DUA belas tahun lalu ia menulis "Aku merasa tersisih -- dan
terbuang dari pergaulan kawan-kawan . . . aku telah meninggalkan
istri dan anak-anakku . . . Ada seperti suatu kenekatan hidup,
dalam keadaan yang lumpuh ini satu-satunya yang bisa aku lakukan
ialah melukis. "
Memang. Dilihat dari cara hidupnya, Nashar, 52 tahun, terasa
sangat mengutamakan kerja lukisnya. Belajar melukis kepada
Sudjojono tahun 40-an, kini, 29 April - 17 Mei di Taman Ismail
Marzuki, untuk kesekian kalinya ia berpameran tunggal.
Tak ada perkembangan yang berarti -- melihat sejumlah karya yang
dipamerkannya, yang kebanyakan bertahun 1979 -- dibanding
keadaan pada pamerannya tiga tahun lalu. Mungkin waktu tiga
tahun memang belum cukup untuk satu perkembangan karya Nashar.
Ia sendiri merasa sulit kalau harus menilai karya sendiri. "Saya
terlalu capek mengontrol lukisan sendiri," katanya. Untuk
mengukur karya sendiri ia memang tak mempunyai ukuran yang
jelas. Ia hanya yakin, "kalau hidup saya lebih dalam, lukisan
saya tentu lebih dalam."
Konsekuen dengan sikapnya, katanya ia tak pernah menyeleksi
lukisannya bila hendak berpameran: "Apa pun hasil karya saya,
jelek atau baik, lemah atau kuat, itulah saya."
Dalam kumpulan catatan hariannya, terbit 1976 dengan judul
Surat-surat Malam, antara lain dicatatnya kecenderungan
senirupawan Indonesia untuk melukis abstrak yang tak benar-benar
mencerminkan kebebasan. " . . . Seorang ahli sejarah senilukis
melontarkan pendapat, bahwa senilukis abstrak ialah senilukis
abad ke-20, maka banyak pelukis kita melukis cara abstrak."
Catatan ini bertahun 1968.
Tapi pameran Nashar 1973 menyuguhkan beberapa lukisan
non-figuratif. Bahkan dalam pameran 1977, juga kini, yang
dihadirkan adalah karya non-figuratif. Untuk ini memang ada
ceritanya sendiri.
Nashar, yang semula melukis langsung menghadapi obyek,
lama-kelamaan merasa terikat dengan obyeknya. Kemudian ia hanya
mengambil beberapa garis dari obyek itu. Berdasar itu lukisan
dikembangkannya sendiri. Demikian pula kalau ia memindahkan
sketsa ke dalam lukisan: hanya beberapa garis sketsa itu yang
diambilnya. Selanjutnya merupakan rekaman dialog Nashar dengan
kanvasnya.
Lama-kelamaan ia pun muak dengan figur. "Puncaknya, di tahun
1975, saya tak percaya lagi kepada obyek." Rupanya ia
menginginkan satu kebebasan yang lebih. "Enam bulan saya tak
melukis, karena tak tahu harus melukis bagaimana. "
Dan ilham pun muncullah. Ia diajak Putu Wijaya menggarap Lho --
drama Putu yang mini dialog, hanya ada gerak pemain, keramaian
bunyi dan lain-lain, dipentaskan di TIM Desember 1975. "Di situ
saya melihat, drama tanpa dialog ternyata bisa juga. Kemudian
saya bertanya: bukankah gerak dalam drama itu sama saja dengan
garis?"
Maka lahirlah lukisan-lukisan nonfiguratif Nashar: hanya
garis-garis, warna dan bidang. Tak mengejutkan dunia seni lukis
Indonesia tentu. Medio 60-an Fadjar Sidik di Yogya sudah
melukis non-figuratif. Tapi bahwa sampainya Nashar ke
non-figuratif lewat jalannya sendiri, memang harus diakui.
Semangat Profesionalisme
Beberapa waktu lalu Nashar kembali diminta mengajar di Lembaga
Pendidikan Kesenian Jakarta. Dulu ia pernah beberapa tahun di
sana, tapi mengundurkan diri karena merasa tak cocok. Kini ia
diberi keleluasaan menerapkan cara-caranya. "Saya tetap yakin,
orang harus belajar mengenal dan memahami alam lebih dahulu.
Perkembangannya nanti terserah," katanya. Karena itu ia sering
membawa anak-anak didiknya ke pegunungan, ke pantai atau melukis
ke kebun binatang. "Ini untuk melatih penghayatan terhadap alam
dan kehidupan secara intensif." Bukan ia menolak teori -- tapi
untuk meletakkan dasar kesenimanan bagi calon-calon itu "perlu
praktek lebih banyak."
Sebagai orang yang terjun dalam dunia senilukis sejak tahun
40-an, ia tentu banyak melihat perkembangan atau perbedaan dulu
dengan sekarang. Satu hal yang segera ditangkap Nashar:
hllangnya semangat profesionalisme kesenimanan. Maksudnya, orang
yang tetap setia pada satu jalur pelukis, ya melukis saja sampai
mati. "Sekarang, dengan berbagai kemungkinan yang ada, orang
rupanya bergerak ke sana ke mari. Ya menulis, ya melukis, ya
main drama dan sebagainya. Itu tidak buruk. Dan tetap
memungkinkan lahirnya karya besar. Tergantung kegigihan
masing-masing. "
Ia juga melihat frekuensi pameran, sejak ada TIM, makin sering.
Tetapi soal kualitas, "sama saja." Dulu pun ada yang baik dan
buruk, sckarang pun demikian pula.
Kembali pada Nashar sendiri, adakah yang telah dicapainya selama
ini, sampai-sampai keluarganya ditinggalkannya? Agak mengejutkan
jawabnya: "Melukis itu bukan yang penting. Tetapi hidup itu
sendiri yang perlu. Tetapi pula, sampai sekarang ini tak
terjawab oleh saya hidup itu untuk apa."
Hidup Nashar rupanya memang satu dialog panjang dengan
kanvas-kanvasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini