Bagong Kussudiardjo menggelar karya barunya di Gedung Kesenian Jakarta. Kali ini ia mengangkat kegelisahan tentang pelacur-pelacur di Bontang dengan napas tari setempat. CAHAYA lilin itu menyingkap gelap di panggung Gedung Kesenian Jakarta. Sayup-sayup terdengar lagu dangdut yang berasal dari sebuah radio yang tergeletak di atas panggung. Dan sebelas penari, enam wanita dan lima laki-laki, di atas panggung yang remang segera sibuk mengenakan kostum panggung mereka. Ada yang berjongkok memakai kain, ada yang sibuk mengenakan pupur, ada yang mengenakan sarung. Sesekali terdengar gumaman mereka mengikuti liuk-liuk lagu dangdut itu. Ini adalah intro yang orisinil dari tari Lorong, kreasi terbaru Bagong Kussudiardjo. Tarian itu dipentaskan pada Rabu dan Kamis pekan lalu, bersamaan dengan Bedoyo Gendheng, kreasi Bagong yang sudah pernah dipentaskan. Yang terakhir ini adalah sebuah kreasi yang disebut oleh guru besar sejarah seni UGM, Prof. Soedarsono, sebagai karya yang memang gendheng, karena keberanian Bagong meninggalkan sebagian besar patokan Bedaya (TEMPO, 11 November 1989). Lorong menjadi pertunjukan yang menarik antara lain karena warna-warni kostum yang ditampilkan. Setelah 10 menit intro yang sibuk mengenakan kostum di atas panggung tadi, 11 penari siap berdiri. Terdengar gaung yang berasal dari berbagai instrumen elektronik. Lantas koor dengan nada minor suara suku Dayak Kenyah yang berasal dari Pampang, Samarinda. Dengan entakan nyanyian tadi, penari mulai bergerak menggeliat, yang lelaki menyebar di atas panggung seperti memasuki lorong-lorong, sementara para wanita menari berjejer dengan gerakan halus bagai burung enggang. Lantas terjadi "serangan" kelompok lelaki terhadap kelompok perempuan. Komunikasi dalam bentuk gerak yang banyak diilhami oleh berbagai tarian tradisional Dayak ini memberi kesan reaksi wanita terhadap "serangan" pria itu. Gerakan-gerakan yang tak beraturan ini sekaligus memperlihatkan apa yang diakui Bagong dalam kata pengantarnya. Yakni, ia mencoba meninggalkan pola lama yang biasa mengandalkan daya ingat penari. "Saya tuntut penari berbicara dengan bahasa gerak yang semata-mata bersumber dari rasa," tulis Bagong. Agaknya "rasa" ini pula yang ingin ditularkan Bagong kepada penonton. Melalui gerak perempuan yang berlari ke sana-kemari sambil saling menerjang, terasa ada jiwa penolakan terhadap sesuatu yang menindas. Namun, terasa pula ketakberdayaan perempuan ketika kita mendengar suara lenguhan orgasme yang sama sekali bukan menimbulkan erotisme, melainkan suasana pemaksaan yang keji. Bunyi-bunyian itu -diramu dalam rekaman playback -seperti ingin menunjukkan "pekerjaan" mereka sebagai pelacur. Kali ini Bagong memang berangkat dari sebuah kegelisahan. Selama enam bulan ia menembus lorong-lorong Bontang, Kalimantan Timur. "Itu adalah lorong yang penuh dengan wanita yang memanggil, 'Mas, mari mampir'," kata Bagong. "Menurut cerita, mereka adalah wanita Jawa yang didatangkan ke Kalimantan untuk melayani para pekerja. Rupanya, ada pihak-pihak di luar perusahaan yang memanfaatkan kesempatan karena melihat sepinya Kalimantan, sementara banyak perusahaan yang didirikan di situ. "Saya sedih dan tersentuh. Saya punya anak perempuan dan cucu perempuan," kata bapak tujuh anak dan kakek 17 cucu ini. Maka Bagong, 63 tahun, yang sering dimaki sebagai "seniman pesanan" -- karena garapan tarian kolosal yang sering berbau spanduk itu -kini mencuatkan kesedihannya melalui pembelaannya terhadap kaum perempuan yang tertindas. "Saya melihat ada elemen Maria Magdalena di sana," kata Bagong, yang pernah berguru pada tokoh tari legendaris Martha Graham. Dan mungkin elemen Maria Magdalena itulah yang membuat Bagong menyelipkan lagu gereja di antara vokal masyarakat suku Dayak Kenyah yang menyentak-nyentak. Sentakan-sentakan itu juga semakin keras ketika para lelaki berkelompok dan seperti merasa asing di antara bunyi binatang-binatang hutan, sementara para wanita menari dalam sunyi. Tanpa musik, tanpa lagu. Akhir dari semua ini adalah sebuah harapan, karena bagi Bagong, pelacur-pelacur itu adalah korban eksploitasi. Dan mereka punya hak untuk kembali ke jalan yang benar dan jangan dikucilkan. Seorang wanita yang melepas semua ikat kepala dan sebagian kostumnya -seperti ingin meniadakan kekotoran yang melekat -berdiri di tengah panggung dan menghadap ke atas seperti sedang berdoa. Akhir yang sentimental. Harus diakui, daya tarik yang magnetis dari keseluruhan karya ini justru kekayaan warna-warni kostum dan musik Suku Dayak Kenyah yang hampir terus-menerus mengiringi tarian. Nyanyian suku Dayak Kenyah, yang sangat menampilkan nada minor yang asing itu, sesekali diselingi (dan diganggu) oleh gaung instrumen elektronik. Untungnya, lantas ditimpa dengan suara rintihan manusia atau bunyi binatang hutan. Bagong mengakui bahwa gerak-gerik tarian juga banyak diilhami dari berbagai tarian Kalimantan, misalnya tari Burung Enggang. Namun, nampaknya daya magis yang sering ditampilkan tari-tarian Dayak tradisional tak berhasil mencuat dalam Lorong. Bagong memang sangat mementingkan keteraturan gerakan-gerakan penari, semua gerakan tangan dan langkah kaki, meski liar dan dinamis, sangat rapi, terjaga, hampir tanpa spontanitas. Dan itu memang kekuatan sang koreografer, yang pada usia senja ini masih menggelegak untuk terus berkreasi. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini