RASA haru seperti mencubit-cubit perasaan para artis dan penggemar musik pop, ketika suasana nostalgia hadir di Gedung Kesenian Jakarta, Minggu pekan lalu. Saat itu Twilight Orchestra pimpinan Adi M.S. melantunkan beberapa lagu lama, Manis dan Sayang, Hidup yang Sepi, dan Kembali ke Jakarta. Tak pelak lagi, itulah lagu-lagu yang pada tahun 1960-an sangat populer. Para penggemarnya ketika itu anak-anak muda yang kini rata-rata sudah berusia setengah abad. Penyanyinya tiada lain kelompok musik pop Koes Bersaudara, yang belakangan berganti nama menjadi Koes Plus. Bisa dibilang kelompok ini adalah tonggak pertama perkembangan musik pop Indonesia. Pada malam akhir Agustus lalu itu, Yon Koeswoyo dan Murry -- bekas pengocok gitar ritme dan penggebrak drum Koes Plus -- memang menjadi salah satu bintang. Mereka mewakili grupnya menerima BASF Legend, sebagai kelompok legendaris dalam 25 tahun terakhir. Penghargaan jenis ini untuk pertama kalinya diberikan sejak BASF Award mentradisi pada tahun 1985. Dua penghargaan sekaligus, sebagai penyanyi rekaman terbaik dan terlaris untuk kategori top pop, diterima Ruth Sahanaya lewat Kaulah Segalanya. Dengan lagu ciptaan Tio Soemarsono ini pula, yang juga menggondol komposisi terbaik dan lagu rekaman terbaik, Ruth meraih penghargaan tertinggi dalam Midnight Sun Song Festival, Juli lalu, di Finlandia. Pengharga an untuk kategori terlaris diterima Basofi Sudirman dalam album Tidak Semua Laki-Laki (dangdut), Gong 2000 (Bara Timur, rock), Slank (Mawar Merah, pop rock), Ati Adiyati (Makin Gila, disko), Swami (Hio, pop eksperimen), Melissa (Si Komo, pop anak-anak), Kla Project (Tak Bisa ke Lain Hati, pop kontemporer), dan Youngky M. Suwarno sebagai penata musik terbaik dalam Cintamu Telah Berlalu. Seperti lagu lama lainnya, lagu Koes Plus masih dikenang oleh banyak orang. Bukan saja karena belakangan ini Cintamu Telah Berlalu, misalnya, dinyanyikan kembali oleh Chrisye, atau Hidup yang Sepi dinyanyikan lagi oleh Ratih Purwasih, tapi memang beberapa di antaranya, seperti Kolam Susu, masih lekat di ingatan banyak orang: Bukan lautan, hanya kolam susu/ Kail dan jala cukup menghidupimu. Yon Koeswoyo sendiri terharu ketika main di restoran News Cafe, Jakarta Selatan, bulan Juni lalu. "Ketika kami membawakan lagu-lagu lama, semua hadirin ikut menyanyi. Saya heran, kok mereka masih hafal. Bahkan ada anak umur 16 tahun hafal lagu Hidup yang Sepi. Padahal anak itu lahir jauh sebelum lagu itu populer," ujar Yon, yang kini berusia sekitar 48 tahun. Itulah satu dari tiga kali penampilan langka Koes Plus pada tahun 1992 ini. Selama 10 tahun terakhir ini mereka absen dan hanya menelurkan enam album: tiga pop, dua dangdut, satu pop Jawa. Padahal sebelumnya (1974-1980) mereka menikmati zaman keemasan, dan sempat menerima Rp 7,5 juta dari studio perekam Remaco. Untuk ukuran waktu itu, dengan nilai kurs rupiah yang cukup tinggi, rezeki itu memang luar biasa. Bandingkan dengan harga satu mobil sedan Toyota Corolla baru yang ketika itu hanya seharga Rp 4 juta. Menurut Yon, ada dua hal yang menunjang popularitas grupnya. Selain teknologi kaset menggantikan piringan hitam, televisi sangat membantu. Ketika itu ada acara Mana Suka Siaran Niaga yang mempromosikan kaset baru. Bagi pengamat musik seperti Sukahardjana, generasi pertama kelompok musik pop Indonesia yang ngetop pada tahun 1970-an ini sejak semula selalu konsisten mempertahankan keyakinan dalam musik pop. "Mereka konsisten dalam lirik dan dinamik. Ide atau pengaruh bisa datang dari mana saja, tapi datang ilham mereka konsisten dengan gaya sendiri," katanya kepada Allamadawati S. dari TEMPO. Kelompok ini didirikan oleh Tony Koeswoyo pada tahun 1951, mula-mula bernama Teenager's Voice, lalu Irama Remaja, terdiri dari Tony Koeswoyo dan ketiga adiknya: Nomo, Yon, dan Jok. Setelah itu, ganti nama menjadi Koes & Bros, kemudian pada tahun 1962 menjadi Koes Bersaudara. Setelah Tony absen, antara lain karena sakit (ia meninggal pada tahun 1987), Murry masuk dan kelompok ini pun menjadi Koes Plus. Sejak semula mereka ingin meniru gaya Everly Brothers dan Bee Gees. Tapi, Bung Karno, yang saat itu lagi galak anti-Barat, kontan mengganyang lagu-lagu Koes Bersaudara yang digolongkan musik "ngak-ngik-ngok" itu. Bahkan Tony dan adik-adiknya pada 1965 sempat mendekam tiga bulan di penjara Glodok dan baru keluar pada awal kebangkitan Orde Baru. Kini mereka berwiraswasta, tak lagi main musik. Yon jual-beli rumah, sedangkan Yok (bekas pemetik bas itu) dan Murry jual-beli mobil. Rata-rata mereka sudah menjadi kakek. Semula semua anak-cucu Koeswoyo, plus Murry, tinggal di kompleks Koes Plus di Jalan Haji Nawi, Jakarta Selatan. Tapi kini hanya keluarga Yok dan beberapa kemenakan yang masih bertahan di sana, menemani ayah dan kakek mereka, Koeswoyo. Penghargaan BASF ini barangkali bisa menghibur sang kakek. Budiman S. Hartoyo dan Ivan M. Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini