Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mukjizat Membawa Laknat

Ini kisah superhero, sekaligus bukan kisah superhero. Meditasi tentang situasi ekstrem waham ketuhanan dan akibatnya yang mengerikan serta sukar dipahami.

21 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A God Somewhere
Pengarang: John Arcudi
Penggambar: Peter Snejbjerg
Penerbit: Wildstorm/DC Comics, 2010

Sejak halaman awal, novel grafis ini menohok. Suatu malam penuh bara, seorang anak tak berdosa menangis, ada darah di dahinya. Lalu kita dibawa ke panil terakhir di halaman itu: tubuh rusak ibunya. Dan caption halaman ini berkata, ”…no matter who you are, no matter what you do, no matter what happens to you… you’re just another character in somebody else’s story….”

Lalu halaman dua: hari cerah di sebuah real estate suburban menerangi seorang lelaki kulit hitam, seorang lelaki pirang, dan seorang perempuan berkulit gelap nan cantik. Si kulit hitam naksir tubuh moi si perempuan. Si pirang nongol: ”Dude, come on. That’s my brother’s wife.”

Perubahan suasana dari alam mimpi buruk yang enigmatik ke alam cerah nan riang semacam ini menampakkan kepiawaian para seniman penciptanya. John Arcudi (pengarang komik The Mask yang difilmkan dengan bintang Jim Carrey) menulis dengan cerkas dan terasa realistis. Gambar dari Peter Snejbjerg memuluskan cerita. Dan di sekujur komik ini, pewarnaan dari Bjarne Hansen memberikan tekanan pada tukar-alih antara yang keseharian dan yang fantastis, yang menakjubkan dan yang mimpi buruk.

Suatu hari dalam impian Amerikana, semua berjalan dengan santai pada bagian awal sesudah sepetik mimpi buruk di halaman satu. Sam (si kulit hitam), Eric (lelaki pirang itu), Hugh (saudara Eric), dan Alma (istri Eric). Sam dan Eric membujuk Hugh yang sukses untuk patungan membeli perahu layar. Sedikit krisis paruh baya mencuat, isyarat-isyarat ketegangan keluarga. Biasa. Sampai, ketika malam begitu larut, sesuatu yang fantastis terjadi.

Sebuah ledakan di apartemen Eric oleh sesuatu yang tak terjelaskan. Ajaib, Eric selamat. Lebih dari itu, Eric berubah. Dengan garis yang tak sedikit pun berlebihan, Snejbjerg mengguriskan mata Eric di malam itu seakan sedang terpana oleh sesuatu yang, baginya, indah. Begitulah: ia punya kekuatan super.

Jangan keliru. Walau tentang orang berkekuatan super, ini komik dewasa. Ini adalah meditasi tentang waham ketuhanan, dan nilai hidup manusia. Mata Eric setelah ”mukjizat” itu terus menunjukkan perubahan kejiwaan jauh lebih dalam dari yang tampak. Ada yang mencemaskan di balik matanya.

Dengan telaten, Arcudi dan Snejbjerg mengupas isi benak Eric: ia percaya telah mendapat mukjizat, maka religiositasnya pun merekah. Lalu ia membandingkan dirinya dengan Yesus. Lalu ia terobsesi pada kehendak memperbaiki­ dunia, dengan segala kekuatan yang kini ia miliki, dengan keyakinan Tuhan di sisinya dan telah menjamahnya langsung. Dan ia, yang sebelumnya merasa gagal dalam bayangan sukses Hugh, merasa sangat ingin ”membetulkan” hidup Hugh dan Alma.

Tapi religiositas yang dialami Eric adalah jenis yang selalu harus menghadapi ”Kuasa Gelap”. Tak banyak yang bisa tetap waras tenggelam dalam intensitas religiositas semacam itu. Agaknya, itu yang hendak disampaikan kisah ini. Pertanyaan menarik yang diajukan: ketika seseorang dijamah rasa ketuhanan yang begitu dalam, bagaimana jika kemudian ia merasa itu pun tak memuaskan lagi?

Eric tak lagi puas dengan perasaan bahwa ia adalah ”pesan Tuhan di muka bumi”. Sebuah pikiran menggelitik: bagaimana jika ternyata ia sebenarnyalah semacam Tuhan di suatu tempat di alam semesta yang luas ini? Kisah ini mendorong ”waham ketuhanan” yang biasanya sebatas merasa diri sebagai ”wakil Tuhan” ke titik ekstrem, yakni waham bahwa diri adalah Tuhan itu sendiri.

Jika Anda pikir ini berlebihan, cobalah perhatikan kecenderungan yang kuat untuk mengendalikan, untuk berkuasa, pada orang-orang yang sangat kuat merasa diri ”wakil Tuhan”. Bukankah itu isyarat adanya bentuk halus dari perasaan diri sebagai semacam Tuhan?

Dalam waham ini, seseorang akan merasa berhak menetapkan ada segolongan manusia yang bakal masuk surga dan ada yang sesat serta mesti dilaknat. Dalam waham ini, manusia kehilangan nilai—orang lain hanyalah konsep tanpa wajah dan kisah, sebuah liyan (the other) sepenuhnya, obyek yang bisa diapakan saja. Bagi Eric, serangga jauh lebih menarik daripada manusia.

Eric semakin merasa bisa melakukan apa saja. Artinya, tak ada moralitas dan hukum manusia yang layak diterapkan bagi dirinya. Maka kebengisan pun mulai. Eric melakukan kengerian yang tak terbayangkan pada Hugh dan Alma. Eric, yang tadinya dianggap harapan, kemudian membantai ratusan orang tanpa pikir panjang—ia mampu, dan tak ada yang bisa menghentikannya.

Kisah Eric ini dituturkan dari sudut pandang Sam, sahabat kulit hitamnya. Dengan Sam, kita ikut bertanya-tanya seiring dengan tumpukan horor yang semakin tinggi: ”Mengapa? Mengapa? Mengapa?”

Novel grafis ini, walau berbicara tentang sesuatu yang fantastis, berhasil menyentuh emosi yang nyata. Perasaan manusiawi korban peristiwa kekerasan yang di luar akal sehat dengan tajam diudar lewat dialog dan ekspresi wajah para tokohnya.

Tumpukan horor yang ditinggalkan Eric seiring dengan gerak-maju cerita sungguh sadistis (jauhkan komik ini dari anak-anak, ini cerita dewasa!). Tapi sadisme itu dirancang demi mengajukan tanya: pada akhirnya, apakah nilai manusia? Apakah nilai hidup itu sendiri?

Tak seperti golongan tertentu yang merasa sudah tahu pasti apa ”kehendak Tuhan” dan selalu dengan segera memberikan jawaban terhadap semua persoalan di dunia, novel grafis ini mengingatkan pentingnya kita sesekali bertanya demikian. Dengan sesekali sejenak bertanya, kita pun sadar tak ada jawaban mudah tentang hidup dan manusia. Justru karena itulah manusia jadi tak ternilai.

Hikmat Darmawan, pengamat komik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum