Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK Seminar Sejarah Nasional Pertama diselenggarakan pada 1957, pembicaraan seputar fondasi dan arah penulisan sejarah Indonesia tak kunjung henti. Proses dekolonisasi membuat para ahli menulis sejarah dengan pendekatan nasional sentris dan antikolonial: sejarah digunakan untuk menggalang semangat kebangsaan. Buku M. Yamin, misalnya, menyebut Gajah Mada dan Diponegoro sebagai sosok pemersatu Indonesia—sesuatu yang dikritik Bambang Purwanto (2006) sebagai anakronisme. Bagi sejarawan generasi baru seperti Bambang, kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit bukanlah wujud dari keindonesiaan melainkan semata siasat politik penguasa lokal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo