Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasijanto Sastrodinomo
KOLOM lama peninggalan mendiang Umar Kayam, Fenomena Bahasa Jawa (Tempo, 3 Agustus 1991; terbit kembali dalam Titipan Umar Kayam, 2002), berbincang tentang perubahan bahasa Jawa akibat proses transformasi sosial-budaya yang terjadi sejak zaman Hindu sampai masa globalisasi. Bagi sementara orang (Jawa), perubahan itu merupakan proses ”perusakan” yang patut disesali. Kayam mencontohkan kalimat bahasa Jawa yang ”rusak” itu: Manawi sampun dipun waos tor-ipun, kula aturi cepat menyusun proposal-ipun supados enggal dipun oke pimpinan proyek. Terjemahannya, ”Bila sudah dibaca tor-nya, saya harap agar Anda cepat menyusun proposalnya supaya segera dioke pimpinan proyek.”
Kerusakan kalimat terjadi pada penggunaan kosakata yang bercampur aduk dari bahasa Indonesia (cepat, menyusun, pimpinan, proyek), Inggris (ok), gabungan Inggris-Jawa (proposal gandengan -ipun), dan singkatan dalam bahasa Inggris (tor atau TOR, terms of reference). Di luar kebahasaan, Kayam seperti menunjukkan bahwa kerusakan itu secara tersirat mencerminkan dampak ”budaya proyek” yang marak pada masa Orde Baru. Dia singgung pula kebingungan penutur Jawa masa kini dalam menerapkan unda-usuk (tingkatan) bahasa. Meski demikian, Kayam melihat semua gejala itu sebagai proses pengayaan dan demokratisasi bahasa Jawa.
Dalam bahasa sehari-hari dikenal konsep codeswitching atau alih kode, yakni praktek berbahasa seseorang yang menggunakan dua atau lebih variasi bahasa dalam suatu cakapan. Codeswitching—biasa disingkat CS—bisa ditemukan pada semua speech communities ”komunitas cakapan” yang memiliki lebih dari satu ”cara bicara” dalam khazanah bahasanya. Menurut Kathryn Woolard, penulis ”Codeswitching” dalam A Companion to Linguistic Anthropology (editor Alessandro Duranti, 2006), alih kode bisa terjadi di antara pelbagai bentuk kode bahasa, seperti perbedaan kosakata, dialek, tingkatan—”seperti kesopanan bahasa Jawa,” tulis Woolard—atau gaya.
Jika bukan iseng, codeswitching bisa menjadi bentuk wacana yang berbobot karena memprasyaratkan penuturnya menguasai benar-benar bahasa yang dipilih. Di Indonesia, generasi voor de oorlog, terutama kaum terpelajar, dengan lentur biasa ”keluar-masuk” berbahasa Indonesia-Belanda-Jawa atau bahasa lain saat berbincang dengan sebaya atau generasi sezaman mereka. Pakar linguistik dan penulis kamus terkemuka S. Wojowasito (192681) pernah menyisipkan rekaman percakapan pribadi dengan ayah mertuanya dalam ujaran serius berselang-seling berikut.
AYAH MERTUA: Aku mentas iki maca nèng Kompas, Senèn tanggal pitulikur [27] Januari [1975]. Sliramu masuk daftar pårå calon kang bakal memberikan ceramah ing Seminar Politik Bahasa Nasional. Menurut koran iku sesorahmu bakal mengenai ”Fungsi dan Kedudukan Bahasa Daerah”. Apå waé sing bakal kok rembug?
S. WOJOWASITO: Wosipun ngaten, Pak. Het constateren van het feit dat de bahasa daerah bijvoorbeld het Javaans nog altijd gebruikt wordt dalam kehidupan sehari-hari naast de bahasa Indonesia, lajeng bij welke gelegenheden worden de twee talen gebruikt door dezelfde persoon, en dan kesimpulan-kesimpulan apa yang dapat kita ambil dari kenyataan itu, sasampunipun menika lajeng dipun olah, inggih punika andamel pitakènan-pitakènan ingkang dipun cobi untuk menjawabnya, umpaminipun: manfaat apa yang dapat kita ambil dari kenyataan-kenyataan itu, kadosta: voor de persoonlijke ontwikkeling, pendidikan perseorangan; voor beide talen zelf, baik untuk bahasa Indonesia maupun untuk bahasa daerah; bagaimana menyalurkan kemanfaatan itu dalam bidang pengajaran dan kesusastraan [. . .] Dalam bahasa Jawi wonten malih probleemipun: Yèn diajarké nong sekolahan sing endi, ngoko åpå kråmå, yèn ngoko åpå terus ngoko tanpå kråmå, samanten ugi sak walikipun. Kula kinten upaminipun ingkang dipun ajaraken ngoko menika benadert de werkelijkheid, mendekati kenyataan, amargi ngoko kadamel kontak wiwit alit di dalam keluarga (lihat Fungsi dan Kedudukan Bahasa Daerah makalah Seminar Politik Bahasa Nasional, 1975).
Dalam petikan percakapan tersebut kedua pembicara menggunakan lima kode bahasa sekaligus: Indonesia (huruf biasa), Jawa ngoko (cetak tebal), Jawa kråmå (garis bawah), Jawa kråmå inggil (cetak tebal miring), dan bahasa Belanda (cetak miring). Peralihan dari satu bahasa ke bahasa yang lain bukanlah asal-asalan, tetapi mempertimbangkan tujuan dan saat penggunaan. Ada laras sekadar sebagai cakapan, kemudian beralih ke ragam resmi untuk penjelasan ”teknis ilmiah.” Efek yang ingin dicapai adalah keakraban dan rasa sreg dalam mengungkapkan gagasan.
Itu sebabnya codeswitching atau alih kode terbedakan dari ”demo” kefasihan berbahasa asing sepotong-sepotong di depan publik yang tak jelas juntrungannya. Pada generasi sebelum perang di Indonesia, alih kode tertempa melalui proses akulturasi panjang sistem kolonial, sementara keandalan berbahasa asing angkatan kontemporer umumnya diunduh lewat jenjang pendidikan formal atau kursus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo