DIIRINGI gitar, didampingi seorang temannya, ia menyanyi tentang
mata anak perempuannya. Dengarlah:
Semua orang bilang/Mata anak perempuanku/Mewarisi mataku/Dan
mata nenek moyangnya.
Tetapi apa arti kemajuan dan bom atom/Kalau mata anak
perempuanku dan mata para wanita/Tidak memanearkan kebahagiaan
lagi?
Pol Serge, 44 tahun, orang Prancis itu selama satu jam
menyanyikan lirik-lirik yang penuh imajinasi tentang cinta, kota
Warsawa, ekologi, tentang rubah jantan dan betina, dan
lain-lain. Dan ia bukan hanya penyanyi. Ia juga pencipta.
Kota Warsawa, misalnya, diciptakan dua tahun yang lalu, setelah
dia sempat berkunjung ke kota yang dijuluki "Parisnya Eropa
Timur" itu. Dia pun menyanyi "tentang darah yang mengalir, di
Warsawa . . . "
Itulah, dua malam berturut-turut, di Teater Besar Taman Ismail
Marzuki, pekan lalu, Pol Serge mendendangkan kehidupan. Ketukan
pada tubuh gitarnya iringan suara dan petikan gitar Cardenes,
rekannya, kadang cepat-gembira, kadang sederhana seperti lagu
anak-anak. Dia pun bisa pilu mengiris, jika kedukaan adalah isi
liriknya.
Di Prancis (atau di mana saja) lagu-lagu rakyat tentunya pernah
sangat berperanan. Di Eropa sendiri, terutama di awal abad XIX
konon sangat mendapat sambutan masyarakat. Kecuali lagu-lagu itu
menyuguhkan lirik yang bernas dan memberi harapan dengan
kritik-kritiknya terhadap penguasa, ia juga berfungsi sebagai
pelipur lara.
Pol Serge memang bukan nomor wahid dalam bidangnya. Tapi
warungnya, di pinggir sungai Seine, Le Bateau Ivre, cukup
terkenal. Di warung, itu, kata orang, lagu dan puisi
dipertahankan kesatuannya. Warung itu dijuluki "benteng terakhir
bagi lagu dan puisi yang otentik tak tercemarkan." Mungkin saja
benar. Yang jelas, dengan kemeja dan celana hitam-hitam, lelaki
berkumis setengah umur itu, memang simpatik. Setiap selesai
menyanyikan sebuah lagu, ia berdiri membungkuk, memberi hormat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini