis dekoratif kita yang telaten, dan sering menyuguhkan puisi dari bentuk, garis, dan warna. "Saya ingin mendongeng," kata pelukis itu. Meski sejak 1970 ia resmi menjadi warga DKI Jakarta, yang ia dongengkan bukanlah hiruk-pikuk sebuah metropolitan. Yang ia kisahkan dengan garis lembut dan warna-warna pastel adalah cerita lama dari kampung. Tapi, bukan cerita prosa yang jelas tokoh dan pokoknya. Mulyadi, yang juga sering membuat ilustrasi di majalah kanak-kanak Kawanku, lebih menyuguhkan suasana-suasana dari masa nenek moyang. Dalam diri pelukis ini, tampaknya, memang tersimpan kuat jejak nenek moyang. Figur manusia yang ia gambarkan, misalnya, bukanlah profil-profil masa kini. Malah, bisa dibilang, profil itu dekat dengan bonek-boneka kayu yang banyak dibuat di desa-desa di Jawa. Yang jelas, Mulyadi sulit melupakan suasana damai dan tenteram Pulau Bali, tempat ia berdomisili dari pertengahan 1960-an sampai awal 1970-an. Mimpi-mimpinya tentang Bali itulah, kini, menjadi sumber kreasinya. Maka, pilihan untuk melukis dengan gaya dekoratif, klop dengan tema-tema yang mau ia ceritakan. Bukankah ornamen-ornamen batik, motif-motif ukiran memberi kesan sesuatu yang datang dari zaman lampau? Bahkan, bila ia melukis rambut atau surai kuda, ia lukis satu per satu. Benar, tak sepenuh kanvas Mulyadi berornamen, tak seperti lukisan Bali tradisional itu, umpamanya. Hiasan-hiasan hanya ia gambarkan di kain, atau sarung, dan pakaian figur-figurnya. Namun, sesungguhnya, bidang-bidang tanpa ornamen tersaji secara dekoratif pula -- latar belakang karyanya yang "kosong" itu terbentuk dari garis-garis berwarna tipis. Bila gaya dekoratif adalah menyusun garis dan bentuk berulang-berirama, tentulah latar itu juga bisa disebut dekoratif. Pentingnya ornamen bagi Mul tampak dari Katak dan Lembu, satu-satunya karya dari 19 lukisan yang ia pamerkan di Galeri Edwin, Jakarta, sampai Sabtu pekan ini, yang latar belakangnya berhiaskan ornamen. Hasilnya, kesan cerita rakyat dalam lukisan ini memang jadi kuat. Dengan cara lain, Arief Sudarsono, 54 tahun, juga menyuguhkan lukisan dekoratif yang kadang juga mendongeng. Kesan dongeng itu dicapaiya lewat obyek-obyek lama (misalnya dalam Pasangan Suku Jawa dan Masjid Tua). Juga karena bentuk figurnya. Dalam Jaka Tarub misalnya, figur bidadari mirip sosok wanita dalam wayang kulit. "Kekunoan" karya Arief juga terkesan dari adanya kontur yang menonjol sebagai tekstur, yang mengesankan lukisan ini bak sebuah relief seperti di candi-candi. Tak semua karya Arief menyuguhkan bentuk kuno. Bila ia hanya melukis pemandangan dalam Dusun, maka ia cuma mendeformasi bentuk rumah dan pohon menjadi bentuk streotip, yang lalu ia susun berulang-ulang. Sejarah seni lukis dekoratif Indonesia bisa dilacak ke belakang sampai ke ragam hias tradisional, wayang kulit, sampai ke ilustrasi-ilustrasi buku-buku lama dan lukisan tradisional Bali. Atau, dalam seni rupa Indonesia baru, bisa dilihat sejak Kartono Yudhokusmo menyuguhkan deformasi bentuk alam yang diiramakan. Biasanya, yang berangkat dari konsep semacam Kartono lalu berkembang menyuguhkan lukisan surealistis (misalnya karya Sudibio). Yang menengok ke ragam hias tradisional, antara lain, Batara Lubis, Abbas Alibasyah, Widayat, Suparto, Irsam. Dari arus dekoratif ini, tampaknya, Mulyadi berada di tempat yang khas. Ia tak semata menengok ke hiasan-hiasan tradisional yang kemudian ia susun kembali. Sebenarnya, suasana kedekoratifan itulah yang ia tangkap, dan dijadikan media untuk berkisah. Kurang lebih ini mirip pertunjukan wayang kulit. Dalam Anak-anak Bermain "konsep" pertunjukan wayang kulit itu terasa sekali: format kanvas yang persegi panjang, lalu sejumlah anak yang asyik bermain dalam berbagai pose diatur berjajar. Sungguh meleset catatan pada katalog yang menyamakan karya Mulyadi dengan karya "Hindia Molek" --istilah ini mengacu pada karya-karya turistis tak bermutu. Juga keliru bila ada yang berpendapat bahwa lukisan dekoratif berhenti pada ornamen tradisional dan selesai. Di tangan Mulyadi -- salah seorang tokoh Sanggarbambu dulu -- lukisan dekoratif itu jadi karya kreatif. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus