Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Film bertema bencana alam, Twisters, tayang di bioskop Indonesia mulai pekan ini.Â
Film Twisters merupakan proyek sekuel mandiri dari film Twister yang tayang pada 1996.
Romantisme dua pemburu tornado yang terjaga dan makin menarik.Â
SEBUAH mobil pick up double cabin berkelir merah melaju kencang di padang rumput di sudut Kota Oklahoma, Amerika Serikat. Kontur tanah di padang rumput yang tak rata membuat mobil bongsor itu jumpalitan lantaran si pengemudi tak mau melepaskan kakinya dari tuas gas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angin ribut di lokasi membuat pergerakan mobil itu makin sulit dan terlihat dramatis. Saat itu bencana tornado sedang mengamuk. Bukannya lari menjauh dari liukan angin puting beliung raksasa, mobil bertampang gagah itu justru mendekati pusat bencana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah salah satu adegan film Hollywood teranyar yang bertema bencana alam berjudul Twisters. Jauh di dalam ingatan, adegan ini sangat identik dengan potongan film legendaris berjudul Twister yang tayang pada 1996.
Film produksi keroyokan Warner Bros. Pictures, Universal Pictures, dan Amblin Entertainment itu bercerita tentang sepasang peneliti meteorologi bernama Jo Harding (diperankan Helen Hunt) serta Bill Paxton (diperankan Bill Harding).
Keduanya dikenal sebagai pengejar tornado. Mereka terobsesi mengejar tornado berskala F5 alias bencana angin ribut terkuat dengan kecepatan angin lebih dari 200 mil per jam atau 321 kilometer per jam. Tujuannya untuk meneliti bagaimana tornado itu terbentuk, bergerak, hingga musnah.
Twisters adalah film standalone sequel alias sekuel mandiri dari film Twister 1996. Ya, setelah 28 tahun, trio Warner Bros. Pictures, Universal Pictures, dan Amblin Entertainment memutuskan untuk melahirkan kembali cerita pengejaran tornado raksasa itu.
Sebagai film sekuel mandiri, Twisters tidak ada sangkut pautnya dengan film rilisan 1996. Dengan kata lain, tak perlu menonton film Twister sebelum menyaksikan film terbarunya.
Meski berpredikat standalone sequel, sejatinya Twisters lebih layak dianggap sebagai proyek remake alias membuat ulang film Twister. Bagaimana tidak, alur cerita film ini dibuat mirip dengan versi 1996. Bahkan para penonton yang jeli bisa dengan mudah menemukan kaitan atau kesamaan cerita hingga properti yang digunakan.
Mobil yang digunakan untuk berburu tornado misalnya. Truk pick up double cabin yang digunakan dalam film terbaru berwarna merah, seperti mobil yang digunakan karakter Jo dan Bill.
Sejumlah penonton di salah satu bioskop di Jakarta Pusat pun setuju dengan anggapan tersebut. Valentino salah satunya. Pria 41 tahun ini menganggap beberapa adegan yang dimuat dalam film Twisters memang identik dengan film yang dirilis 28 tahun lalu itu. "Seperti nostalgia menonton film lamanya, cuma dikemas lebih bagus," kata Valentino.
Penonton lain, Sigit Tiastono, menyoroti bumbu kemesraan dua karakter utama dalam film lawas masih dipertahankan di film edisi terbaru. Jika dulu ada duet menawan Helen Hunt dan Bill Harding, kini ada Daisy Edgar-Jones dan Glen Powell.
Daisy memerankan tokoh Kate Cooper, seorang ahli meteorologi yang punya masa lalu buruk dan trauma besar terhadap tornado—sama seperti karakter Jo Harding. Adapun Glen Powell memerankan karakter Tyler Owens, seorang pengejar tornado yang tengil dan belagu. Meski banyak tingkah, Tyler punya keahlian dan keberanian luar biasa hingga mendapat julukan Tornado Wranglers.
Interaksi romantis Kate dan Tyler sukses menjadi pemanis isu kebencanaan tornado yang diangkat Twisters. Bagusnya, romantisme keduanya dibuat secara pas, tidak berlebihan. "Takaran yang enggak lebai ini justru gampang diterima penonton," tutur Sigit.
Daisy Edgar-Jones berperan dalam film Twisters. Dok.Universal Pictures
Pujian layak diberikan kepada Daisy Edgar-Jones yang mampu berakting dengan ciamik sebagai pemeran utama. Ia sukses menampilkan tokoh utama yang menyenangkan dan menarik. Adapun penampilan Glen Powell sejatinya enggak terlalu spesial. Meski begitu, ia masih layak menjadi lawan main Daisy.
Apresiasi juga patut diberikan kepada sutradara Lee Isaac Chung yang meramu sebuah kisah nostalgia menjadi film yang modern. Ya, Chung berhasil memenuhi ekspektasi orang-orang yang telanjur tinggi terhadap film Twisters.
Maklum, film Twister 1996 mendapat pujian lantaran sanggup menyuguhkan visual yang mengagumkan di masa itu. Tampilan efek visual komputer dan sinematografi yang diusung Twister 1996 mampu menggambarkan bencana tornado senyata mungkin.
Adapun versi yang sekarang, gambaran bencana tornado dibuat makin istimewa. Visualisasi tornado tampak jauh makin realistis lagi. Bahkan, gambaran efek tornado mampu ditampilkan secara detail hingga ke tampilan rumput-rumput yang bergoyang. Ditambah pemilihan skor film atau musik orisinal melengkapi sensasi mendebarkan saat tornado mengamuk.
Sutradara 45 tahun berkebangsaan Amerika Serikat itu secara spesial memberikan apresiasi kepada Ben Snow dan Scott Fisher selaku para seniman visual efek yang menggarap film Twisters. Snow dan Fisher tentu bukan nama baru di industri perfilman Hollywood.
Snow adalah artis visual efek yang menggarap film Avenger: Age of Ultron (2015), Pirates of the Caribbean: On Stranger Tides (2011), dan Iron Man 2 (2010). Adapun Scott Fisher dikenal dengan karya visual efek untuk film Dunkirk (2017), Interstellar (2014), dan Fury (2014).
Chung mengaku sering melibatkan Snow dan Fisher pada masa produksi film. Khususnya saat merencanakan gambar saat tornado menyerang dan bagaimana para aktor melawan kekuatan angin mahadahsyat itu.
Salah teknik yang mereka pakai adalah menggunakan mesin jet dengan banyak kipas yang luar biasa kuat. Kemudian angin yang keluar diarahkan ke dalam ruangan mirip terowongan. Selanjutnya, para aktor akan masuk ke terowongan dengan angin yang berembus kencang.
"Kemudian kami melemparkan banyak barang ke arah mereka untuk menampilkan gambar serangan tornado," ujar Chung dikutip dari The Hollywood Reporter.
Dengan cerita dan visualisasi yang mumpuni, Chung ingin membawa penonton mendekatkan diri pada alam. Menurut dia, manusia amatlah kecil dibanding kekuatan alam. "Film ini memberi kesempatan bagi saya untuk mendefinisikan identitas manusia dengan bumi," kata sutradara film Minari (2020), Abigail Harm (2012), dan Lucky Life (2010) itu.
Chung juga berhasil mengeksekusi cerita dengan tepat. Sebab, di tengah teknologi yang lebih canggih saat ini, bisa saja Twisters dibuat dengan kemasan ilmu pengetahuan yang tinggi. Dengan kata lain, film Twisters akan memuat lebih banyak sisi ilmiah di dalamnya.
Namun beruntung keputusan ini tidak diambil oleh Chung dan petinggi ketiga rumah produksi film itu. Sebab, bisa dibayangkan Twisters bakal menggendong cerita lebih berat, bahkan tak jauh berbeda dengan film dokumenter.
Jika hal itu sampai terjadi, respons penonton berkemungkinan akan mengacungkan jempol ke bawah. Sebab, faktanya film dengan cerita yang menarik, visualisasi yang tajam, dan bumbu romantisme jauh lebih menjual. Terlebih, film pembuatan ulang karya yang sudah dikenal, seperti Twister 1996.
Meski begitu, pria keturunan Korea Selatan itu tetap ingin membawa isu tentang lingkungan, alam, dan perubahan iklim dengan baik ke penonton. Termasuk menyampaikan pesan bahwa para ilmuwan iklim ibarat pahlawan super sesungguhnya dalam kehidupan manusia saat ini. Sebab, merekalah yang terus berjuang mempelajari perubahan iklim bumi yang membawa dampak pada bencana alam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo