PAGI itu, dalam perjalanan sejak pukul enam dari kota Banyuwangi
ke pesantren Blokagung, kami berdua melihat di dekat kota kecil
Jajak ada bendera setengah tiang berkibar. Istriku bertanya,
siapa yang meninggal dunia.
Seperti biasa, aku terus berspekulasi: mungkin lurahnya yang
mati, atau camatnya. Sampai di pesantren Blokagung juga tidak
ada yang tahu.
Jam sebelas baru kami mengetahui beritanya, ketika ada tamu
datang dari kota: Bung Hatta telah pergi meninggalkan kita
semua. Lengkaplah sudah kepergian para proklamator kemerdekaan.
Tokoh ini dahulu agak disalah-fahami gerakan keagamaan Islam di
sini, karena penolakannya yang tegas kepada gagasan negara
theokratis. Bung Hatta bukan bagian dari perjuangan kita,
begitulah kira-kira jalan pikiran berbagai macam gerakan itu.
Tetapi di akhir hayatnya, Bung Hatta justru menjadi contoh dari
seorang muslim tulen. Setiap Jumatselalu datang terdahulu,
langsung menuju tempat yang sama di baris pertama. Mobil
bernomor B-17845 menjadi penghias halaman masjid Matraman
Jakarta secara tetap selama tiga puluh tahun.
Ke-santri-an Bung Hatta yang penuh dengan jadwal waktu tetap
untuk beribadat kepada Allah dijadikan contoh yang ditularkan
dari mulut ke mulut, dari guru ke murid. Tidak peduli besarnya
perbedaan jalan pikiran masyarakat yang memenuhi masjid itu
dengan jalan pikiran Bung Hatta sendiri.
Kalau ada yang tidak setuju dengan kerasnya pengeras suara yang
mengumandangkan suara adzan dari masjid tersebut, mungkin Bung
Hatta-lah orang yang pertama akan bersikap demikian. Tetapi
sikapnya untuk berdiam diri di hadapan kenyataan seperti itu
justru dihargai orang di lingkungan itu: pinter ngemong, kata
orang Jawa. Kearifan orang yang telah menemukan hubungannya
sendiri dengan Tuhanna tidak terganggu dengan manifestasi
kehidupan beragama orang banyak di sekitar.
Tidakkah orang-orang muslim muda yang cenderung melemparkan
kritik kepada ummatnya dalam segala hal sebaiknya belajar dari
sikap berdiam dirinya Bung Hatta?
Seminggu kemudian sejumlah mahasiswa muslim berbincang-bincang
tentang besarnya impian orang seperti Bung Hatta: Indonesia
merdeka -- di saat belum ada tanda-tanda kemerdekaan sedikit
pun. Masyarakat sejahtera, adil dan makmur -- selagi semua nilai
luhur diinjak-injak seperti sekarang ini. Keseimbangan hidup
lahir dan batin - selagi materialisme masih mengungkung jalan
pikiran kita sebagai bangsa. Kehidupan politik serba bersih dan
wajar - di saat korupsi masih menjadi budaya, diberantas di
bibir dan dikerjakan oleh yang punya bibir.
Mengapakah angkatan anda tidak mampu bermimpi besar seperti itu,
tuduh (ini perasaanku, sebetulnya mereka hanya bertanya) mereka
padaku. Anda cuma puas dengan impian sektoral, yang tetap saja
berwatak sepotong-sepotong betapa mulianya sekalipun. Anda repot
dengan impian tentang pesantren, yang cuma satu sektor saja dari
kehidupan bangsa Mungkin sekali bahkan cuma sektor yang tidak
begitu penting.
Mengapa tidak bermimpi besar, tidak berangan-angan jauh:
pembebasan bangsa dari kungkungan ketidak-adilan, menegakkan
demokrasi secara kongkrit bahkan Daud Joesoef saja masih lebih
jauh jangkauannya, karena ia ingin mencerdaskan bangsa.
Terdiam aku menghadapi deretan pertanyaan di atas. Bagaimana
dapat dijawab dengan memuaskan, kalau aku sendiA juga belum tahu
apa jawaban yang dapat diberikan?
Menegakkan keadilan dan kehidupan politik yang benar-benar
demokratis? Nanti disangka kriminal, seperti anak-anak ITB dan
tokoh-tokoh Dema beberapa universitas.
Menyuarakan aspirasi rakyat tentang tanah? Nanti dituduh pejuang
salon, seperti kawan-kawan dari Fraksi Karya di DPR.
Membuat blue print tuntas tentang strategi alternatif bagi
pembangunan? Melaksanakan proyek di sebuah desa terpencil saja
belum mampu, mengapa berani-berani membuat rancangan seperti
itu? Apa tidak tahu, teknokrat di Bappenas dan
departemen-departemen saja, yang didukung oleh cukong-cukong
IGGI, tidak dapat membuat rencana pembangunan yang baik?
Terdiam, karena tidak dapat meyakinkan para mahasiswa itu, bahwa
impianku juga sebesar impian Bung Hatta dan kawan-kawannya
seangkatan.
Bahwa kerja kami dari berbagai program di pedesaan yang
terpisah-pisah juga akan berakhir pada sesuatu yang universal.
Bahwa perjuangan kemanusiaan dalam tahap sekarang harus bermula
dari mendengarkan suara pak tani yang mengharapkan pinjaman
modal empat ribu rupiah bagi istrinya untuk berdagang
kecil-kecilan, membawa rinjing berjualan krupuk asin ke pasar
terdekat.
Sulit untuk menggambarkan bahwa berbincang dengan lurah tentang
saluran air yang baru untuk desanya sama penting dan luas
jangkauannya dengan pertemuan Mao Tse-dong di Telaga Barat dekat
kota Hankow, yang membentuk Partai Komunis Cina enam puluhan
tahun yang lalu.
Sukar menunjukkan bahwa kerja di pedesaan dalam sebuah proyek
kecil sama hasil transformatifnya dalam jangka panjang dengan
rapat-rapat gelap kelompok Opsir Merdeka di Mesir-nya Raja
Farouk, kelompok pimpinan Gamal Abdel Nasser.
Sama hebat dengan rapat Perhimpoenan Indonesia di Holland, di
mana Bung Hatta turut merumuskan impian besar Indonesia Merdeka.
Sulit untuk diterangkan kepada angkatan adik-adik, karena tidak
ada unsur 'showbiz politik' dalam kerja-kerja di pedesaan itu.
Biarlah, mereka toh harus mencari jalan sendiri, tidak usah
terlalu minta bantuan, petunjuk atau contoh dari kakak-kakak
mereka. Kita semua dari generasi dari masa sebelum Bung Hatta
hingga ke anak cucu toh tidak akan kekurangan anggota yang
memiliki impian besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini