Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pohon Asam, Transmigrasi Dan KB

Faktor sosial budaya menghambat suksesnya transmigrasi, banyak transmigran kembali ke jawa. program kb di indonesia angka kelahiran turun 12,5%, thailand turun 18,8%, dan malaysia turun 13,5%.

17 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEINGINAN yang begitu lama menggerogoti kalbunya -- ziarah ke makam ibunya di Bandung -- sudah tercapai. Betapa lega hatinya melihat makam itu tidak kurang suatu apa, kecuali lumut yang meraja. Juga menyelinap semacam rasa lega di lubuk hatinya bahwa ibunya meningal pada waktunya. Ibu yang lembut itu tidak sempat dihlna dan dicabik-cabik oleh perang yang begitu bengis. - Perubahan di negeri anda membikin saya tercengang. Semuanya seperti sudah berubah, terlebih Jakarta ini. Lewat Jalan Thamrin saya terheran-heran, macam tidak di Indonesia rasanya. Dan seperti saya bilang tadi, saya sangat terharu melihat pohon asam itu. Hampir menetes air mata saya. Rumah itu tidak ada lagi, sudah diganti dengan bangunan modern berpagar besi, tapi pohon asam masih ada. Tua tapi segar. Cinta terpencar dari kalimat dan matanya. Masa kanakkanak dan masa remajanya dilewatkan di Betawi, tempat kelahirannya. Perang merombak jalan hidupnya dan merenggutnya dari Hindia Belanda. Tapi pohon asam tempatnya bermain, yang ditinggalkan puluhan tahun, masih utuh. Pohon asam yang damai menanti kedatangannya. Dia merasakan sekali kupu-kupu tidak sebanyak dulu lagi. Sudah dua minggu di Jakarta belum bertemu kupu-kupu. Tapi itu bukan soal penting. Yang paling penting, ia sudah bertemu beberapa kawan lama. Pertemuan-pertemuan yang mengharukan, seperti dengan saudara kandung. Salaman, rangkul-rangkulan dan tepuk punggung. Riwayat kawan-kawan yang hidup yang mati, yang tidak tahu mati hidupnya, ditelusuri njelimet sekali. - Penduduk Jakarta luar biasa. Lebih lima kali Amsterdam. Hotel, supermarket dan telekomunikasi majunya luar biasa. Saya bisa telepon Denpasar dengan mudah. Melting pot yang terus tambah besar. Jawa, Sunda Madura, Bugis, Batak Toraja, Dayak, Minangkabau dan iain-lain campur baur. Mobilitas penduduk besar sekali di sini. Ketika dia tanya mengapa mobilitas orang Bawean (penghuni pulau kecil di Laut Jawa) begitu besar, lebih besar dari orang Minang, saya tidak bisa menjawab. Orang Bawean yang berjiwa laut itu amat banyak di Singapura dan Malaysia. Kabarnya ada kepala kampung Bawean mengunjungi anak buahnya di Malaysia. -- Aneh juga. Mobilitas penduduk cukup tinggi, apalagi kalau dipakai ukuran migrasi sirkuler, tapi program transmigrasi nampaknya tidak begiu sukses. Saya belum pernah mendengar program transmigrasi sukses. Kabamya belakangan ini dana cukup besar. Menurut anda, mengapa kurang berhasil. -- Kurang tahu. Faktornya tentu banyak, seperti telah sering dibahas dalam koran dan tulisan-tulisan ilmiah. Barangkali karena perencanaan kurang baik, kurang koordinasi sistem seleksi calon kurang beres dan lain-lain. Faktor sosiai budaya mungkin dilebih-lebihkan. -- Saya setuju. Kalau ada kepincangan, penyebab yang paling sederhana dan yang tak tersangkal ialah "faktor sosial budaya".Apa saja masuk. Sering saya mende/lgar panclangan hidup yang menghambat: makan tidak makan asal bersama-sama. Itu tidak harus jadi halangan, sebab keluarga yang berhasil di luar Jawa bisa menarik sanak saudaranya. Bersama-sama tidak harus di Pulau Jawa. Tapi katanya banyak transmigran yang pulang ke Jawa karena kecewa dan merasa dibohongi pemerintah. -- Ada, tapi tidak banyak. Memang dramatis kedengaran transmigran kembali ke Jawa, apalagi ke daerah bahaya seperti Merapi dan Sinila. Tapi jumlahnya relatif sedikit. -- Sebaliknya program keluarga berencana di negeri anda begitu terkenal. Sukses besar. Sudah terkenal di seluruh dunia. Bali tidak cuma terkenal sebagai pulau kesenian tapi juga pulau keluarga berencana. Bayangkan, pulau dewata menjadi pulau keluarga berencana. Di Jawa juga sukses. Di mana-mana saya dengar, sukses sebagai keseluruhan. Apakah memang sangat sukses? -- Banyak benarnya. Sukar dibayangkan 10 tahun yang lalu keluarga berencana bisa mencapai tahap sekarang. Program yang sensitip ini ditangani bijaksana sekali. Partisipasi masyarakat baik, tidak menjadi monopoli departemen tertentu. Anda sudah membaca tulisan Snodgrass di Ekonomi dan keuangan Indonesia? -- Sudah, dua hari yang lalu. Pengelolaan BKKBN katanya jauh lebih baik daripada departemen lainnya di Indonesia. Karangan itu meyakinkan dan menyegarkan. Sudah terlalu banyak contoh yang kurang berhasil di negera-negara yang sedang berkembang. Tapi bagi saya masih ada sesuatu yang kurang jelas. Baru-baru ini saya membuka-buka buku Demographic Trends and Policies in ESCAP Countries. Anda sudah melihat buku itu? -- Belum. -- Di situ dibandingkan keadaan tahun 1970 dan 1978 untuk tiap negara ESCAP. (Dia melihat buku catatannya). Angka kelahiran Indonesia diperhitungkan 43,2 untuk I970 dan 37,8 untuk 1978. Jadi angka kelahiran Indonesia turun 12,5%. Thailand mengalami penurunan 18,850 dari 39,4 menjadi 32,0. Malaysia turun 13,5%, dari 37 menjadi 32. Nah, di kedua negara itu penurunan angka kelahiran lebih besar daripada di Indonesia walaupun program keluarga berencana (pemerintah) mereka tidak bisa dibanggakan. Aneh. Program KB mereka tidak tergolong lancar tapi angka kelahiran menurun dengan cepat. Kabarnya di Chiang Mai (Thailand) angka kelahiran turun lebih dari 50% dalam jangka waktu 7 tahun, dari 1964 sampai 1972. Menurut pandangan anda, mengapa Thailand dan Malaysia begitu sukses? -- Mengherankan. Saya sungguh-sungguh tidak mengerti. Karena keadaan ekonomi yang lebih baik barangkali dan motivasi yang tinggi dari anggota masyarakat. Tapi terus terang saja, itu belum pernah saya pikirkan. -- Bagaimana pun juga, kemajuan di negeri anda ini menggembirakan. Apa lagi kalau saya bandingkan dengan keadaan dulu. Bedanya siang malam. Taksi sudah datang menjemputnya. Disodorkannya sebuah kartu nama. Pegangannya terasa hangat dan erat. Katanya pohon asam itu mau dijenguknya sekali lagi sebelum berangkat lusa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus