Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sama-sama bermimpi besar

Dalam rapat perhimpunan indonesia di holland, bung hatta turut merumuskan impian besar indonesia merdeka. mengapa kini tidak bermimpi besar: pembebasan bangsa dari kungkungan ketidakadilan.

17 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI itu, dalam perjalanan sejak pukul enam dari kota Banyuwangi ke pesantren Blokagung, kami berdua melihat di dekat kota kecil Jajak ada bendera setengah tiang berkibar. Istriku bertanya, siapa yang meninggal dunia. Seperti biasa, aku terus berspekulasi: mungkin lurahnya yang mati, atau camatnya. Sampai di pesantren Blokagung juga tidak ada yang tahu. Jam sebelas baru kami mengetahui beritanya, ketika ada tamu datang dari kota: Bung Hatta telah pergi meninggalkan kita semua. Lengkaplah sudah kepergian para proklamator kemerdekaan. Tokoh ini dahulu agak disalah-fahami gerakan keagamaan Islam di sini, karena penolakannya yang tegas kepada gagasan negara theokratis. Bung Hatta bukan bagian dari perjuangan kita, begitulah kira-kira jalan pikiran berbagai macam gerakan itu. Tetapi di akhir hayatnya, Bung Hatta justru menjadi contoh dari seorang muslim tulen. Setiap Jumatselalu datang terdahulu, langsung menuju tempat yang sama di baris pertama. Mobil bernomor B-17845 menjadi penghias halaman masjid Matraman Jakarta secara tetap selama tiga puluh tahun. Ke-santri-an Bung Hatta yang penuh dengan jadwal waktu tetap untuk beribadat kepada Allah dijadikan contoh yang ditularkan dari mulut ke mulut, dari guru ke murid. Tidak peduli besarnya perbedaan jalan pikiran masyarakat yang memenuhi masjid itu dengan jalan pikiran Bung Hatta sendiri. Kalau ada yang tidak setuju dengan kerasnya pengeras suara yang mengumandangkan suara adzan dari masjid tersebut, mungkin Bung Hatta-lah orang yang pertama akan bersikap demikian. Tetapi sikapnya untuk berdiam diri di hadapan kenyataan seperti itu justru dihargai orang di lingkungan itu: pinter ngemong, kata orang Jawa. Kearifan orang yang telah menemukan hubungannya sendiri dengan Tuhanna tidak terganggu dengan manifestasi kehidupan beragama orang banyak di sekitar. Tidakkah orang-orang muslim muda yang cenderung melemparkan kritik kepada ummatnya dalam segala hal sebaiknya belajar dari sikap berdiam dirinya Bung Hatta? Seminggu kemudian sejumlah mahasiswa muslim berbincang-bincang tentang besarnya impian orang seperti Bung Hatta: Indonesia merdeka -- di saat belum ada tanda-tanda kemerdekaan sedikit pun. Masyarakat sejahtera, adil dan makmur -- selagi semua nilai luhur diinjak-injak seperti sekarang ini. Keseimbangan hidup lahir dan batin - selagi materialisme masih mengungkung jalan pikiran kita sebagai bangsa. Kehidupan politik serba bersih dan wajar - di saat korupsi masih menjadi budaya, diberantas di bibir dan dikerjakan oleh yang punya bibir. Mengapakah angkatan anda tidak mampu bermimpi besar seperti itu, tuduh (ini perasaanku, sebetulnya mereka hanya bertanya) mereka padaku. Anda cuma puas dengan impian sektoral, yang tetap saja berwatak sepotong-sepotong betapa mulianya sekalipun. Anda repot dengan impian tentang pesantren, yang cuma satu sektor saja dari kehidupan bangsa Mungkin sekali bahkan cuma sektor yang tidak begitu penting. Mengapa tidak bermimpi besar, tidak berangan-angan jauh: pembebasan bangsa dari kungkungan ketidak-adilan, menegakkan demokrasi secara kongkrit bahkan Daud Joesoef saja masih lebih jauh jangkauannya, karena ia ingin mencerdaskan bangsa. Terdiam aku menghadapi deretan pertanyaan di atas. Bagaimana dapat dijawab dengan memuaskan, kalau aku sendiA juga belum tahu apa jawaban yang dapat diberikan? Menegakkan keadilan dan kehidupan politik yang benar-benar demokratis? Nanti disangka kriminal, seperti anak-anak ITB dan tokoh-tokoh Dema beberapa universitas. Menyuarakan aspirasi rakyat tentang tanah? Nanti dituduh pejuang salon, seperti kawan-kawan dari Fraksi Karya di DPR. Membuat blue print tuntas tentang strategi alternatif bagi pembangunan? Melaksanakan proyek di sebuah desa terpencil saja belum mampu, mengapa berani-berani membuat rancangan seperti itu? Apa tidak tahu, teknokrat di Bappenas dan departemen-departemen saja, yang didukung oleh cukong-cukong IGGI, tidak dapat membuat rencana pembangunan yang baik? Terdiam, karena tidak dapat meyakinkan para mahasiswa itu, bahwa impianku juga sebesar impian Bung Hatta dan kawan-kawannya seangkatan. Bahwa kerja kami dari berbagai program di pedesaan yang terpisah-pisah juga akan berakhir pada sesuatu yang universal. Bahwa perjuangan kemanusiaan dalam tahap sekarang harus bermula dari mendengarkan suara pak tani yang mengharapkan pinjaman modal empat ribu rupiah bagi istrinya untuk berdagang kecil-kecilan, membawa rinjing berjualan krupuk asin ke pasar terdekat. Sulit untuk menggambarkan bahwa berbincang dengan lurah tentang saluran air yang baru untuk desanya sama penting dan luas jangkauannya dengan pertemuan Mao Tse-dong di Telaga Barat dekat kota Hankow, yang membentuk Partai Komunis Cina enam puluhan tahun yang lalu. Sukar menunjukkan bahwa kerja di pedesaan dalam sebuah proyek kecil sama hasil transformatifnya dalam jangka panjang dengan rapat-rapat gelap kelompok Opsir Merdeka di Mesir-nya Raja Farouk, kelompok pimpinan Gamal Abdel Nasser. Sama hebat dengan rapat Perhimpoenan Indonesia di Holland, di mana Bung Hatta turut merumuskan impian besar Indonesia Merdeka. Sulit untuk diterangkan kepada angkatan adik-adik, karena tidak ada unsur 'showbiz politik' dalam kerja-kerja di pedesaan itu. Biarlah, mereka toh harus mencari jalan sendiri, tidak usah terlalu minta bantuan, petunjuk atau contoh dari kakak-kakak mereka. Kita semua dari generasi dari masa sebelum Bung Hatta hingga ke anak cucu toh tidak akan kekurangan anggota yang memiliki impian besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus