Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bolehkah petani menjadi kaya ?

Sosok petani indonesia yang menurut sensus penduduk 1980 mencapai 55,9% dari seluruh total tenaga kerja. miskin dan tinggal di gubuk reyot. tapi ada juga petani yang kaya, misal dengan menanam bonsai.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BADAN kurus kehitaman. Kaki dan dada telanjang. Itulah gambaran umum masyarakat terhadap petani Indonesia yang jumlahnya, menurut sensus penduduk 1980, mencapai 55,9% dari seluruh total tenaga kerja. Mereka miskin. Tinggal di gubuk reyot nun di pelosok pedesaan yang udik. Gambaran ini tidak salah, sebab memang begitu itulah senantiasa yang muncul di koran, majalah, buku komik, buku pelajaran sekolah, bahkan juga di siaran televisi. Cobalah simak manakala ada acara Asah Terampil dan Sambung Rasa di televisi. Tak ada petani yang pakai safari. Apalagi jas dan dasi. Senantiasa mereka disuruh memakai pakaian petani berupa "busana daerah" masing-masing. Yang dari Jawa pakai blangkon. Yang dari Sumatera Utara pakai ulos. Yang dari Bali bawa keris. Tapi, yang dari Ir-Ja tak boleh pakai koteka. Pendek kata, mereka harus tampil sebagaimana lazimnya petani selama ini. Tapi, alangkah kaget ketika saya merayapi Desa Tulungrejo, Batu, Malang, nun di Jawa Timur sana, dan bertemu dengan Kadir Rasyidi. Dia 100% petani, tapi penampilannya tidak seperti petani pada umumnya. Rumahnya bagus. Punya mobil dan sering pakai safari. Anak-anak muda di Tulungrejo sana juga biasa memakai jeans dan kaus warna-warni, persis anak Menteng dan Kebayoran. Kalau Anda naik Gunung Sumbing di Ja-Teng, menerobos kawasan Pangalengan di Ja-Bar, menyusup ke dataran tinggi Brastagi, Sum-Ut, bahkan juga ke Minahasa sana, pemandangannya juga tak jauh beda. Banyak petani yang kaya raya. Memang, para petani kita yang kaya tadi punya tanah luas dan mereka menanam komoditi yang tinggi nilai ekonomisnya. Misalnya saja kentang, tembakau, cengkih, dan apel. Jadi, harap maklum-maklum saja. Tapi, bagaimana nasib Pak Tani yang tanahnya cuma 1 hektare atau kurang? Menurut para pakar ekonomi pertanian, mereka itu mustahil bisa kaya. Lihat saja itu para transmigran. Mereka sudah dikasih tanah gratis 2 hektare, diberi bibit tanaman dan jaminan hidup segala macam. Apa jadinya? Umumnya, yang bisa mereka capai maksimal adalah tidak lagi kelaparan. Tapi, jadi kaya raya? Makanya, agar nasib Pak Tani berubah, mereka harus punya 15 hektare per orang dan menanam tembakau atau cengkih. Tapi, Rizal Djaafarer di Langensari, Lembang, Bandung, tidak setuju. Soalnya, meskipun lahannya cuma 1,2 hektare, penghasilannya bisa lebih dari Rp 2 juta per bulan. Apa dia tanam ganja? Tidak! Dia seorang petani kaktus. Di Kelapadua, Cimanggis, Bogor, ada Ma'ah, Nilin, dan H. Satim, yang lahannya cuma ratusan meter persegi, tapi penghasilan per bulannya bisa ratusan ribu rupiah dari buah belimbing. Petani yang lahannya cuma ratusan meter persegi, tapi penghasilannya per bulan ratusan ribu rupiah, bahkan jutaan, jumlahnya memang cukup banyak. Dalam dunia ABRI, ada jenderal, ada kolonel, dan ada pula prajurit. Dalam alam pertanian pun ada pula jenderal-jenderal yang lahannya bisa menyaingi PNP maupun PTP. Ada pula kolonel yang sering tampil dalam acara Asah Terampil, Sambung Rasa, dan Temu Wicara. Tapi, paling banyak tetap para prajurit, yakni para petani "gurem" yang gombal-gombal itu. Terhadap mereka sudah diberikan penyuluhan dan bimbingan. Subsidi pun selalu mengalir, bak banjir di musim hujan. Tapi, karena Pemerintah cuma ingin menaikkan hasil per satuan luas tanah per musim tanam (pola vertikal), hasilnya teramat sulit untuk menjadikan prajurit petani menjadi kolonel, apalagi jenderal. Karena pola pertama tadi susah ditempuh, banyak petani berbakat yang menggunakan pola kedua sebagai jalan pintas. Setelah berhasil mengembangkan diri secara vertikal, mereka pun dengan sigap mengembangkan diri secara horisontal. Lahan para sesama petani di sekitarnya dilahapnya, hingga kalau semula sebagai prajurit dia hanya punya 0,3 hektare, maka dalam waktu singkat ia pun naik pangkat jadi letnan dengan lahan 2-3 hektare. Inilah seleksi alamiah. Apa boleh buat. Meski Pemerintah dalam melakukan penyuluhan tak pernah menganjurkan para petani maju itu mencaplok lahan sesamanya, tak ayal, setelah jadi kaya, lahan-lahan tetangga itu pun tergulunglah sudah secara otomatis. Tapi di luar pola itu, ternyata ada pola ketiga. Kelompok petani ini justru "murtad" dari ajaran penyuluhan Pak PPL (penyuluh pertanian lapangan). Kalau Pak PPL menyuluh agar hasil padi meningkat dari empat ton jadi sembilan ton per hektare, para petani murtad ini justru menanam bonsai dan memelihara ikan hias, serta menernakkan ayam berkisar, yang tak pernah dianjurkan Pemerintah. Hasilnya jutaan rupiah per bulan. Tapi, yang barangkali paling mengherankan bagi para pakar ekonomi pertanian adalah Ny. Aminah dari Bergas Kidul, Klepuk, Semarang, yang tanpa punya lahan secuil pun bisa berpenghasilan jutaan rupiah per bulan. Nyonya ini punya 900 stup (kotak sarang lebah), yang memang tidak pernah berada di rumah karena selalu berkelana di kebun kapuk, kopi, kelengkeng, dan lain-lain, yang semuanya milik orang. Para pemilik kebun tadi memang sengaja minta agar lebah-lebah itu digembalakan di sana agar hasil kebun mereka meningkat. Jadi, kembali ke pertanyaan semula, bolehkah petani menjadi kaya, lalu pakai safari, jas, serta dasi? Jelas, boleh. Belum pernah ada peraturan yang mengharuskan agar petani itu selalu miskin, pakai celana kolor warna hitam yang kedodoran dan penuh lumpur. Petani, seperti halnya guru sekolah, tentara, wartawan, dan lain-lain profesi, memang boleh menjadi kaya, bahkan "perlu". Kalau mengikuti pola penyuluhan, yang tekanannya hanya meningkatkan kuantitas dan kualitas komoditi yang selama ini sudah ditangani, susah untuk lekas naik pangkat. Sebaliknya, kalau harus pakai "menelan" lahan para sesama petani di kiri kanan agar bisa jadi kolonel atau jenderal, tentunya, tidak dianjurkan. Jadi, satu-satunya cara: gunakanlah akal sehat. Dengan lahan secuil yang ada di sekitar rumah pun, Anda bisa jadi kaya. Peluang itu ada. Tinggal Anda yang harus sedikit susah mencarinya. Ataukah Anda merasa lebih enak menunggu penyuluhan, yang hasilnya paling banter hanya akan menjadikan Anda seorang kopral dalam dunia pertanian. Lalu pensiun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus