Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#FF6600>Fuad Rahmany:</font><br />Sistem Pengawasan Memang Masih Lemah

21 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana di Direktorat Jenderal Pajak masih keruh saat Ahmad Fuad Rahmany ditunjuk memimpin instansi penting itu. Kasus Gayus Tambunan dan Bahasyim-pegawai pajak yang berlaku bak pagar makan tanaman-menyisakan citra buruk bagi lembaga dan petugas pajak. Fuad Rahmany sadar betapa masyarakat mencemooh lembaga yang dipimpinnya. "Masyarakat melihat di sini sudah brengsek dan segala macam," katanya.

Dilantik sebagai Direktur Jenderal Pajak pada 21 Januari lalu, Fuad menggantikan Mochamad Tjiptardjo yang pensiun Mei nanti. Fuad menganggap kantor pajak bukan lembaga asing bagi dirinya-sebagai pegawai di Kementerian Keuangan. Dia menilai reformasi di instansi pajak sudah berjalan. Apa yang dilakukan Gayus, menurut dia, terjadi di luar sistem Direktorat Jenderal Pajak, yakni penagihan.

Sebelum duduk di pucuk pimpinan kantor pajak, Fuad sudah meraba berbagai persoalan pengelolaan pajak. Maka, begitu ditunjuk, bekas Kepala Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini dapat langsung mengatakan bahwa kompetensi dan jumlah sumber daya manusia di pajak masih belum memadai. "Sumber daya manusia di pajak sekarang baru bisa menyentuh 40 persen potensi pajak," ujarnya.

Di tengah persiapan melakukan rapat dengan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian RI, Selasa tiga pekan lalu, Fuad menerima Anne L. Handayani, Yandi M. Rofiyandi, Anton William, dan fotografer Dwianto Wibowo dari Tempo di kantor barunya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Dia mengaku sejak muda sudah terbiasa berpindah tempat tinggal dan pekerjaan. "Saya spesialis pindah-pindah," dia berseloroh.

Anda ditunjuk menjadi Direktur Jenderal Pajak saat kepercayaan publik tengah turun karena kasus Gayus Tambunan, Bahasyim, dan lain-lain. Bagaimana Anda menghadapi tantangan itu?

Saya dibesarkan di Kementerian Keuangan. Nomor induk pegawainya sama. Jadi pada dasarnya saya bukan orang luar pajak. Saya tahu citra orang terhadap Kementerian Keuangan. Seolah semua pegawai negeri itu koruptor, termasuk pegawai kantor pajak. Ketika masih staf di Departemen Keuangan, saya selalu sedih mendengar hal itu. Padahal yang korupsi paling 5 persen dari total pegawai negeri. Banyak pegawai kita, termasuk pegawai pajak, rumahnya pas-pasan dan kredit.

Kenyataannya gambaran institusi pajak di mata masyarakat masih buruk....

Saya tak punya gambaran seperti masyarakat melihat. Masyarakat kan melihat di sini sudah brengsek dan segala macam. Saya melihat ini bukan hanya penyakit Direktorat Jenderal Pajak. Ini penyakit orang Indonesia karena it takes two to tango. Ada transaksi yang melibatkan pegawai pajak dan wajib pajak. Itulah tantangannya. Perlu perbaikan mental. Kami akan main di sistem saja.

Reformasi birokrasi jadi seperti tak ada artinya....

Keinginan reformasi sudah dimulai sejak dulu, termasuk di Direktorat Jenderal Pajak. Teman-teman pajak juga sayang terhadap institusi dan negara. Mereka dengan sadar mengatakan: ayo kita reformasi dan bangun sistem sehingga menutup orang melakukan transaksi. Waktu di Kementerian Keuangan, saya melihat ada teman-teman di Direktorat Jenderal Pajak yang kaya. Memang faktanya seperti itu, tapi saya tahu pula banyak orang pajak yang tak begitu. Saya sudah berdiskusi dengan teman-teman di Direktorat Jenderal Pajak, bagaimana melakukan perbaikan. Sebenarnya desainnya sudah ada, tinggal penguatan. Semua sudah cukup lengkap, tinggal penyempurnaan ke depan.

Mengapa masih terjadi kebocoran di Direktorat Jenderal Pajak?

Kami sangat hormat kalau ada teman-teman di pajak yang bisa lepas dari godaan. Tapi kita enggak bisa memungkiri kalau ternyata banyak yang tergoda. Karena itu, kita bicara sistem sehingga semua peluang tertutup. Kita tak berasumsi bahwa orang itu tahan godaan. Kita membangun organisasi justru dengan asumsi bahwa orang pada dasarnya lemah. Orang bisa saja datang dengan komitmen dan integritas tinggi. Setelah berjalan beberapa tahun dan terus melihat peluang, bisa tergoda. Apalagi masyarakat Indonesia belum beres juga.

Masyarakat Indonesia yang Anda maksud adalah wajib pajak?

Wajib pajak merupakan penggoda yang sangat ampuh. Mereka enggak mau bayar pajak atau bayar hanya separuh, lalu sebagian ditawarkan kepada pemeriksa pajak. Godaan seperti itu terus berlangsung. Kita harus punya sistem mutasi dan segala macam itu sehingga bisa meminimalkan kasus seperti Gayus Tambunan.

Pegawai golongan IIIa seperti Gayus Tambunan bisa memiliki banyak aset dan menalangi wajib pajak selama proses banding. Bagaimana evaluasi terhadap kasus ini?

Gayus mendapatkan uang begitu banyak di luar sistem bisnis, yakni proses penagihan karena sudah tertutup. Dia bermain di divisi keberatan sebagai penelaah keberatan. Nah, itu sudah masuk bagian yudikatif, yaitu pengadilan pajak. Dia memanfaatkan situasi sebagai orang dalam yang punya informasi dan kompetensi. Jadi Gayus menjalankan fungsi konsultasi yang mestinya enggak boleh. Dari situ terlihat bahwa reformasi sebenarnya sudah sukses sehingga orang yang mencari duit mesti di luar arena. Area itu mungkin masih lemah dan belum tersentuh. Kita belajar bagaimana menangani area situ sehingga mengurangi kemungkinan orang seperti Gayus beraksi.

Divisi keberatan paling mendapat sorotan dibanding divisi lain. Apa yang akan Anda lakukan untuk membenahinya?

Akan kita evaluasi. Akan kita cek dengan berbagai hal. Diagnostic test di daerah itu akan lebih komprehensif, termasuk area yang sangat rentan terhadap terjadinya permainan. Sebenarnya kalau melihat total penerimaan negara, sebagian besar berasal dari self assessment yang tak perlu diperiksa, tak ada keberatannya, dan sebagainya. Dari situ saja 90 persen sudah masuk uang itu. Masyarakat jangan menganggap uang pajak yang disetor itu hilang atau bocor. Setiap uang pajak yang sudah dibayar oleh pembayar pajak pada dasarnya sudah masuk ke kas negara. Tak ada yang bisa bocor ke pegawai pajak.

Bukankah Gayus Tambunan dan Bahasyim yang memiliki kekayaan mencurigakan sampai ratusan miliar menunjukkan adanya kelemahan pengawasan internal?

Sistem pengawasan memang masih lemah. Kok, Gayus bisa dan ada waktu melakukan itu. Bosnya tak melihat. Dia melakukan itu kan perlu waktu. Berarti sistem pengawasannya masih kurang. Itulah hikmah yang kita ambil dan pelajari. Akan kita perbaiki sistem pengawasan dan pengendalian internal. Sebenarnya sudah ada Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur yang dibentuk pada 2007.

Direktorat Kepatuhan belum efektif mencegah terjadinya penyimpangan?

Kapasitas Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur belum cukup besar. Belum cukup kuat mencegah terjadinya kasus seperti Gayus dan Bahasyim. Karena itu, kita terus mengembangkan direktorat ini. Dalam proses reformasi ini memang ada persoalan dalam sumber daya manusia.

Persoalan dalam jumlah atau kualitas sumber daya manusia?

Jumlah dan kualitas. Misalnya di bidang pemeriksa. Ada sekitar 4.000 pemeriksa, tapi mungkin hanya separuh yang benar-benar memenuhi standar yang diharapkan Direktorat Jenderal Pajak. Berarti harus training dan lain-lain. Jadi reformasi itu butuh waktu. Tidak bisa dengan cepat mengatakan bersih-bersihkan dan ganti orangnya. Memangnya gampang. Mencari orang saja susah. Kalau bersalah memang mau tak mau harus diambil tindakan. Tindakan itu tetap dilakukan supaya masyarakat percaya.

Kasus Gayus sepertinya sistemik?

Tidak. Hanya dari segi orangnya. Sistemnya sudah cukup bagus. Jadi mungkin yang harus kita lakukan itu memerinci peta risiko, di mana area berisiko tinggi. Misalnya, keberatan itu termasuk berisiko tinggi. Akan kita evaluasi orang-orang dan sebagainya.

Bukankah atasan Gayus dipecat karena diduga terlibat? Itu artinya sistemik?

Maksud saya tidak sistemik itu tak merata ke seluruh sistem kantor pajak. Bukan saya bilang enggak ada. Di semua lini terbuka peluang adanya permainan. Peluang itu hanya bisa ditutup kalau ada sistem pengawasan. Kita mengakui masih lemah. Audit terhadap kinerja dan aktivitas pegawai pajak masih lemah.

Gayus menyebutkan sejumlah wajib pajak yang ditanganinya. Apakah Direktorat Jenderal Pajak akan mengkaji ulang pemeriksaan wajib pajak itu?

Polisi sudah menyidik 149 perusahaan. Kita welcome saja. Tentunya dalam proses penyidikan polisi, KPK, atau BPK itu kan ada data wajib pajak yang sebenarnya merupakan kerahasiaan. Tapi kerahasiaan bisa dibuka untuk kepentingan negara. Itu sudah kita lakukan. Sekarang baru mulai prosesnya. Mudah-mudahan membuahkan hasil yang baik.

Jadi pengkajian ulang wajib pajak itu dilakukan oleh KPK dan kepolisian?

Penyidik kita mendampingi. Sekalian saja kita lihat bersama lagi kalau memang mau dilihat. Penyidikan itu profesi independen. Kalau sudah masuk penyidikan, Direktur Jenderal tak bisa intervensi lagi. Saya harap apa pun hasilnya bisa menimbulkan efek jera yang baik terhadap wajib pajak sehingga tidak melakukan penghindaran pajak.

Berkaca pada kasus Gayus, pengadilan pajak seperti kerajaan sendiri dan tak tersentuh. Bagaimana upaya membenahi pengadilan pajak?

Pengadilan pajak tentu harus diperbaiki. Area ini memang belum sempat digarap. Arahnya baru pembayaran pajak, penagihan, dan pemeriksaan. Pengadilan pajak belum tersentuh. Memang sudah harus disentuh.

Mungkinkah keinginan satu atap dengan Mahkamah Agung diwujudkan?

Belum saya pelajari terlalu jauh. Di pengadilan pajak ini memang ada kompleksitas sendiri karena hakim masuk lembaga yudikatif, masuk ke Mahkamah Agung. Berarti juga semua pihak harus berkoordinasi sehingga perlu adanya diskusi nasional soal ini. Ada yang menyebutkan mesti tersendiri. Ada yang bilang hanya perlu ditambah orang yang kompeten. Keberatan pajak yang masuk itu ribuan. Adapun hakimnya sekitar 40. Hakim pajaknya kurang. Saya yakin masalah di pengadilan pajak itu terkait dengan faktor kompetensi hakim, mentalitas, dan pengawasan.

Seharusnya ada mekanisme pengawasan di pengadilan?

Harus ada lembaga semacam Komisi Yudisial yang bergerak. Saya mengimbau dan mengajak Komisi Yudisial menarik perhatian karena di situ juga area yang banyak duitnya. Setiap transaksi bisa terjadi bukan hanya di level Gayus, tapi hakim. Putusan hakim itu ada nilai ekonomisnya. Ini bukan tuduhan. Semua potensi ada. Jadi di pengadilan pajak seharusnya ada pengawasan dari lembaga lain.

Apakah kasus Gayus Tambunan dan Bahasyim bisa mempengaruhi pencapaian target pajak?

Saya tetap berfokus pada penerimaan negara melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Peluang meningkatkan penerimaan negara masih besar. Persoalan di pajak itu kan tak hanya masalah Gayus. Dengan organisasi besar dan orang lumayan bagus, ternyata baru 40 persen yang menyentuh potensi pajak. Tapi bukan berarti menyebabkan kerugian negara. Ini soal kapasitas serta kesadaran masyarakat juga.

Kapan Anda mendapat penugasan sebagai Direktur Jenderal Pajak?

Penugasan formal dan pemberitahuan atau minat pimpinan itu beda. Saya sudah mendapat gambaran dari pimpinan mengenai kemungkinan bertugas di pajak beberapa bulan lalu. Kami ngobrol bersama Menteri. Tapi semuanya belum pasti secara formal. Jadi semalam sebelum dilantik juga saya masih mengatakan tidak tahu kepada wartawan. Saya bukannya bohong, karena memang belum tahu jadi di Direktorat Jenderal Pajak atau tidak.

Atau itu cara Anda supaya tak terlihat gede rasa?

Anda sudah lihat banyak hal di republik ini. Banyak pengalaman, orang yang keputusan presidennya sudah keluar tapi tak jadi dilantik. Beberapa jam sebelum pelantikan saja bisa berubah. Kalau saya bilang iya besok saya jadi Direktur Jenderal Pajak, bagaimana kalau ternyata enggak jadi dan sudah telanjur headline. Maka lebih baik saya katakan tak tahu. Itu paling aman.

Ahmad Fuad Rahmany

Tempat dan tanggal lahir: Singapura, 11 November 1954

Pendidikan:

  • Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia, 1981
  • Master of Art Duke University, Durham, North Carolina, Amerika Serikat, 1987
  • Doktor ilmu ekonomi Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, Amerika, 1997

    Karier:

  • 1978-1981, peneliti LPEM FEUI
  • 1981-1983, dosen FE Program Extension, Universitas Indonesia
  • 1998-2004, dosen Program Pascasarjana, Universitas Indonesia
  • 2001-2004, Kepala Pusat Manajemen Obligasi Negara, Kementerian Keuangan
  • April 2006-2011, Ketua Bapepam-Lembaga Keuangan, Kementerian Keuangan
  • 2011-sekarang, Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus