ADA seni rupa lelaki dan seni rupa perempuan? Di dalam masyarakat tradisional, pembagian kerja berdasarkan seks menarik garis demarkasi tegas. Tenun, batik, keramik, sulam, anyam halus, adalah medan khusus kaum wanita. Lukis, patung, dan ukir, berbagai karya logam, perhiasan, masuk dalam kawasan khusus lelaki. Di zaman kita, wanita beremansipasi ke bidang seni lelaki, dan lelaki berekspansi ke seni perempuan. Kendati wanita mayoritas secara demografi, mereka minoritas di antara pelukis dan pematung. Apa karena kita di lapisan sosial menengah di kota besar? Dalam masyarakat pembuat keramik di Desa Kasongan yang tersohor itu, wanita juga terdesak. Keramik patung dekoratif, yang memberi banyak peluang pada daya khayal, dan bernilai jual lebih tinggi, malah masih monopoli lelaki. Lalu terbentuknya Nuansa Indonesia -- himpunan seniman wanita di bidang seni rupa -- dua tahun lalu di Jakarta, merupakan pekik "perang seks" di medan seni rupa? Entahlah. Yang jelas, 14-24 Oktober, mereka muncul dalam pasukan besar: 19 pelukis, 2 pegrafis, 3 pekeramik, dan 2 pematung. Karya mereka memenuhi dua ruang pamer Taman Ismail Marzuki. Kartika, anak Affandi itu, mencengangkan dalam Musim Salju di Austria, yang sangat tidak Affandi. Dalam lukisan ini pelototan cat, coret dan titik yang lincah, lumuran warna, beralih sifat dan peran. Bukan untuk "menumpahkan diri" secara keras dan kasar, tapi menampilkan citra pemandangan alam yang sejuk, lembut, dan kompak -- lebih dari kanvas Kartika yang lain. Lucia Hartini, 29 tahun, menakjubkan karena kemampuan teknik, kccermatan, dan ketekunannya. Ia pandai menampilkan citra ruang trimatra, massa, cahaya, dan bayangan, meyakinkan. Ketiga karyanya (semua Imajinasi) menyajikan alam secara fisik tetapi fantastik. Pusaran laut yang dahsyat. Pada lukisan lain, pusaran di langit dengan pusat bundaran merah membara -- dilihat melalui mulut gua yang amat besar -- tempat di ujung sebuah karang, berdiri seorang kakek dan seorang anak, tampak sangat kecil. Lalu ada lukisan penggorengan raksasa di sela karang, di laut. Dari sebuah karang mengalir cairan (asap?) ke dalam penggorengan -- sedang dari situ ada asap pekat dan bergumpal-gumpal membubung. Titik Sunarti bekerja nyaris hanya dengan warna dan nuansa (Wanita di Gunung Bromo dan Wanita dalam Anganku). Chi Utari menguasai cat air, dan pandai menangkap ciri obyek yang dilukisnya dengan sapuan dan coretan sekadarnya. Memanfaatkan putih kertas dan penyebaran cat, ia membuat Pemandangan Bali yang lembut. Yang keras? Nunung W.S. menyaring pemandangan alam menjadi bidang warna luas, beberapa sapuan kuat dan lebar, dan barang dua-tiga warna kontras (Ngarai Sianok, Bukit Maninjau). Juga Farida Srihadi. Apabila ia tak amat peduli membangun citra sosok dan massa dengan corat-coret yang menghambat dan meredam sapuan-sapuan lebar karyanya tampak lancar, lepas, dan padu (Alam Subur). Seperti lazimnya pameran kolektif, ada sederet lukisan dekoratif. Dari penggayaan alias stilisasi (Sri Yunnah, Tjok Istri Mas Astuti, Ni Made Rinu, Agnes Yulinawati Nataliniwidhiasi), sampai penyusunan motif hias secara sistematik (Erna Pirous). Ada yang canggih dalam teknik, membuat efek visual orang kaya dengan Jalan melukis di kertas yang diremas-remas (Muntiana Tedja), ada yang menarik karena keluguannya (Wiranti Tejasukmana). Ada Roelijati Suwaryono yang kawakan, Trmawangwulan yang muda, dan ada yang belum begitu lama mengolah bakatnya (Astari Rasjid, Laura Iskandar, Kartini Basuki). Dilihat jumlah peserta seni grafis amat langka. Chairin Hayati, 39 tahun, dengan cukil kayu membuat sangkar untuk berbagai binatang, termasuk naga, ketam, dan serangga (Sangkar). Marida Nasution, 32 tahun, bekerja dengan cetak saring, dan dengan gagasan kolasi menyajikan citra Jakarta yang tegang bahkan dramatik (Jakarta). Keramik juga minor dari peserta. Terakota Jane Chen (talam, jambangan, vas) tampak lazim saja. Sedang Hildawati Siddhartha dan Susi Muhamad menyodorkan pengalaman keramik yang tak biasa bagi kebanyakan orang. Kita diminta memperhatikan sifat dan pekerti keramik, lepas dari pemakaian yang praktis dan lazim. Akhirnya: patung. Karya perunggu Dolorosa Sinaga berukuran kecil, bentuk yang kompleks, sarat dengan rinci yang seolah beralun, bergelung, dan melambai seperti lidah api, tetapi padu sebagai wujud trimatra (lihat Wild Wave from the East, ombak garang dari Timur, the Dance of India, tari India, dan Night Mare, mimpi buruk). Sedang patung Cecilia Haryanti mudah dikenali sebagai citra sosok manusia (Penari, Terbelenggu, Termenung I dan II). Dalam pameran ini tak mudah mengatakan, apanya yang khas perempuan -- dalam karya-karya mereka -- selain penciptanya. Sebaliknya, keutamaan seni lukis, kecilnya porsi keramik, mangkirnya tekstil, dan absennya seni yang belum dijamah lelaki seperti sulam-menyulam -- menunjukkan bayang-bayang pikiran kesenirupaan yang dominan dewasa ini: pikiran lelaki. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini