Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
Pentas wayang kulit itu di kuburan di ping-gir-an Kota Denpasar. Ini tidak lazim. Memang, wayang kulit ini mengambil lakon Calon Arang, sebuah kisah pada zaman Ke-rajaan Kediri abad ke-11. Pentas di kuburan dimaksudkan untuk lebih mendekatkan kepada lakon aslinya, juga sebagai pertanda bahwa lakon ini tak bisa dipentaskan sembarangan. Penonton cukup banyak untuk ukuran penggemar wayang kulit Bali, yang sedang jauh merosot.
Menjelang tengah malam, saat tokoh Calon Arang muncul, penonton bertambah banyak. Suara dalang sudah mulai meninggi dan menantang siapa saja yang bisa nge-leak (menjadi leak) untuk adu kesaktian. Dalam kelir terlihat adegan Calon Arang menantang Mpu Baradah. Inilah puncak cerita. Calon Arang, yang di Bali diyakini sebagai ibu dari segala jenis- leak, mengundang murid-muridnya untuk menye-rang Mpu Baradah. Meski dalam adegan pada kelir itu hanya terlihat Mpu Baradah yang mirip kesatria Pandawa, menantang Calon Arang yang mirip raksasa perempuan, tetapi penonton maklum ini saatnya Ki Dalang beradu sakti melawan leak yang datang ke pementasan itu. Siapa yang kalah akan celaka, apa-kah itu ki dalang atau leak.
Tetapi, sudah setengah jam adegan mengundang leak itu berlangsung, tak ada tanda-tanda ”adu ke-saktian” antara dalang dan leak. Penonton pun tidak ketakutan, malah saling berceloteh untuk menunjuk-kan ketidakpuasannya. Satu per satu penonton hilang- dan pentas itu ditinggalkan. Tak ada leak, tak ada pertarungan, tak ada pemenang dan pecundang, sampai pertunjukan bubar.
Ini adalah salah satu pemanggungan ”wayang leak” untuk menyebut kata lain dari ”wayang Calon Arang”. Dan pertunjukan ini adalah rangkaian dari Festival Wayang Calon Arang se-Provinsi Bali, yang digelar tahun 2002. Setelah itu, tak ada lagi terde-ngar pementasan wayang kulit Calon Arang di -seantero Bali.
Situasi ini sungguh beda dengan, katakanlah, 30 tahun yang silam. Ketika itu, jika ada pementasan wayang kulit Calon Arang, penonton berjubel, dan pertunjukan berakhir menjelang dini hari. Penonton takut pulang sebelum hari benar-benar pagi karena- akan menjumpai leak-leak yang kalah. Kalau direkonstruksi, suasananya kira-kira seperti ini:
Pementasan tidak perlu di kuburan, cukup di per-empatan desa, yang dalam kepercayaan Hindu- di Bali adalah juga ”tempat keramat”. Dalang meng-gelar lakon Calon Arang, yang tentu saja sesuai- de-ngan- teks cerita yang ada di Bali. Dimulai dari Keraja-an Kediri dengan Raja Airlangga yang gelisah karena banyak rakyatnya mati secara mendadak akibat perbuatan jahat Calon Arang dan murid-muridnya. Cerita runtut sampai ditemukannya Mpu Baradah yang punya akal untuk menaklukkan janda dari Dirah ini. Mpu Baradah meminta salah satu muridnya (beberapa dalang sering kali menyebut anaknya), Mpu Bahula, untuk mengawini putri Calon Arang, yakni Ratna Manggali. Ketika tinggal serumah itulah, Mpu Ba-hula atas bantuan Ratna Manggali mencuri kitab yang dipakai Calon Arang untuk menebar maut, dan kitab itu diperlihatkan ke Mpu Baradah. Setelah dipelajari, Mpu Baradah pun tahu bagaimana menangkal- ilmu jahat Calon Arang, karena dalam kitab itu sendiri sudah ada jawabannya. Nah, setelah itu, baru Mpu Baradah menantang Calon Arang.
Ini yang ditunggu penonton. Mpu Baradah menantang- Calon Arang untuk mengerahkan seluruh murid-nya. Jika dalang itu memang sakti dan punya nyali—dan biasanya memang mempelajari ilmu peng-leakan yang ada dalam lontar kuno—tanda-tanda bahwa ia menang adalah pementasan berlangsung terus. Lalu, muncul di kelir wayang-wayang yang menggambarkan wanita dengan pakaian dan wujud aneh. Itu adalah visualisasi dari leak yang datang. Ki dalang lalu secara lantang menyebutkan siapa nama wayang leak itu. Bukan lagi bernama Larung, Lende, Weksira, Guyang, dan sebagainya seperti dalam naskah asli Calon Arang, tetapi nama-nama penduduk sebenar-nya yang ada di kawasan pementasan itu. Se-belum menyebutkan nama, sang dalang mengucap-kan kata-kata, tentu dalam bahasa Bali, yang kurang-lebih terjemahannya; ”Saya minta maaf kalau nama-nama wayang leak berikut ini punya kemiripan dengan nama-nama penduduk di sekitar-, ini hanya kebetulan saja.” Penonton tahu bahwa itu cuma basa-basi, dan di situlah penonton bisa terce-ngang- jika nama yang disebut sang dalang adalah tetangganya atau orang yang dikenalnya. Apalagi jika wanita itu populer.
Pertarungan sengit antara Mpu Baradah dan Calon Arang, visualisasinya ada di kelir, namun beberapa penonton konon ada yang melihat api menyambar -kelir, atau api melesat di langit. Pada saat seperti ini tak ada penonton yang berani pulang dari tempat per-tun-jukan, karena bisa saja menemukan leak di jalan-an- atau wanita yang meraung-raung di bawah pohon—ini simbol leak yang kalah oleh kesaktian Ki Dalang.
Jika Ki Dalang yang kalah, ia bisa langsung muntah-muntah dan tidak meneruskan pementasan. Tanda lainnya adalah lampu blencong memudar dan kemudian mati dengan sendirinya, meski pembantu dalang telah mengguyurnya dengan minyak. Esok harinya, orang akan mencari tahu apakah dalang itu sakit atau tidak.
Bali telah berubah. Suasana dengan setting 1970-an itu—semakin ke bawah semakin menyeramkan—sudah tak ada lagi sekarang ini. Wayang Calon Arang sudah mulai jarang. Apa menariknya lagi kisah Calon Arang kalau tidak ada hal-hal yang menyeramkan? Sebaliknya, bagaimana menghadirkan suasana seram- kalau pedesaan Bali sudah terang-benderang oleh listrik, tempat angker seperti kuburan sudah me-nyerupai taman, dan—ini yang utama—pendidik-an umum dan pendidikan agama sudah meningkat sehingga seseorang tak merasa berguna lagi mempelajari ”ilmu leak”, apakah itu warisan ilmu dari Calon Arang atau ilmu asli orang Bali masa lalu.
Dalam cerita Calon Arang, baik yang berbentuk prosa maupun puisi (di Bali disebut geguritan) yang semuanya masih menggunakan bahasa Kawi (Jawa Kuno), sama sekali tak dijelaskan apa kitab yang dibaca Calon Arang ke kuburan untuk memuja Dewi Durga sebelum melaksanakan niat jahatnya. Dalam versi prosa ada kalimat samar-samar yang berbunyi-: Calon Arang, yan mangayunaken sore, gumangsal ikang lipyakara. Uwus pwa ya nggangsal ikang patra, saksana wiyang ta ya pareng sema (Calon Arang, jika menjelang malam hari, mengambil lipyakara-nya. Setelah pustaka itu diambil, ia segera pergi menuju ke kuburan). Apakah lipyakara ini nama kitab?
Namun, di Bali, ilmu untuk mempelajari leak ada dalam bentuk lontar (sastra dalam huruf Bali yang ditulis di daun lontar). Setidaknya ada empat lontar yang mengajarkan ilmu leak, yaitu lontar cambrabag, lontar sampaian emas, lontar tang ting mas, dan lontar jung biru. Tidak jelas dari mana asal-usul ilmu ini dan juga tak disebutkan siapa penyusun lontar ini. Kemiripan dengan kisah Calon Arang adalah, ilmu dalam lontar ini bisa berfungsi ganda, diambil unsur negatifnya bisa untuk mencelakakan orang, diambil unsur positifnya bisa untuk menyembuhkan orang—dalam kaitan ini disebut ruwat. Dalam kisah Calon Arang, Mpu Baradah meruwat Calon Arang dan orang-orang sakit dengan menggunakan mantram yang ada dalam kitab milik Calon Arang itu.
Selain mempelajari lontar tadi untuk bisa menjadi leak, ada dua lagi caranya. Pertama adalah belajar langsung ke balian (sejenis dukun) yang memang tergolong leak senior. Yang kedua belajar secara tidak langsung (atau malah tanpa disadari) dari ibu kandung yang bisa menjadi leak. Konon, ketika sang ibu ini meninggal, kalau anak wanitanya sembrono dalam melakukan ritual pemandian mayat ibunya, ilmu leak sang ibu langsung masuk ke tubuh wanita- tadi. Nah, sekarang tergantung sang anak, apakah sebagai leak yunior ia akan meneruskan profesi ibunya atau langsung minta di-ruwat pendeta Hindu.
Masalahnya sudah jelas, siapakah wanita Bali (leak itu sebagian besar ilmu untuk wanita) di era saat ini yang mau-maunya belajar ilmu leak? Yang membaca lontar ilmu leak itu pun mungkin hanya para pendeta Hindu, dan itu untuk kepentingan pengobatan atau ruwat karena seorang pendeta menjalankan ”ilmu putih” dan bukan untuk mencelakakan orang atau ”ilmu hitam”.
Dalam kondisi seperti inilah, sekarang lakon Calon Arang menjadi ”tidak laku” di Bali sebagai seni pertunjukan. Ini bisa menjelaskan kenapa wayang kulit Calon Arang berkurang adanya. Festival Wayang Kulit Calon Arang, yang diselenggarakan pemerintah, tadinya bermaksud mewariskan kisah Calon Arang untuk memperkaya lakon wayang kulit Bali, supaya tidak terpaku pada kisah Mahabharata dan Ramayana saja. Sayangnya, penonton berharap ada sesuatu yang terjadi, yakni ”perang leak” sebagaimana pada masa silam. Ternyata pertunjukan didominasi nasihat Mpu Baradah kepada Calon Arang, dan kemudian nasihat Mpu Baradah kepada Raja Airlangga, yang lebih banyak menampilkan filsafat Hindu.
Bagaimana lakon Calon Arang di luar wayang kulit? Di Desa Kerambitan, Kabupaten Tabanan, muncul teater tradisional yang disebut Tektekan Calon Arang. Kata tektekan mengacu kepada seni tabuh dari bambu yang bunyinya dominan: tek..tek..tek… Masih di Kabupaten Tabanan, di Desa Penebel, ada Okokan Calon Arang. Okokan adalah lonceng kayu yang dikalungkan pada sapi, dan itu dijadikan musik pengiring. Namun kedua jenis Calon Arang ini tidak menuturkan kisah Calon Arang secara utuh. Yang digelar hanyalah sebuah desa yang kena musibah penyakit yang disebabkan oleh perbuatan jahat ”orang sakti” dengan menebar ilmu leak, lalu penduduk memberanikan diri memerangi ”orang sakti” itu. Untuk visualisasi ”orang sakti” digunakan rangda (nama ini berarti janda dalam bahasa Kawi sehingga orang selalu menghubungkan dengan Calon Arang). Pertarungan tak ada kalah dan menang karena meng-acu kepada konsep Hindu yaitu rwa-bhineda, baik dan buruk selalu ada dalam setiap zaman. Ada kalanya pementasan ini ditutup dengan menampilkan barong sebagai simbol dari ”kaum yang baik”. Tokoh Calon Arang sama sekali tak disebut-sebut, termasuk Mpu Baradah, Mpu Bahula, maupun Ratna Manggali.
Sardono W. Kusumo, terinspirasi dari Tektekan Calon Arang, juga pernah menggarap tari dengan tajuk Dongeng dari Dirah. Yang dimunculkan episode Calon Arang yang menghidupkan mayat, namun- mayat itu dibunuh kembali untuk mendapatkan darah dan ususnya. Tentu saja ini kreasi baru yang sulit untuk menerangkan bahwa lakon itu adalah kisah Calon Arang yang utuh, apalagi Sardono tak me-nyebut tokohnya itu Calon Arang.
Kata Calon Arang di Bali lebih dipakai sebagai simbol dari tari yang menampilkan rangda dan ba-rong, meskipun itu sama sekali tidak menceritakan hikayat Calon Arang pada zaman Kerajaan Kediri. Kalau ada pementasan seni, lalu muncul rangda, orang biasanya menyebut pementasan itu sudah nyalonarang. Runtut-an setelah itu adalah beberapa penari trance dan menusuk dirinya dengan keris.
Kata calonarang (nyalonarang) populer di Bali, tetapi bukan kisah Calon Arang itu sendiri. Terbukti, teks Calon Arang, baik yang berbentuk prosa maupun puisi (geguritan), tak ada yang diterjemahkan dalam bahasa Bali sehingga hampir tak ada penggemar seni bebasan (semacam grup kidung yang ber-tebaran di Bali) yang mengambil hikayat ini untuk ditembangkan. Boleh jadi pula, dalam perjalanannya, orang Bali masa kini sangat alergi mendengar kata leak, apalagi kalau disebut punya leluhur yang bisa ngeleak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo