BIASANYA, hanya kegalauan perang atau bencana alam yang bisa memaksa orang untuk mengungsi. Tapi kali ini, aliran listrik tegangan tinggi juga mampu mendikte penduduk supaya angkat kaki. Dan hal ini cukup menghebohkan. Terjadi akhir Agustus lalu, ketika 500 warga Desa Singosari, Kecamatan Gresik, Jawa Timur, ramai-ramai menghindar dari kabel-kabel listrik yang merentang 30 meter saja dari rumah mereka. Hingga laporan ini dibuat, warga Singosari memilih hidup di bawah tenda pengungsian. Tenda itu ditegakkan pada jarak beberapa ratus meter dari kediaman semula. Mereka harus berdesak-desakan di bawah lima tenda -- tiga sumbangan Komando Resort Militer (Korem) Bhaskara Jaya, dua lainnya milik penduduk. Sejak mengungsi, sekitar 80 anak balita dilaporkan jatuh sakit. Menurut tim kesehatan yang dikirim Pemda Gresik, hal itu tak ada kaitannya dengan listrik. Lalu, petugas Pemda mencoba menasihati mereka, agar kembali ke rumah masing-masing. Tapi para pengungsi enggan. Pengalaman bermukim di kawasan yang tak jauh dari menara listrik sungguh mencekam dan menakutkan mereka. Apalagi kawat listrik tersebut dipasang di ketinggian 28 meter saja di atas tanah. Lewat jaringan distribusi itulah, sejak 21 Agustus lalu Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengalirkan listrik bertegangan 500 Kilo Volt (KV) -- bisa disebut saluran udara tegangan ekstra tinggi (Sutet). Penduduk yakin bahwa dari bentangan kabel tersebut menjalar sengatan listrik. Apalagi rumah-rumah mereka umumnya beratap seng, sehingga mudah terkena induksi listrik. Akibatnya, penduduk mengalami gangguan kesehatan yang ganjil. Nyonya Masduki, 38 tahun, mengaku kesemutan dan tak bisa tidur. "Pagipagi kepala saya pusing, kepanasan, dan lelah," katanya. Gejala serupa ditambah rasa mual menimpa penduduk lainnya. Jika manusia mual dan kesemutan, binatang bersayap tak sanggup bertahan. "Beo dan burung branjangan saya, mati mendadak," kata Agus Harianto. Penduduk pun mencurigai kabel-kabel listrik itu. Mereka semakin yakin ketika tespen yang ditempelkan ke atap rumah menyala. "Neon berkekuatan 40 watt/220 volt pun bisa menyala tanpa kabel," tutur Agus Harianto, yang berkali-kali membuktikan "keajaiban" itu pada tamu yang datang. Maka, Singosari, menjadi pembicaraan di Gresik, bahkan seantero Jawa Timur. Apalagi setelah warganya ramai-ramai berkemah. Tak kurang anggota DPRD Ja-Tim turun ke lokasi. Sudah lama warga Singosari berusaha mencegah proyek PLN itu. September 1991 -- jauh sebelum listrik mengalir -- mereka minta tolong pada Lembaga Bantuan Hukum Surabaya. Bersama LBH pula, Januari 1992, wakil-wakil warga datang ke Jakarta mengadu ke Departemen Kesehatan, Departemen Pertambangan, Departemen Dalam Negeri, dan DPR. Tak lama kemudian mereka mendapat surat dari Departemen Kesehatan, yang antara lain menyarankan agar penduduk segera pindah untuk menghindari pengaruh medan elektromagnetik yang bisa menimbulkan penyakit kanker darah. Berbekal surat itulah, mereka memperjuangkan lingkungan hidup dan rumah yang aman. Namun, PLN tidak menggubris. Perusahaan negara ini terus membangun proyeknya sampai rampung. Beberapa waktu lalu, sebuah tim dari PLN dan beberapa ahli radiologi dari Rumah Sakit dr. Soetomo turun ke lokasi untuk membuktikan bahwa Singosari masih aman untuk didiami. "Tegangan listrik di sana masih berada di bawah ambang batas, hanya 0,25 KVa. Sedangkan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ambang batas itu adalah 10 KVa per meter," ujar Haruna Rasyid, Kepala Dinas Hubungan Masyarakat dan Protokol PLN Pusat, sehabis berkunjung ke Singosari. Yang tidak dikatakan Haruna ialah, bahwa studi Penyajian Informasi Lingkungan (PIL) dari proyek tegangan tinggi di Singosari itu, belum disetujui komisi AMDAL Pusat. Padahal, prosedur ini harus dipenuhi dulu, baru proyek PLN itu bisa dioperasikan. Tentang dampaknya pada kesehatan, dr. Benny Huwae, kardiolog dari RSUD, bersikap mendua. "Masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa mual dan pusing terjadi karena pengaruh negatif induksi elektromagnetik. Stres yang mereka alami itulah yang menyebabkan mereka sakit-sakitan," katanya. Tapi, ia setuju bila penduduk mengungsi. Menurut Benny, lambat laun induksi elektromagnetik akan mengacau kerja organorgan tubuh manusia. Prof. Josef Glinka mengajukan dua alternatif. "Penduduk Singosari yang harus pindah atau aliran listrik dihentikan," kata, ahli geopatologi (ilmu mengenai pengaruh bumi terhadap makhluk hidup) asal Polandia, yang kini mengajar di Universitas Airlangga, Surabaya. Ditambahkannya, radiasi elektromagnetik bisa mengakibatkan pegal-pegal, pusing, bahkan lamalama orang bisa terserang rematik. Tawaran untuk pindah pernah dikemukakan oleh Bupati Gresik, Djuhansyah. Namun, dalam dialog akhir Agustus silam -- juga dihadiri petugas PLN -- warga menuntut ganti rugi Rp 40.000-Rp 75.000 untuk tiap meter persegi tanah. Tuntutan ini ditolak PLN. 1-1,9,14. Entah siapa yang akan menang. Yang pasti, bukan baru sekali ini PLN meresahkan penduduk. Juli tahun lalu, lebih dari 200 penghuni perumahan Cileduk Indah, Tangerang, juga pernah "dihantui" oleh aliran listrik bertegangan 500 KV yang merentang sekitar seratus meter dari kompleks rumah mereka. Namun, sampai hari ini mereka masih bermukim di sana. Priyono B. Sumbogo, Kelik M. Nugroho, K. Chandra Negara, dan Iwan Q.H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini