Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nasib museum yang lain

Museum puri lukisan di ubud, bali dibangun tahun 1940-an. gagasan rudolf bonnet dan tjokorda gde raka sukawati. nasibnya mengenaskan karena tertutup oleh galeri-galeri yang mulai tumbuh di ubud

29 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA ini, bila orang ingin melihat lukisan klasik Bali dalam jumlah memadai, mereka datang ke Museum Puri Lukisan di Ubud. Dari tiga ruang di museum yang terletak di tanah seluas 1,5 ha itu, salah satu ruangan memang dikhususkan untuk lukisan klasik, satu lagi untuk lukisan tradisional dari para pelukis tenar. Tapi museum penting yang berdiri pada 1940-an itu, yang semula berdinding gedek dan beratap ilalang, kini tenggelam di antara galeri-galeri di Ubud yang tumbuh pesat sejak pertengahan 1980-an. Wajah depannya tanpa daya tarik sama sekali, hingga museum ini mengesankan "layak dilewatkan". Padahal, 320 karya yang tersimpan di dalamnya merupakan karya para seniman yang ikut membentuk suasana Ubud khususnya, dan Bali umumnya, menjadi bersuasana kesenian. Museum ini merupakan gagasan Rudolf Bonnet dan Tjokorda Gde Raka Sukawati, yang pada 1936 membentuk Pita Maha, himpunan pelukis Ubud. Suatu hari Tjokorda Gde Sukawati mencoba memasarkan lukisan dari Ubud di sebuah hotel di Denpasar. Di luar dugaan, lukisan itu laris, malah para turis kemudian datang sendiri ke Ubud. Ini mencemaskan Bonnet dan Tjokorda Gde Sukawati, jangan-jangan Ubud nanti tak punya catatan sejarah seni lukisnya. Maka, dipikirkanlah soal museum itu, dan ternyata terwujud. Tahun 1954, Museum Puri Lukisan direnovasi menjadi gedung dengan batu bata oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, Profesor Muhammad Yamin. Dan sejak itu museum ini menjadi perhatian para turis dalam dan luar negeri. Tapi Tjokorda Gde Putra, yang kini mengelola Museum Puri Lukisan itu, mengaku tak berdaya apa-apa ketika pelan-pelan bangunan museum tersebut mulai dimakan usia. Malah sejak beberapa tahun lalu atap pun bocor. Baru awal tahun 1993, Yayasan Ratna Warta yang diketuainya berhasil menghimpun dana untuk memperbaiki museum yang sejauh ini masih bisa buka karena dana dari pemerintah pusat dan daerah, yang jumlahnya tak seberapa. Dana itu hanya cukup untuk menggaji delapan penjaga museum, yang bekerja aplusan, yang masing-masing mendapat imbalan Rp 30.000 per bulan. Untuk perbaikan, baik pemerintah pusat maupun daerah masih belum menaruh perhatian. Sampai pekan lalu dua ruang yang diperbaiki belum juga selesai. Selain memperbaiki, juga direncanakan memasang alat pengaman. Soalnya, tahun 1982, 12 lukisan dicuri, antara lain karya Lempad, Sobrat, dan Kobot, tiga maestro seni lukis tradisional Bali. Menjajaki kerja sama dengan galeri-galeri di Ubud yang sukses secara komersial? Untuk ini, Tjokorda Gde Putra masih menyimpan kekhawatiran, jangan-jangan kerja sama itu mengubah citra Museum Puri Lukisan. "Saya ingin mempertahankan idealisme yang tak ada sangkut pautnya dengan bisnis," katanya. Nasib kegiatan semacam ini di Indonesia tampaknya memang kurang menyenangkan. Museum wayang dan Balai Seni Rupa di Jakarta, umpamanya, juga miskin dana. Ironis, mengingat adanya boom lukisan beberapa waktu lalu, yang dilanjutkan dengan hidupnya bisnis seni rupa di Indonesia kini, dan upaya sejumlah seniman dan pemilik galeri yang mendirikan museum dengan biaya miliaran rupiah.Laporan Putu Wirata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum