Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tafsir Calon Arang Telah Bergeser

12 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

I Made Suastika dalam penelitiannya menemukan- teks Calon Arang punya setidaknya 30 versi. Tiap versi memiliki beberapa variasi. Satu di antara teks itu berbentuk prosa bertarikh 1540 Masehi. Suastika menemukannya di Museum Leiden, Belanda. Teks yang dibuat di Puri Cakranegara, Lombok, itu dilarikan pemerintah kolonial pada sekitar 1888.

Ada yang unik dalam naskah itu. Naskah Calon Arang lain lebih menekankan aspek magis atau ilmu pengiwa, seperti teluh dan pengleakan. Sedang-kan naskah tua itu lebih mengungkap praktek kedarma-an dan moksa atau ilmu penengen. ”Jadi, selain- pengiwa juga ada penengen,” kata Suastika, 49 -tahun, menjelaskan.

Kepada Rofiqi Hasan dari Tempo, dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali, itu berbicara tentang naskah tua tersebut dan berbagai versi teks Calon Arang.

Apa perbedaan yang prinsip antara naskah tua itu dan naskah Calon Arang lain?

Dalam teks kuno itu dikisahkan, Calon Arang disarankan untuk mencapai moks-a de-ngan mempelajari darma. Untuk itu, ia harus menyucikan diri karena telah mem-bunuh dan meneluh. Syaratnya, ia harus mati dulu kemudian dihidupkan kembali. Setelah itu, barulah ia mendapat darma. Tapi, karena merasa memiliki ke-saktian, Calon Arang menolak-. Setelah melalui pertarungan, Calon Arang akhir-nya bi-sa- dikalahkan Mpu Baradah. Ia mati. Setelah itu, ia dihidupkan kembali, dan kemudian mempelajari darma.

Nah, dalam naskah-naskah yang ada sebelumnya-, kisah Calon Arang hidup kembali itu tidak ada. -Pada-hal kalau ceritanya sesuai dengan naskah tua itu, maka konsepnya seperti ngaben (upacara bakar jenazah) di Bali: orang dimatikan dulu, lalu dibuatkan pratima (simbol roh yang disucikan), setelah itu ia berusaha mencapai tahapan-tahapan hingga pencapaian tertinggi (moksa).

Mengapa terjadi pergeseran tafsir teks itu?

Sepertinya ada perubahan orientasi di masa lalu. Saat Kerajaan Gelgel, zaman keemasan sastra Bali dengan lahirnya kidung dan kakawin Bali, antara- teks asli tua itu dan sejumlah tafsir tampak masih- sangat dekat. Itu seperti terlihat pada wayang-wayang- klasik yang tersimpan di Museum Gunarsa. Tapi setelah itu berubah, cenderung hanya aspek magis dan keangkeran, aspek darma makin ditinggalkan. Apalagi, dalam pewayangan, aspek darma tidak muncul. Itu terjadi karena ada suatu masa ketika masyarakat cenderung dominan mempelajari ilmu pengiwa, sehingga aspek penengen diabaikan dalam cerita ini.

Benarkah teks itu merupakan catatan sejarah dari kejadian nyata?

Dari teks tidak ada penjelasan seperti itu. Tapi ada fakta tertentu dalam teks, misalnya mengenai Raja Airlangga dan silsilah serta keluarganya, mengenai- pusat kerajaan, Pura Tirta Empul, tentang Mpu -Baradah di Bali dan saudaranya, Empu Kuturan. Juga pembagian kerajaan. Fakta historis itu sebagian di-buktikan prasasti dan berbagai tradisi yang masih ada saat ini. Misalnya, tradisi ruwatan. Dalam teks disebutkan Baradah meruwat murid-muridnya.

Bagaimana dengan keberadaan rangda dan barong yang menjadi simbol kejahatan dan kebaikan dalam pementasan Calon Arang?

Mungkin ada persinggungan, meskipun dalam teks tidak ada penjelasan. Dalam teks sendiri tidak ada penjelasan mengenai fungsi teks itu. Teks hanya berisi dialog dan adegan yang tumpang-tindih, serta makna yang ada di balik itu. Tapi tidak ada ketegasan mengenai fungsinya.

Apakah ada teks khusus yang menjadi dasar pementasan sebuah dramatari?

Tidak ada. Kalau dramatari tergantung kreativitas- sutradara. Misalnya, kenapa dalam pementasan le-bih ke madususan (penyiapan mayat), itu adalah perkembangan di lapangan.

Ada yang percaya, teks ini ada kaitannya dengan sekte Tantri di Bali?

Memang ada mazhab tertentu di Bali, pada zaman Bali Kuno seperti terlihat prasastinya di Pura Kebo Edan, ada kepercayaan Siwa Tantri itu bagian dari kepercayaan Bali Kuno. Ciri-ciri tradisi Tantri, antara lain, persembahyangan di kuburan, pemujaan terhadap Durga, tari-an dengan kerudung, gerakan tari ngijigngijig (berdiri di atas jari kaki), nengkleng (kaku), jalan ke belakang dan ke samping dengan gerakan tangan ke dalam, dengan rambut terurai.

Kaitannya dengan Calon Arang, mungkin ada per-sentuhan di mana Calon Arang bisa dianggap tepat sebagai tokoh. Tapi kalau dilihat dari segi teksnya, dengan melihat teks yang tertua itu baru ada pada abad ke-16, sedangkan dalam kepercayaan sebelumnya sudah ada pada abad ke-9. Jadi kaitan secara teks sangat jauh. Mungkin ada kesinambungan sejarah, yang tidak tampak dalam sejumlah tradisi lain di Bali.

Bagaimana dengan dugaan bahwa Calon Arang se-ngaja dikembangkan pengikut Tantri sebagai strategi untuk bertahan sehingga cenderung ke pengiwa?

Untuk membuktikan itu, dibutuhkan kajian tersendiri. Tapi sebagai proses historis mungkin saja bisa disebut pergulatan. Dalam kenyataan memang semua warisan sejarah tidak murni. Misalnya, agama Hindu di Bali. Dalam kenyataan, ada juga unsur Tantri dari zaman Bali Kuno, meski sekte Tantri itu sen-diri sudah tidak ada pengikutnya.

Dalam proses itu akan selalu ada asimilasi dan akulturasi. Situasi di lapangan selalu begitu, unsur lama pasti akan selalu ada yang bertahan. Sekarang yang lebih besar adalah ajaran Syiwa Sidanta. Pe-muja Durga sudah tidak ada, tapi masih ada warnanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus