Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Nusantara tanpa Indonesia

Majapahit, Sriwijaya, Diponegoro bukan bagian dari sejarah Indonesia. Karya lama yang tak lekang oleh zaman.

23 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusantara: Sejarah Indonesia Penulis: Bernard H.M. Vlekke Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, April 2008 Tebal: 528 halaman

SEJAK Seminar Sejarah Nasional Pertama diselenggarakan pa­da 1957, pembicaraan seputar­ fon­dasi dan arah penulisan sejarah Indonesia tak kunjung henti. Proses dekolonisasi membuat para ahli me­nulis sejarah dengan pendekatan na­sional sentris dan antikolonial: sejarah digunakan untuk menggalang semangat kebangsaan. Buku M. Yamin, misalnya, menyebut Gajah Mada dan Diponegoro sebagai sosok pemersatu Indonesia—sesuatu yang dikritik Bambang Purwanto (2006) sebagai anakronisme. Bagi sejarawan generasi baru seperti Bambang, kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit bukanlah wujud dari keindonesiaan melainkan semata siasat politik penguasa lokal.

”Indonesia” masih sebuah ide, yang meminjam istilah Ben Anderson (2002), merupakan gagasan terbayangkan. Da­ri awal masehi hingga akhir abad ke-19, tidak ada yang mengenal Indonesia. Maka, pemahaman mengenai sejarah Indonesia sebelum abad ke-20 bukanlah pemahaman mengenai sejarah sebuah entitas politik bernama Indonesia, melainkan sejarah parsial bagian-bagian Nusantara.

Gagasan ”Nusantara tanpa Indonesia” inilah yang menjadi pokok pembahasan Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: A History of the East Indian Archipelago (1943) dan baru-baru ini diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Nusantara: Sejarah Indonesia. Menurut Vlekke, pada era prasejarah, orang-orang di Nusantara terpisahkan secara rasial dan kewilayahan. Hubungan antaretnis baru muncul seiring dengan timbulnya aktivitas perdagangan antarkawasan.

Kehidupan politik yang lebih kompleks dimulai di Sumatera dan Jawa sejak abad ke-10, terutama sejak datangnya saudagar Eropa. Kekuasaan yang dibangun Belanda memicu transformasi Nusantara. Ga­bungan antara semangat Pan-Islam, sosialisme, dan nasio­nalisme membuat aspek chauvinisme ditinggalkan. Dari sebuah kawasan yang terpisah dan saling menaklukkan, Nusantara perlahan bergerak ke arah ”Indonesia” dengan segala perdebatannya.

Menurut Vlekke, dalam proses pembentukan negara-bangsa itulah kisruh terjadi. Di Mataram, misalnya, para anggota kerajaan yang tidak puas meminta sokongan pemerintah kolonial. Sebaliknya, muncul juga orang-orang pragmatis di tubuh Kompeni. Konflik terjadi dan mencapai puncaknya pada awal abad ke-20.

Selain berhasil mendekonstruksi ide tentang ”Indonesia”, Vlekke juga memberikan sumbangan berharganya pada perkembangan historiografi Indonesia. Vlekke menulis sejarah Indonesia dengan komprehensif dan berimbang. Ia tidak terjebak pada pemikiran kolonial bahwa sejarah Indonesia hanyalah bagian dari sejarah koloni Belanda.

Selain itu Vlekke memberikan teladan dalam pembuatan periodisasi dalam sejarah Indonesia. Pembabakannya amat berguna dalam memahami bagaimana proses terbentuknya gagasan tentang Indonesia. Mengutip sejarawan R. Moh. Ali (2005), Vlekke memperkenalkan aliran progresif karena memperlihatkan arah pembentukan Hindia Belanda menuju negara merdeka.

Vlekke juga mengemukakan sejumlah pandangan baru. Ia, misalnya, mem­bantah bahwa kisruh di Jawa adalah akibat siasat divide et impera Belanda. Menurut dia, pemerintah kolonial sebenarnya tidak berminat sedikit pun atas negara-nega­ra di Jawa. Memang pemerin­tah kolonial pernah campur­ tangan dalam perebutan ­takhta di Keraton Mataram. Tapi mereka terlibat karena ada anggota kerajaan yang tidak puas dan meminta sokongan pemerintah kolonial.

Kendati edisi Inggris buku yang ber­isi perjalanan sejarah Nusantara ini sudah diterbitkan lebih dari enam dasawarsa lalu, pengaruh yang dibawanya tak lekang dimakan zaman. Dengan naratif, Vlekke berhasil memadukan sejarah dengan antropologi (etnologi komparatif), arkeologi, sosiologi, dan filologi.

Sayang, Luthfi Assyaukani, yang me­nulis kata pengantar edisi bahasa Indo­nesia, tak menangkap ide dasar buku ini. Menurut aktivis Jaringan Islam Liberal ini, buku Vlekke bisa dijadikan bukti bahwa akar radikalisme Islam di Indonesia bisa dilacak hingga berabad-abad lalu. Memang menarik, namun sebenarnya bukan itu pesan yang disampaikan Vlekke.

Muhammad Yuanda Zara, peminat sejarah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus