Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Norak tapi wajar

Dengan rekaman pertamanya, pancaran sinar petromaks ingin membendung perkembangan dangdut, tapi hasilnya justru diterima kelas gedongan. disela-sela lagu di selingi banyolan menyebabkan kaset ini laku. (ms)

12 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA senang mereka bikin yang baru. Lihatlah lagu My Bonie dan Kidung yang didangdutkan," kata Tony Koeswoyo memuji rekaman pertama Pancaran Sinar Petromak (PSP). Ia tentu aja tidak merasakan dangdut mahasiswa FIS-UI punya sifat ejekan terhadap dangdut sendiri. Sebaliknya Yessy Wenas, supervisor di perusahaan perekaman Yukawi, menganggap dengan rekaman itu sebenarnya PSP ingin "membendung perkembangan dangdut". "Namun hasilnya justru kebalikannya. Tadinya niatnya mempermainkan, tapi mereka lupa kondisi pihak yang menerima," kata Yessy. Ia melihat kemudian dangdut diterima kelas gedongan, sebaliknya dari niat PSP. "Namun jenis dangdut yang kita lempar masih tetap perkembangan dari yang semula, bukan dari yang PSP." Dangdut PSP yang menyebut dirinya "Orkes Moral" itu, memang berbeda. Di dalamnya terkandung sembilan lagu. Sela-sela antara lagu diisi banyolan dan selentingan. Di dalam rekaman terakhir The Beatles yang bernama Let It Be --memang sudah ada percakapan yang tidak menyembunyikan proses perekaman. Sesudah itu banyak grup meniru cakap-cakap santai itu. Tapi PSP lebih ngobral lagi. Sampai akhir muka pertama, usai lagu My Bonie langsung dibisikkan: "Kasetnya balik, pindah side B!" Barangkali benar kata orang: kaset ini dibeli, didengar, karena banyolannya, bukan musiknya. Kwalitas musiknya masih amat sederhana, meski jelas membayangkan bakat Rizali yang mengarang lagu-lagu PSP sekaligus jadi vokalis utama. Misalnya lagu Ogab Ah yang berhasil menghanyutkan menurut takaran dangdut -- yang kemudian dinyanyikan juga oleh Elvy Sukaesih. Sementara pada Kidung dan My Bonie, di mana Rizali sempat meniru suara Louis Amstrong -- disusul melodi yang mengingatkan pada lagu anak-anak madrasah jelas terasa bakat. "PSP sebenarnya tidak mengutamakan dangdut -- hanya mengarah ke dangdut. Itupun bukan murni dangdut," kata Monos yang pegang gitar dan menyanyikan lagu Ogab Ah. Ia mengaku lebih banyak membawa misi Universitas, khususnya Fakultas. Untuk menampakkan hal tersebutlah rupanya dipasang lagu Gaya Mahasiswa pada muka B yang lucu tentang mahasiswa yang datang ke kampus dengan buku tebal-tebal bergaya profesor, tapi akhirnya nongkrong di kantin. PSP, yang kebetulan lahir waktu para mahasiswa UI menjaga kampus dalam masa "mogok kuliah", beranggota 8 orang. Rizali (Hubungan Internasional tingkat V), Monos (tingkat IV, Kriminologi), Ade (Sosiologi pra yudisium), Dindin (Administrasi Niaga tingkat IV), Omen (Administrasi Niaga tingkat III), Indra (Kriminologi tingkat IV) dan Aditya (Hubungan Internasional tingkat III). Sebetulnya Nanu dan Kasino dari Warung Kopi Prambors ikut andil juga di dalam pembentukannya. Tapi karena kedua badut ini telah berlindung di bawah PT Prambors, mereka hanya dianggap pemain tamu. PSP sendiri ingin tetap berkiblat pada kampus. Kepercayaan mulai timbul setelah grup ini jadi pemenang pertama Festival Dangdut Kampus 1978 yang diprakarsai Fakultas Teknik UI. Sejak itu PSP mulai "riset" ke kampung-kampung untuk mengetahui bagaimana gerangan dangdut yang sebenarnya. Mula-mula disertai perasaan malu. Tapi akhirnya mereka dengan pasrah ikut mencoba kebiasaan musisi dangdut asli. Antara lain pakai kaca mata, dasi kupu-kupu, dan gaya. "Yang penting norak tapi wajar," kata Dindin, ketua PSP. Banyak Kekurangan "Banyak yang beranggapan dangdut itu musik yang gampang. Asal iramanya sudah mirip, sudah dangdut. Membawakan musik yang murni dangdut adalah lebih sukar dari musik lainnya," kata Rizali. Ia sendiri terus terang dalam menciptakan lagu selalu berkonsultasi pada pencipta dangdut yang lebih berpengalaman. "Salah satu tujuan PSP adalah mengusahakan agar dangdut diterima golongan atas," ujar Rizali akhirnya. Setelah muncul di TVRI, namanya melejit. Sampai sekarang mereka sudah tampil dalam tak kurang dari 100 pertunjukan. Mulai yang hanya dibayar dengan senyuman sampai yang dengan duit beneran di Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon. Semarang, Surabaya, Malang, Palembang, dan sebentar lagi Lampung. Bulan April yang lalu saja tak kurang 8 kali mereka tampil, termasuk dalam final lomba lawak wanita di TIM. "Yang menarik dari PSP mungkin ulahnya yang unik," kata Omen, mencoba menilai grupnya. Ia mengakui suara dan musik PSP masih banyak kekurangannya. Ini dibenarkan juga oleh beberapa pencintanya yang sering melihat ketidakkompakan dalam instrumen dan vokal kalau PSP muncul di depan penonton. "Tetapi selama PSP dapat membawakan ulah yang menarik, yaitu norak tapi wajar, PSP akan tetap disenangi," kata James si pemain bas membela diri. Namun Nanu dari Prambors berbicara tentang perkembangan. Yakni: ia tidak melihat, atau lebih jelas lagi, ia menyayangkan PSP tidak memiliki kreasi baru dalam penampilan. Baginya itu berbahaya: penonton bisa bosan dengan gaya yang itu-itu juga. Seorang penggemar PSP di TIM juga mengatakan, grup yang dicintainya itu mungkin juga tidak akan bertahan lama, karena terlalu monoton dalam membawakan acara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus