Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nashar Tentang Nashar

Pameran karya nashar di taman ismail marzuki. tak ada perkembangan yang berarti dalam karya lukisan non figuratifnya. pendapatnya : semangat profesionalisme kesenimanan rekan2nya telah hilang.

17 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA belas tahun lalu ia menulis "Aku merasa tersisih -- dan terbuang dari pergaulan kawan-kawan . . . aku telah meninggalkan istri dan anak-anakku . . . Ada seperti suatu kenekatan hidup, dalam keadaan yang lumpuh ini satu-satunya yang bisa aku lakukan ialah melukis. " Memang. Dilihat dari cara hidupnya, Nashar, 52 tahun, terasa sangat mengutamakan kerja lukisnya. Belajar melukis kepada Sudjojono tahun 40-an, kini, 29 April - 17 Mei di Taman Ismail Marzuki, untuk kesekian kalinya ia berpameran tunggal. Tak ada perkembangan yang berarti -- melihat sejumlah karya yang dipamerkannya, yang kebanyakan bertahun 1979 -- dibanding keadaan pada pamerannya tiga tahun lalu. Mungkin waktu tiga tahun memang belum cukup untuk satu perkembangan karya Nashar. Ia sendiri merasa sulit kalau harus menilai karya sendiri. "Saya terlalu capek mengontrol lukisan sendiri," katanya. Untuk mengukur karya sendiri ia memang tak mempunyai ukuran yang jelas. Ia hanya yakin, "kalau hidup saya lebih dalam, lukisan saya tentu lebih dalam." Konsekuen dengan sikapnya, katanya ia tak pernah menyeleksi lukisannya bila hendak berpameran: "Apa pun hasil karya saya, jelek atau baik, lemah atau kuat, itulah saya." Dalam kumpulan catatan hariannya, terbit 1976 dengan judul Surat-surat Malam, antara lain dicatatnya kecenderungan senirupawan Indonesia untuk melukis abstrak yang tak benar-benar mencerminkan kebebasan. " . . . Seorang ahli sejarah senilukis melontarkan pendapat, bahwa senilukis abstrak ialah senilukis abad ke-20, maka banyak pelukis kita melukis cara abstrak." Catatan ini bertahun 1968. Tapi pameran Nashar 1973 menyuguhkan beberapa lukisan non-figuratif. Bahkan dalam pameran 1977, juga kini, yang dihadirkan adalah karya non-figuratif. Untuk ini memang ada ceritanya sendiri. Nashar, yang semula melukis langsung menghadapi obyek, lama-kelamaan merasa terikat dengan obyeknya. Kemudian ia hanya mengambil beberapa garis dari obyek itu. Berdasar itu lukisan dikembangkannya sendiri. Demikian pula kalau ia memindahkan sketsa ke dalam lukisan: hanya beberapa garis sketsa itu yang diambilnya. Selanjutnya merupakan rekaman dialog Nashar dengan kanvasnya. Lama-kelamaan ia pun muak dengan figur. "Puncaknya, di tahun 1975, saya tak percaya lagi kepada obyek." Rupanya ia menginginkan satu kebebasan yang lebih. "Enam bulan saya tak melukis, karena tak tahu harus melukis bagaimana. " Dan ilham pun muncullah. Ia diajak Putu Wijaya menggarap Lho -- drama Putu yang mini dialog, hanya ada gerak pemain, keramaian bunyi dan lain-lain, dipentaskan di TIM Desember 1975. "Di situ saya melihat, drama tanpa dialog ternyata bisa juga. Kemudian saya bertanya: bukankah gerak dalam drama itu sama saja dengan garis?" Maka lahirlah lukisan-lukisan nonfiguratif Nashar: hanya garis-garis, warna dan bidang. Tak mengejutkan dunia seni lukis Indonesia tentu. Medio 60-an Fadjar Sidik di Yogya sudah melukis non-figuratif. Tapi bahwa sampainya Nashar ke non-figuratif lewat jalannya sendiri, memang harus diakui. Semangat Profesionalisme Beberapa waktu lalu Nashar kembali diminta mengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta. Dulu ia pernah beberapa tahun di sana, tapi mengundurkan diri karena merasa tak cocok. Kini ia diberi keleluasaan menerapkan cara-caranya. "Saya tetap yakin, orang harus belajar mengenal dan memahami alam lebih dahulu. Perkembangannya nanti terserah," katanya. Karena itu ia sering membawa anak-anak didiknya ke pegunungan, ke pantai atau melukis ke kebun binatang. "Ini untuk melatih penghayatan terhadap alam dan kehidupan secara intensif." Bukan ia menolak teori -- tapi untuk meletakkan dasar kesenimanan bagi calon-calon itu "perlu praktek lebih banyak." Sebagai orang yang terjun dalam dunia senilukis sejak tahun 40-an, ia tentu banyak melihat perkembangan atau perbedaan dulu dengan sekarang. Satu hal yang segera ditangkap Nashar: hllangnya semangat profesionalisme kesenimanan. Maksudnya, orang yang tetap setia pada satu jalur pelukis, ya melukis saja sampai mati. "Sekarang, dengan berbagai kemungkinan yang ada, orang rupanya bergerak ke sana ke mari. Ya menulis, ya melukis, ya main drama dan sebagainya. Itu tidak buruk. Dan tetap memungkinkan lahirnya karya besar. Tergantung kegigihan masing-masing. " Ia juga melihat frekuensi pameran, sejak ada TIM, makin sering. Tetapi soal kualitas, "sama saja." Dulu pun ada yang baik dan buruk, sckarang pun demikian pula. Kembali pada Nashar sendiri, adakah yang telah dicapainya selama ini, sampai-sampai keluarganya ditinggalkannya? Agak mengejutkan jawabnya: "Melukis itu bukan yang penting. Tetapi hidup itu sendiri yang perlu. Tetapi pula, sampai sekarang ini tak terjawab oleh saya hidup itu untuk apa." Hidup Nashar rupanya memang satu dialog panjang dengan kanvas-kanvasnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus