Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Calon Arang sudah melangkah jauh dari saat Miguel Covarrubias menjelajah Bali. Tahun 1930-an, saat seniman Meksiko itu berdiam di Bali, hampir setiap isi kepala orang Bali menerima Ni Rangda sebagai simbol dunia -hitam. Seorang pembawa bala.
Tapi kini, tak sedikit orang Bali yang melihat -janda dari Desa Dirah itu sebagai ikon perlawanan. Pa-ling tidak, di mata para penulis muda, Ni Rangda adalah justru metafor bagi perjuangan kaum perempuan menegakkan harga diri.
Ya, Calon Arang memang multi-interpretasi.
Sesungguhnya dalam dunia tradisi pun, baik dari naskah maupun seni pertunjukan, Calon Arang -punya beragam tafsir. Prof Dr Made Suastika, pene-liti teks Calon Arang, menghitung ada 30 versi ber-beda dari naskah-naskah kuno yang bercerita tentang- Calon Arang.
Perbedaan-perbedaan tafsir Calon Arang tentunya juga terdapat dalam praktek sehari-hari pementasannya. Sepuluh tahun terakhir ini di Bali, misalnya, pertunjukan tradisional Calon Arang lebih menonjol-kan pameran kekebalan gaib. Adegan nusang-nu-sangan (upacara sebelum mayat dikubur) dan prosesi penguburan mayat selalu menjadi ”highlight”.
Tapi, saat prosesi itu, antara grup satu dan lainnya bisa jadi memiliki pemaknaan berbeda. Grup Sandhi Murti, misalnya. Perguruan yang aslinya kelompok ke-batinan ini memiliki persepsi tersendiri mengenai sosok Ni Rangda.
Pinisepuh mereka, I Gusti Ngurah Harta, percaya- mengapa Ni Rangda dibenci oleh penguasa. Itu ka-re-na dalam tafsirnya sang janda menganut agama Tan-trayana, yang bertentangan dengan kepercayaan saat itu. Agama Tantris populer di Bali pada abad-9, para penganutnya menyembah Dewi Durga.
Bila tradisi saja sesungguhnya banyak tafsir, apalagi dunia tari modern. Lebih dari 30 tahun lampau- Sardono W. Kusumo memanggungkan Dongeng Dari Dirah. Inilah karya yang membuat namanya me-langlang hingga ke Eropa dan Asia. Dalam Dirah, Sardono malah membuat Ni Rangda menjadi sosok yang tak membuat anak-anak takut.
”Ide pementasan ini adalah sebuah pasar,” kata Sardono mengomentari karyanya yang lahir di Puri Kerambitan, Tabanan itu. ”Pasar” yang dimaksud- ter-cipta dari komposisi obor-obor, dimainkan oleh -tangan-tangan penari. Di bawah cahaya obor, anak-anak kecil berlarian, bermain-main kain, tak ber-aturan. Kain putih merambat, meliuk-liuk, naik-turun seperti ular. Ni Rangda yang menyeramkan mendadak jadi guyonan anak kecil.
Tujuh belas tahun kemudian, Sardono membawa-kannya lagi di Gedung Kesenian Jakarta. Dirah menurut dia sudah berbeda tafsir lagi. Ia telah menjadi bagian dari ritual desa. ”Ada misteri kelahiran, ada destruksi, ada maut, dan ini semua akan melahirkan imaji-imaji,” kata Sardono kepada majalah ini tahun 1991.
Penata tari Wayan Diya punya pendapat lain. Ia mementaskan drama tari Duta Buta di Teater Arena Taman Ismail Marzuki pada Maret 1977. Dia meng-ambil episode saat Ki Patih Madri diutus sebagai duta untuk membatalkan lamar-an Airlangga kepada Ratna Manggali, putri Dirah.
Calon Arang, Janda dari Dirah itu, berang. Madri dianiaya dalam perjalanan pulang hingga buta. Rakyat Airlangga penasaran. Dengan pimpinan Ki Patih Taskaramaguna, terjadilah pertarung-an seru antara pihak Airlangga dan Dirah, yang dipimpin Ni Rarung, murid utama Dirah.
Tak ada yang menang atau kalah di sini karena- Diya percaya, pertikaian Calon Arang dan Mpu Baradah tak pernah selesai. ”Pertunjukan berhenti tatkala perang masih berlangsung. Ini semacam petuah moral agar setiap penonton ikut aktif melanjutkan sisa pertempuran dalam diri mereka,” katanya.
Yang menarik, di panggung—tempat adegan pe-rang itu—Diya menggantung topeng kepala Dirah dengan label $ 1.000. Ini adalah satire tentang ber-bagai ikon sakral Bali yang kemudian menjadi sekadar oleh-oleh turis bule.
Pertunjukan Calon Arang paling gres adalah 22 April lalu di Jakarta. Calon Arang di sini malah menjadi simbol energi Jawa dan Bali yang saling memberi ruang. Penari Retno Maruti dan Bulantrisna Jelantik, yang pertama kali bertemu dalam misi kesenian Presiden Sukarno awal tahun 1965, memperlihatkan keindahan terjadi bukan karena peleburan, melain-kan ”tabrakan” antara dua entitas: Jawa dan Bali.
SASTRA MODERN Indonesia pun tak ketinggalan ”meng-gumuli” sang janda. Pramoedya Ananta Toer pu-nya alasan sendiri saat pada tahun 1954 ia menulis- Cerita Calon Arang (terbit kembali 1999, dalam e-di-si Inggris berjudul: The King, The Witch and The Priest).
Sastrawan ini berpendapat, seperti- yang ditulis dalam Negara-kerta-ga-ma, Mpu Baradah berasal- dari daerah bernama Wurare. Ia per-caya, kemudian seiring dengan- menumpulnya lidah rakyat selama- ratusan tahun, lafal Wurare itu ber-ubah menjadi Blora, tempat kelahir-an Pram.
Max Lane, penerjemah karya Pram, melihat ada persamaan tokoh Calon Arang dengan Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia, buku pertama tetralogi Pulau Buru. Calon Arang dan Nyai Ontosoroh sama-sama dilukiskan sebagai perempuan ber-ilmu yang tak sudi tunduk di bawah kekuasaan laki-laki. Perempuan se-perti ini bisa memberontak, dan bila hal ini terjadi, penguasa akan ketakutan.
Sementara hubungan Pramoedya dan Calon Arang bertolak dari tempat kelahiran, hubungan penyair Bali Cokorda Savitri dan kisah ini lebih dekat lagi. Ia mengaku sebagai keturunan langsung dari Raja Sri Adji Kepakisan, cucu pasangan Ratna Manggali dan Mpu Bahula. Bila benar, ini berarti darah Calon Arang bukan hanya legenda, tapi mengalir langsung dalam tubuhnya!
Sejak tahun 1990, Cok sudah menggeluti naskah Pembelaan Dirah, yakni narasi yang terbagi atas empat bagian: Wisuda Gumi, Kawean, Namaku Dirah, dan Jalan Maya. Selain Kawean yang ditulis sebagai naskah teater, tiga lainnya berbentuk puisi dan lagu. ”Ini adalah naskah perjalanan spiritual pembebasan diri,” kata Cok.
Ketika wanita menjadi janda mulailah sudah prasangka melucuti kemurnian rahim rumah-rumah menanam pandan di pintu-pintu anak-anak menutup lubang pusar lelaki menggosok-gosok kumisnya
Dalam karyanya itu, Cok ingin menempatkan Calon Arang sebagai pembuka kesadaran akan Saptashi Durga (Ibu Kebajikan) yang menjadi dasar Panca Mahabutha (unsur yang menyusun tubuh manusia). Kisah Ni Rangda di mata Cok tak sekadar hitam-putih, tapi lebih menekankan unsur kekuatan feminin. ”Kalau selama ini Dirah diposisikan salah, itu adalah keputusan politik,” Cok menegaskan.
Karya Toety Heraty, guru besar filsafat Universitas Indonesia: Calon Arang, Kisah Perempuan Korban Patriarki (2000), lain lagi. Toety menghidupkan sosok Calon Arang dalam pemberontakan modern: demonstrasi harga susu ibu-ibu Jakarta pada Februari 1998, beberapa bulan sebelum Presiden Soeharto jatuh.
Ibu-ibu yang nestapa karena harga-harga naik. Toety terinspirasi karya fotografer Rio Helmi yang melukiskan Calon Arang sebagai perempuan tua yang nasibnya terpuruk, berwajah sedih, ”Tapi wajar, bukan menakutkan,” kata Toety.
Toety mencoba menggugah:
”Apakah Anda tahu apa artinya menjadi janda, apa artinya menjadi tua, coba saja, bila ditanyakan – siapa yang becus menjawabnya.”
Goenawan Mohamad pun tak ketinggalan menghidupkan kembali Calon Arang. Kali ini dari kacamata rakyat jelata. The King’s Witch, judul naskah opera itu, menyajikan sikap yang simpatik terhadap Calon Arang sebagai korban kekuasaan dalam dikotomi pusat dan pinggiran. Liriknya demikian sugestif melukiskan amarah yang membakar Dirah hingga akhir hayatnya:
The brushwood is vanishing in flame I hear the rush of horse’s hooves in great haste Like a fire running in the fields The odor of scorched grain Will end the night Manjali, I remember your hate
Naskah The King’s Witch semula dimuat di antologi sastra Asia Pasifik Manoa. Dipentaskan oleh Makiko Narumi (alto), Bo Chang (mezosopran), dan Michael Smallwood (tenor) di Alice Tully Hall, Lincoln Center, New York, pada musim gugur tahun 2000. Komposisi musiknya digubah Tony Prabowo, sementara- para pemain musiknya berasal dari orkestra New Julliard Ensemble, pimpinan konduktor Joel Sachs. Harian The New York Times membubuhkan pujian atas kolaborasi lintas budaya ini.
Komentar Toety saat membicarakan naskah opera karya kawan baiknya ini. ”Mengapa Goenawan memakai The King’s Witch, mengapa bukan The Witch’s King?” Toety bertanya.
Pada abad ke-21 ini, banyak ragam interpretasi Calon Arang membuat Ni Rangda hidup abadi.
Seno Joko Suyono dan Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo