KEINGINAN yang begitu lama menggerogoti kalbunya -- ziarah ke
makam ibunya di Bandung -- sudah tercapai. Betapa lega hatinya
melihat makam itu tidak kurang suatu apa, kecuali lumut yang
meraja. Juga menyelinap semacam rasa lega di lubuk hatinya bahwa
ibunya meningal pada waktunya. Ibu yang lembut itu tidak sempat
dihlna dan dicabik-cabik oleh perang yang begitu bengis.
- Perubahan di negeri anda membikin saya tercengang. Semuanya
seperti sudah berubah, terlebih Jakarta ini. Lewat Jalan Thamrin
saya terheran-heran, macam tidak di Indonesia rasanya. Dan
seperti saya bilang tadi, saya sangat terharu melihat pohon asam
itu. Hampir menetes air mata saya. Rumah itu tidak ada lagi,
sudah diganti dengan bangunan modern berpagar besi, tapi pohon
asam masih ada. Tua tapi segar.
Cinta terpencar dari kalimat dan matanya. Masa kanakkanak dan
masa remajanya dilewatkan di Betawi, tempat kelahirannya. Perang
merombak jalan hidupnya dan merenggutnya dari Hindia Belanda.
Tapi pohon asam tempatnya bermain, yang ditinggalkan puluhan
tahun, masih utuh. Pohon asam yang damai menanti kedatangannya.
Dia merasakan sekali kupu-kupu tidak sebanyak dulu lagi. Sudah
dua minggu di Jakarta belum bertemu kupu-kupu. Tapi itu bukan
soal penting.
Yang paling penting, ia sudah bertemu beberapa kawan lama.
Pertemuan-pertemuan yang mengharukan, seperti dengan saudara
kandung. Salaman, rangkul-rangkulan dan tepuk punggung. Riwayat
kawan-kawan yang hidup yang mati, yang tidak tahu mati hidupnya,
ditelusuri njelimet sekali.
- Penduduk Jakarta luar biasa. Lebih lima kali Amsterdam. Hotel,
supermarket dan telekomunikasi majunya luar biasa. Saya bisa
telepon Denpasar dengan mudah. Melting pot yang terus tambah
besar. Jawa, Sunda Madura, Bugis, Batak Toraja, Dayak,
Minangkabau dan iain-lain campur baur. Mobilitas penduduk besar
sekali di sini.
Ketika dia tanya mengapa mobilitas orang Bawean (penghuni pulau
kecil di Laut Jawa) begitu besar, lebih besar dari orang Minang,
saya tidak bisa menjawab. Orang Bawean yang berjiwa laut itu
amat banyak di Singapura dan Malaysia. Kabarnya ada kepala
kampung Bawean mengunjungi anak buahnya di Malaysia.
-- Aneh juga. Mobilitas penduduk cukup tinggi, apalagi kalau
dipakai ukuran migrasi sirkuler, tapi program transmigrasi
nampaknya tidak begiu sukses. Saya belum pernah mendengar
program transmigrasi sukses. Kabamya belakangan ini dana cukup
besar. Menurut anda, mengapa kurang berhasil.
-- Kurang tahu. Faktornya tentu banyak, seperti telah sering
dibahas dalam koran dan tulisan-tulisan ilmiah. Barangkali
karena perencanaan kurang baik, kurang koordinasi sistem seleksi
calon kurang beres dan lain-lain. Faktor sosiai budaya mungkin
dilebih-lebihkan.
-- Saya setuju. Kalau ada kepincangan, penyebab yang paling
sederhana dan yang tak tersangkal ialah "faktor sosial
budaya".Apa saja masuk. Sering saya mende/lgar panclangan hidup
yang menghambat: makan tidak makan asal bersama-sama. Itu tidak
harus jadi halangan, sebab keluarga yang berhasil di luar Jawa
bisa menarik sanak saudaranya. Bersama-sama tidak harus di Pulau
Jawa. Tapi katanya banyak transmigran yang pulang ke Jawa karena
kecewa dan merasa dibohongi pemerintah.
-- Ada, tapi tidak banyak. Memang dramatis kedengaran
transmigran kembali ke Jawa, apalagi ke daerah bahaya seperti
Merapi dan Sinila. Tapi jumlahnya relatif sedikit.
-- Sebaliknya program keluarga berencana di negeri anda begitu
terkenal. Sukses besar. Sudah terkenal di seluruh dunia. Bali
tidak cuma terkenal sebagai pulau kesenian tapi juga pulau
keluarga berencana. Bayangkan, pulau dewata menjadi pulau
keluarga berencana. Di Jawa juga sukses. Di mana-mana saya
dengar, sukses sebagai keseluruhan. Apakah memang sangat sukses?
-- Banyak benarnya. Sukar dibayangkan 10 tahun yang lalu
keluarga berencana bisa mencapai tahap sekarang. Program yang
sensitip ini ditangani bijaksana sekali. Partisipasi masyarakat
baik, tidak menjadi monopoli departemen tertentu. Anda sudah
membaca tulisan Snodgrass di Ekonomi dan keuangan Indonesia?
-- Sudah, dua hari yang lalu. Pengelolaan BKKBN katanya jauh
lebih baik daripada departemen lainnya di Indonesia. Karangan
itu meyakinkan dan menyegarkan. Sudah terlalu banyak contoh yang
kurang berhasil di negera-negara yang sedang berkembang. Tapi
bagi saya masih ada sesuatu yang kurang jelas. Baru-baru ini
saya membuka-buka buku Demographic Trends and Policies in ESCAP
Countries. Anda sudah melihat buku itu?
-- Belum.
-- Di situ dibandingkan keadaan tahun 1970 dan 1978 untuk tiap
negara ESCAP. (Dia melihat buku catatannya). Angka kelahiran
Indonesia diperhitungkan 43,2 untuk I970 dan 37,8 untuk 1978.
Jadi angka kelahiran Indonesia turun 12,5%.
Thailand mengalami penurunan 18,850 dari 39,4 menjadi 32,0.
Malaysia turun 13,5%, dari 37 menjadi 32. Nah, di kedua negara
itu penurunan angka kelahiran lebih besar daripada di Indonesia
walaupun program keluarga berencana (pemerintah) mereka tidak
bisa dibanggakan. Aneh. Program KB mereka tidak tergolong lancar
tapi angka kelahiran menurun dengan cepat. Kabarnya di Chiang
Mai (Thailand) angka kelahiran turun lebih dari 50% dalam jangka
waktu 7 tahun, dari 1964 sampai 1972. Menurut pandangan anda,
mengapa Thailand dan Malaysia begitu sukses?
-- Mengherankan. Saya sungguh-sungguh tidak mengerti. Karena
keadaan ekonomi yang lebih baik barangkali dan motivasi yang
tinggi dari anggota masyarakat. Tapi terus terang saja, itu
belum pernah saya pikirkan.
-- Bagaimana pun juga, kemajuan di negeri anda ini
menggembirakan. Apa lagi kalau saya bandingkan dengan keadaan
dulu. Bedanya siang malam.
Taksi sudah datang menjemputnya. Disodorkannya sebuah kartu
nama. Pegangannya terasa hangat dan erat. Katanya pohon asam itu
mau dijenguknya sekali lagi sebelum berangkat lusa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini