Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Setiap pemerintahan memerlukan...

S.l.: ohio university center for internasional resensi oleh : onghokham.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MILITARY ASCENDANCY AND POLITICAL CULTURE: A STUDY OF INDONESIA'S GOLKAR Penulis: Leo Suryadinata Penerbit: Ohio University Center for International Studies, Southeast Asia Series no. 85, 1989, 223 halaman BIARPUN dalam judul buku ini ada istilah "budaya politik", ia sebenarnya suatu studi politik mengenai Golkar. Memang, di antara sarjana ilmu politik didikan Amerika, seperti Leo Suryadinata, ada penekanan pada segi budaya masyarakat dalam pendekatan atau metodenya. Ini berbeda dengan mereka yang menekankan masalah kepentingan kelas, bahkan pertentangan antarkelas. Dalam pendekatan budayanya, Suryadinata memakai pembagian masyarakat Jawa dalam golongan abangan, priayi, dan santri, yang berasal dari Clifford Geertz. Menurut Suryadinata, biarpun pembagian santri-abangan-priayi dari Geertz terbatas pada masyarakat Jawa, kini pembagian tersebut dapat juga diterapkan pada daerah-daerah lain. Suryadinata berpendapat, Golkar didominasi oleh budaya politik kaum abangan dan priayi, yang dalam bahasa sehari-hari di Indonesia disebut dengan julukan Islam KTP. Golkar diakuinya dekat dengan tentara dan pimpinan tentara, yang kebanyakan berbudaya priayi-abangan. Pun pimpinan Golkar, seperti almarhum Ali Moertopo, berasal dari lapisan masyarakat itu. Dalam masa Soekarno, lapisan masyarakat tersebut diwakili oleh PNI dan PKI. Suryadinata juga mengetengahkan bahwa Golkar sangat giat dalam penyebaran dan konsolidasi ideologi Pancasila. Hal ini, baginya, merupakan bukti lain bahwa Golkar mewakili budaya politik abangan-priayi. Di sini, ada dua hal yang agak bertentangan. Seandainya Suryadinata benar mengenai budaya politik Golkar, dan saya kira banyak yang akan menyetujuinya, yang kita lihat kini, pada setiap pemilu, kursi Golkar makin bertambah di DPR/MPR. Artinya, menang dalam pemilu. Di pihak lain, kita melihat gejala "Islamisasi" masyarakat Indonesia, yang oleh Suryadinata dilihat dengan bertambahnya masjid, tempat ibadah lain termasuk di hotel-hotel mewah, atau bertambahnya orang yang menjalankan puasa. Timbul pertanyaan: Kalau jumlah Islam KTP demikian besar di masyarakat Indonesia, apakah masih tepat kalau kita selalu menyatakan bahwa 90% masyarakat Indonesia adalah Islam. Apa dari pola pemberian suara sejak Pemilu 1955 sampai kini kita tidak harus menyebut golongan Islam sebagai minoritas, dan bukan mayoritas paling sedikit secara politis? Apa sebenarnya "kepentingan Islam dalam politik", misalnya mengenai hubungan internasional, perkembangan ekonomi, anggaran belanja, dan dalam bidang keuangan? Konklusi-konklusi ini tidak ditarik oleh Suryadinata. Biarpun karya ini memulai dengan budaya politik masyarakat Indonesia, sayangnya, ia tidak dijabarkan lebih lanjut. Karya ini terlalu banyak memusatkan perhatian pada Golkar sebagai suatu organisasi politik. Misalnya, pemilihan umum, fraksi-fraksi dalam Golkar, dan masalah antara Golkar dan partai Islam di Indonesia. Dalam bab terakhir, Suryadinata mengajukan beberapa pertanyaan yang juga sering disoalkan di sini, tanpa dapat memberi jawaban yang jelas. Apakah Golkar dapat menjadi suatu organisasi yang otonom, baik dari tentara maupun dari pimpinan-pimpinan politik? Khususnya kelak setelah regenerasi pimpinan? Kalau Golkar memang merupakan perwujudan budaya politik abangan-priayi, tentu masih ada hari depan baginya. Namun, Suryadinata melihat ada perubahan-perubahan dalam keagamaan di Indonesia. Gejala budaya baru ini, seperti dikatakannya tadi, adalah "Islamisasi". Menurut Suryadinata, Golkar menyesuaikan diri dengan gejala ini, artinya dengan mendekati Islam, atau ada kecenderungan mengikuti "Islamisasi" ini. Budaya politik abangan-priayi yang lebih fleksibel akan dapat menyesuaikan diri dengan gejala budaya baru ini. Entah sampai di mana ini benar. Ada yang membandingkan Golkar dengan Partai Pelembagaan Revolusi di Meksiko yang, biarpun bernama "revolusi", sebenarnya suatu partai konservatif yang berkuasa dan didukung Pemerintah Meksiko selama puluhan tahun. Suryadinata juga melihat Golkar sebagai Partai Revolusi Meksiko ini. Ia juga membandingkannya dengan Liberal Democratic Party di Jepang dan Partai Kongres di India. Akhirnya, Suryadinata berkata, apa pun nasib Golkar, setiap pemerintahan memerlukan organisasi atau partai seperti Golkar, yang sebenarnya juga sudah memiliki akar pada zaman Soekarno. Menurut saya, pendekatan Leo Suryadinata melalui budaya politik masyarakat kurang tepat. Yang lebih tepat pada zaman masa mengambang, seperti saat ini, adalah pendekatan melalui budaya politik elite. Setiap organisasi dan sistem politik akan berkembang, dan kepekaan terhadap perubahan inilah yang akan sangat menentukan nasib di panggung Indonesia ini. Pembagian abangan, priayi, dan santri menjadi kurang relevan dalam menilai perkembangan politik di Indonesia. Onghokham

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus