Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ketika lukisan adalah kisah para dewa

Sebuah museum yang mengoleksi lukisan klasik bali dibuka pekan lalu di klungkung, kawasan yang pernah menjadi pusat seni lukis bali di abad ke-15.

29 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang hampir terlupakan dari seni rupa Bali. Yakni asal- muasal gaya lukisan tradisional Bali yang dekoratif tanpa perspektif itu. Untuk sementara para pengamat menyimpulkan, sumber gaya itu adalah dari lukisan-lukisan klasik Bali yang mulai berkembang pada abad ke-15, antara lain di Klungkung. Sejumlah karya klasik itu antara lain disimpan di Museum Puri Lukisan di Ubud, Museum Denpasar, dan diduga ada sejumlah yang lain disimpan sebagai koleksi pribadi di Bali maupun di luar Bali. Pekan lalu, sebuah tempat yang diniatkan menjadi rumah lukisan klasik Bali dibuka di Desa Banda, Klungkung. Itulah Museum Lukisan Klasik Nyoman Gunarsa. Memang, hanya di lantai dua dari bangunan berlantai tiga itu yang diisi dengan lukisan klasik. Di lantai tiga, Nyoman, pelukis lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (sekarang menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia) Yogyakarta memajang karya-karyanya sendiri. Meski begitu, koleksi lukisan klasik di sini cukup banyak dibandingkan dengan museum lain. Museum yang makan ongkos pembangunan dan lain- lainnya itu sampai sekitar Rp 4 miliar memiliki 200-an lukisan klasik gaya Kamasan. Salah satunya adalah Matinya Boma, berukuran 145 cm X 135 cm. Pada karya yang tak diketahui nama pelukisnya ini pertempuran antara pasukan Kresna dan sang raja raksasa bernama Boma itu terasa dahsyatnya. Mestinya lukisan ini didasarkan pada Kakawin Bomantaka, naskah tentang matinya Boma yang ditemukan di Jawa Timur, yang sampai kini tak dikenal penggubahnya. Bila seorang (atau beberapa orang) pelukis Bali kemudian mengabadikannya, tentunya kisah itu pernah populer di Pulau Dewata ini. Di Jawa, Boma dianggap mempunyai ajian sakti, hingga ia tak akan mati selama bagian dari tubuhnya masih menyentuh bumi, yang adalah ibunya. Maka, raja raksasa itu pun mengumbar angkara murkanya di seluruh jagat, bahkan sampai ke kayangan, kerajaan para dewa. Ketika itulah para dewa memutuskan untuk menghabisi Boma, dan yang mampu menandingi kesaktiannya hanya satu, manusia titisan Wisnu, dan itulah Kresna. Tentu saja dalam gaya lukisan Kamasan, Boma tak menjadi menonjol, juga Kresna. Dalam lukisan klasik Bali, fokus hanya samar-samar, menjadikan seluruh bidang gambar penting. Maka, gambar seorang prajurit bisa sama menariknya dibandingkan gambar tokoh dalam kisah yang dilukiskan. Dan, seperti terlihat dari lukisan tradisional Bali, dalam lukisan gaya klasik pun tak dibiarkan sepetak bidang gambar pun kosong. Ada saja yang diisikan pada bidang itu, misalnya bentuk spiral yang bisa jadi melukiskan angin. Maka, kesan pertama melihat lukisan klasik Bali adalah keseluruhan suasana. Dikisahkan bahwa perang tanding antara Kresna dan Boma sangat seru. Dua-duanya mengubah diri menjadi sebesar gunung. Kresna, yang ditakdirkan menang, menghantam kepala Boma hingga putus, yang lalu dilambungkan ke angkasa, sedangkan tubuhnya tercebur dan lenyap di dasar laut. Lukisan detail perang tanding itu sendiri tak muncul, tetapi suasana keseluruhan lukisan, seperti sudah disinggung, memang menggambarkan dahsyatnya pertempuran. Dan begitulah umumnya lukisan klasik Bali. Seperti juga dalam Mengaduk Mandara Giri. Karya ini menggambarkan masa awal zaman, dunia masih tenteram, dan lautan adalah kolam susu. Lautan susu itu sendiri tak segera tertangkap, tapi suasana tenteram memang segera terasakan. Padahal, dilihat dari ramainya, Mengaduk Mandara Giri hampir seramai Matinya Boma. Bila selintas semua lukisan Kamasan hampir sama, apa pun ceritanya, karena memang ada kaidah-kaidah yang mesti dipatuhi. Misalnya saja, figur-figur harus digambarkan dari samping, bukan dari depan, mirip wayang kulit. Warna-warna sudah ditentukan, misalnya warna kulit oker, api merah dan rambut hitam. Kesamaan kesan itu juga karena terbatasnya warna kala itu hanya dikenal lima warna (merah, oker, kuning, hitam, biru). Mungkin satu lagi, putih (tapi lazimnya putih adalah warna dasar bidang gambar). Istilah "klasik" itu sendiri tampaknya perlu dipikirkan lagi. Istilah itu mengacu pada istilah "lukisan klasik" di Eropa, yang menggambarkan mitologi dan bukannya kehidupan sehari-hari. Bila ketentuan ini yang dipakai, sebenarnya di Bali bukan hanya ada gaya Kamasan, tapi juga gaya Kerambitan, Gianyar, Buleleng, dan mungkin ada lagi. Dari beberapa karya di luar gaya Kamasan yang ditemukan, tampaknya perbedaan dengan gaya Kamasan sedikit. Konon, memang yang di luar Kamasan itu dulu-dulunya bersumber dari Kamasan juga. Sejauh yang bisa dilacak, gaya Kamasan berkembang di abad ke-15 sampai abad ke-18, di masa dinasti Kerajaan Gelgel yang berpusat di Klungkung menguasai Bali. Ketika itu kerajaan-kerajaan kecil sekitar Klungkung meminta pelukis istana pada Kerajaan Klungkung menghiasi istana mereka. Dari ihwal inilah mungkin gaya Kamasan mengalami variasi dan menjadi gaya Kerabitan atau Buleleng. Bila kemudian hanya Kamasan yang kini populer, karena di Klungkung ada peninggalan yang disebut Bale Kerta Ghosa. Di bangunan yang konon berfungsi sebagai gedung pengadilan inilah langit-langitnya dihiasi dengan lukisan yang kini disebut bergaya Kamasan itu. Dalam buku Perceptions of Paradise terbitan Museum Neka yang ditulis oleh Garret Kam, diduga Bale Kerta Ghosa sudah ada pada tahun 1910. Tapi bisa jadi tahun itu adalah tahun renovasi sebab, dalam manuskrip yang ditulis pada tahun 1842, indahnya lukisan di langit-langit Kerta Ghosa sudah disebut-sebut. Sebagai gedung pengadilan tentunya Bale Kerta Ghosa menjadi tempat yang bisa dikunjungi umum sejak dahulu. Bisa jadi karena itu lukisan gaya Kamasan tidak lalu hilang. Warga Klungkung bisa melihat karya klasik yang sungguh memerlukan ketelatenan dan teknik yang tinggi, lalu menirunya. Itulah kemungkinan logis yang bisa menjadi jawaban mengapa di antara lukisan gaya- gaya klasik yang lain, gaya Kamasan sampai kini bisa ditemukan. Sebab, di luar Klungkung, misalnya di Puri Kerambitan, meski ada juga lukisan klasik dari abad ke-19, tidak semua yang ingin melihat bisa masuk. Soalnya, puri ini sampai sekarang merupakan milik pribadi. Di Puri Kerambitan ini setidaknya masih terpelihara baik lukisan tentang pertarungan Arjuna melawan Raksasa Newatakawaca dari Kakawin Arjuna Wiwaha. Sayangnya, sejauh ini belum ada yang meneliti, perbedaan dan persamaan gaya klasik Kamasan dan Kerambitan. Tapi kini pun di Klungkung pelukis yang mempelajari dan mempraktekkan gaya Kamasan sudah jarang. Satu-satunya yang dengan setia masih melukis seperti masa lampau dan dengan hasil yang termasuk berkualitas tinggi adalah Nyoman Mandra. Pelukis yang kini 48 tahun itu masih memakai kanvas dari kain buatan lokal atau belacu, yang kemudian dilapisi bubur tepung beras dicampur dengan bubuk kulit kerang. Tahap-tahap melukis Mandra pun juga sudah tertentu: membuat sketsa awal, ngereka atau menegaskan sketsa awal dengan cat hitam atau tinta, memberi warna, nyawi atau membuat detail misalnya ornamen pada pakaian, neling membuat kontur hitam, dan mbuluin atau penyelesaian akhir. Yang tak lagi dilakukan Mandra adalah melukis pada kertas ulantaga (kerta dari ketela). Berdirinya Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa, seperti diharapkan oleh pendirinya, memudahkan mereka yang berniat mempelajari lukisan klasik Bali. Dan diharapkan, bukan hanya lukisan klasik gaya Kamasan, tapi juga yang lain.Mohamad Cholid (Jakarta), Putu Wirata & Putu Fajar Arcana (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum