Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pendendang lagu kehidupan

Pol serge, 44, tampil di tim dan membawakan lagu-lagu rakyat. lahir di maroko warga negara prancis.

23 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIIRINGI gitar, didampingi seorang temannya, ia menyanyi tentang mata anak perempuannya. Dengarlah: Semua orang bilang/Mata anak perempuanku/Mewarisi mataku/Dan mata nenek moyangnya. Tetapi apa arti kemajuan dan bom atom/Kalau mata anak perempuanku dan mata para wanita/Tidak memanearkan kebahagiaan lagi? Pol Serge, 44 tahun, orang Prancis itu selama satu jam menyanyikan lirik-lirik yang penuh imajinasi tentang cinta, kota Warsawa, ekologi, tentang rubah jantan dan betina, dan lain-lain. Dan ia bukan hanya penyanyi. Ia juga pencipta. Kota Warsawa, misalnya, diciptakan dua tahun yang lalu, setelah dia sempat berkunjung ke kota yang dijuluki "Parisnya Eropa Timur" itu. Dia pun menyanyi "tentang darah yang mengalir, di Warsawa . . . " Itulah, dua malam berturut-turut, di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, pekan lalu, Pol Serge mendendangkan kehidupan. Ketukan pada tubuh gitarnya iringan suara dan petikan gitar Cardenes, rekannya, kadang cepat-gembira, kadang sederhana seperti lagu anak-anak. Dia pun bisa pilu mengiris, jika kedukaan adalah isi liriknya. Di Prancis (atau di mana saja) lagu-lagu rakyat tentunya pernah sangat berperanan. Di Eropa sendiri, terutama di awal abad XIX konon sangat mendapat sambutan masyarakat. Kecuali lagu-lagu itu menyuguhkan lirik yang bernas dan memberi harapan dengan kritik-kritiknya terhadap penguasa, ia juga berfungsi sebagai pelipur lara. Pol Serge memang bukan nomor wahid dalam bidangnya. Tapi warungnya, di pinggir sungai Seine, Le Bateau Ivre, cukup terkenal. Di warung, itu, kata orang, lagu dan puisi dipertahankan kesatuannya. Warung itu dijuluki "benteng terakhir bagi lagu dan puisi yang otentik tak tercemarkan." Mungkin saja benar. Yang jelas, dengan kemeja dan celana hitam-hitam, lelaki berkumis setengah umur itu, memang simpatik. Setiap selesai menyanyikan sebuah lagu, ia berdiri membungkuk, memberi hormat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus