Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Centhini di Tubuh Mata Hari

Perupa Yogyakarta, Eddy Susanto, mempertemukan tari erotis Mata Hari dengan naskah kuno Serat Centhini. Seni rupa dengan unsur grafis.

18 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kapal layar SS Prinses Amalia bersandar di Batavia pada 1897. Dari sana, turunlah seorang perempuan cantik bertubuh jangkung, Margaretha Geertruida Zelle. Saat itu, dia belum dikenal sebagai Mata Hari, mata-mata perempuan paling menggoda dalam sejarah spionase. Dia masih ibu dari seorang bayi dan istri dari Kapten Rudolph MacLeod, tentara Belanda yang ditugasi di Hindia Belanda.

Dari Batavia, keluarga kecil MacLeod menuju Ambarawa, lalu pindah ke Malang. Di kota itu, Mata Hari mempelajari budaya pribumi, mitologi Hindu, dan tari tayub serta makin berminat belajar tari tradisional dan Siwa. Dua tahun kemudian, dia menyusul suaminya ke Medan.

Taufik Rahzen, pengamat budaya yang sering menjadi kurator beberapa pameran seni rupa, memperkirakan pada masa-masa itulah Mata Hari berkenalan dengan Serat Centhini, yang sering dianggap sebagai Kama Sutra versi Jawa. Perjumpaan Mata Hari dengan naskah Centhini itu lantas diangkat Eddy Susanto, perupa dari Gelaran Naga Air Yogyakarta, dalam pameran tunggal "Mata Hari Centhini" di galeri Lawangwangi Creative Space, Bandung, pada 3-25 November 2012.

Bagi Eddy, kisah hidup Mata Hari sangat menarik dan tarian erotisnya mengundang kontroversi di masyarakat. Cerita itu didengarnya sekitar tahun 2000 dari Taufik. Sejak itu, sambil mengerjakan pesanan gambar desain untuk buku dan proyek seni lainnya, dia melakukan riset tentang Mata Hari. "Sebenarnya ini proyek seni dan tidak terkait konteks dengan isu perempuan atau lainnya," kata Eddy. Satu-satunya yang relevan dengan kondisi sekarang, ujar dia, hanyalah tentang kekaryaan yang bersifat global dengan nilai lokal.

Perupa 37 tahun itu sudah lama menggeluti teks sebagai bahan karya seni rupa. Oktober lalu, dia mendapat Anugerah Dharmawangsa, yang diberikan kepada orang yang karyanya bersandar pada kekayaan tradisi sastra dan aksara. Dia pernah, misalnya, membuat lukisan tentang Babad Tanah Jawa yang dipadukan dengan karya Albrecht Durer dan Leonardo da Vinci.

Kali ini Eddy mengolah naskah Centhini dan sosok Mata Hari. Dia menampilkan 15 karya dalam tiga bagian. Bagian pertama mengangkat kisah Mata Hari dan media massa. Eddy menampilkannya dalam tiga panel kanvas yang masing-masing kira-kira separuh pintu. Tiap kanvas diisi tujuh halaman muka koran dan majalah yang berbeda, seperti The Sun dan New York Times. Sekilas tampilan halaman muka media cetak yang diperbesar itu berisi aneka berita tentang Mata Hari. Tapi ini bukan kliping berita media bersangkutan. Eddy hanya meminjam desainnya belaka. "Isinya biografi Mata Hari yang kami temukan di sejumlah situs web dan buku," kata Eddy. Agar kesannya mirip, Eddy memakai font yang sesuai dengan media aslinya. Karya itu dibuat dengan teknik sablon manual.

Menurut kurator pameran, Taufik, karya berjudul Mata Hari Media (Biographic) #1 sampai #3 itu membahas citra Mata Hari sebagai pesohor yang dibangun oleh media massa. Di sisi lain, Mata Hari juga membangun identitas dirinya sebagai orang dari keluarga berantakan yang menjadi penari telanjang. "Sang penari itu dilahirkan oleh media," ujarnya.

Mata Hari adalah putri pasangan pengusaha topi Belanda yang sukses, Adam Zelle, dan Antje van der Muelen. Tapi, ketika usahanya bangkrut, Adam berpisah dengan Antje dan anak-anaknya dititipkan kepada saudaranya. Hubungan Mata Hari dengan suaminya juga memburuk setelah Rudolph jadi pemabuk dan suka memukul. Belakangan pasangan itu bercerai, dan Mata Hari memulai kehidupan barunya sebagai penari erotis sejak 1905. Dia tampil di Prancis dan kota-kota lain di Eropa, seperti Madrid, Spanyol; dan Berlin, Jerman. Di Wina, tariannya yang menggetarkan dada penonton lelaki itu sempat diprotes gereja.

Babak baru kehidupan Mata Hari dimulai pada 1914 ketika dia menjadi mata-mata Jerman. Dia diberi nama sandi H21 oleh petinggi dinas rahasia Jerman, Traugott von Jagow. Ketika pecah Perang Dunia I, Mata Hari berusaha pulang ke Belanda setelah sulit masuk ke Swiss. Setelah Inggris dan Prancis bergantian menangkapnya dengan tuduhan mata-mata, pengadilan Prancis memvonis Mata Hari bersalah dan harus menjalani hukuman tembak mati. Dia dieksekusi pada 15 Oktober 1917.

Tarian erotis Mata Hari itu menjadi bagian kedua karya Eddy, yang ditampilkan lewat sembilan kanvas berukuran separuh pintu, Sembilan Mata Hari Centhini. Tiap kanvas menampilkan pose Mata Hari menari. Gambar itu, kata Eddy, berasal dari foto yang dicetak di kartu pos. Dia menggarap ulang seluruh citra itu dengan paduan Serat Centhini yang ditulis dalam aksara Jawa kuno dengan bantuan perangkat lunak komputer.

Sembilan pose tarian Mata Hari itu, ujar Taufik, adalah lambang sembilan watak manusia, antara lain penolong, ambisius, romantis, perfeksionis, dan petualang, serta gambaran sembilan ragam tari dalam Serat Centhini.

Tarian erotis Mata Hari, bagi Eddy, sama seperti naskah Kama Sutra, yang ditulis dengan bahasa Sanskerta. Kedua tema itu lalu ia lebur menjadi sepasang lukisan Mata Hari Kamasutra #1 dan #2. Gambar di tiap kanvas itu sama, yaitu Mata Hari yang sedang tengkurap hampir telanjang.

Di bagian terakhir, Eddy membuat tiga lukisan yang masing-masing selebar jendela. Karya itu ditempatkan khusus di ruang gelap. Eddy melukis RGB Mata Hari #1 sampai #3 itu dengan cat akrilik bercampur fosfor. Bila disorot lampu berwarna merah, biru, hijau, dan lampu ultraviolet secara bergantian, kanvas yang semula terlihat putih itu memunculkan sosok Mata Hari satu per satu sesuai dengan warna cat lukisannya, yang terdiri atas warna-warna monokrom merah, biru, dan kuning. Posenya seperti di karya Sembilan Mata Hari Centhini, tapi tiap kanvas berisi tiga pose tarian.

Karya ini diilhami relief Candi Borobudur. Menurut Taufik, relief pada candi Buddha terbesar itu tak hanya diam, tapi juga "bergerak" mengikuti sinar matahari dari timur ke barat. Barisan teks Serat Centhini juga kembali hadir di sini.

Teks memang melekat pada karya Eddy. Sebagai lulusan Jurusan Desain Grafis Institut Seni Indonesia Yogyakarta, selama kuliah hingga bekerja, ia tak lepas dari aksara. "Teks itu berkarakter, punya pribadi. Nama font-nya seperti Tahoma dan lain-lain dan bisa bicara sendiri secara visual," katanya. Sejak 2007, dia masuk ke ranah seni rupa dengan tetap membawa unsur aksara ini.

Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Asmudjo Jono Irianto, menilai karya Eddy ini condong ke karya seni rupa dengan unsur grafis. "Yang menarik, ada tanda-tanda Eropa, seperti sosok Mata Hari, dengan detail aksara dari Timur," katanya. Namun beban sejarah pada tema karyanya dinilai Asmudjo cukup tinggi, terutama bagi orang yang tidak tahu soal Mata Hari dan isi Serat Centhini.

Anwar Siswadi, Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus