Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nyanyian doelkotjek

Sutradara: n. riantiarno karya: george bucher musik: embi c. noer. (ter)

28 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOPRAL DOELKOTJEK Karya: Georg Buchner Musik: Embi C. Noer Sutradara: N. Riantiarno Produksi: Teater Koma KISAH seorang laki-laki yang membunuh kawan hidupnya (yang serong), sama sekali tak istimewa. Juga bila si laki-laki ditindih kemelaratan dan hinakan orang. Dan memang, yang menjadikan drama Woyzeck menonjol terutama justru peran sejarahnya. Ditulis pada 1836, lakon Georg Buchner ini (karya terakhir dari hanya tiga lakon pentasnya yang semuanya dikerjakan dalam dua tahun) dikatakan meramalkan akan berkembangnya jenis drama sosial mulai 1890 -- arus yang memberi perhatian besar pada nasib si miskin. Dan naskah inilah yang disadur menjadi Kopral Doelkotjek oleh Teater Koma, dimainkan di Teater Tertutup TIM 20-26 November. Tentu, cukup banyak daya penarik. Gaya Woyzeck sendiri diketahui mendapat pengaruh baik dari Shakespeare maupun gerakan Sturn und Drang. Sementara dalam bentuk maupun isi ia mendahului zamannya, formatnya yang pendek -- seperti dua karyanya yang lain-- mengkombinasikan naturalisme yang ekstrim dengan kekuatan visi ekspresif. Dan itu ditubuhkan dalam berbagai karakter. Kebesaran Wadag Pertama Woyzeck sendiri--si bekas kopral yang hidup dengan gendaknya yang memberinya seorang anak. Seorang gomba lemah hati yang mendapat nafkah dari mencukur rambut atau disuruh-suruh para perwira, yang berhadapan sekaligus dengan tiga tokoh. Pertama si kapten yang birokrat picik, kedua si mayor yang puas diri, dan terakhir si dokter yang membuatnya sebagai eksperimen keilmuan yang tolol mengubah manusia, konon, menjadi keledai. Suasana memang penuh teror. Ternyata si kawan hidup sendiri, Marie (Maryam, dalam pementasan) berhubungan seketiduran baik dengan si mayor maupun si kapten. Dan ketiga-tiganya menganggap Woyzeck tak lebih dari sampah --meski pada si Marie dengan sedikit konflik. Juga para tetangga lingkungan jembel itu. Warna dan tenaga yang muncul dari kaya itulah yang memungkinkan Alban Berg, 1925, dengan musik yang kuat mengangkatnya dalam sebuah libretto untuk opera Woyzeck. Dan itu pula yang tentunya menarik sutradara kali ini Nano Riantiarno, mengangkatnya daiam sebuah lakon penuh lagu, Kopral Doelkotjek. Katakanlah jenis musical di Amerika. Musik digarap Embi C. Noer, tampak bermaksud melantunkan suasana muram, meski kadang terasa agak cerewet. Dan suasana muram terutama dihasilkan oleh perlampuan yang hampir semuanya gelap -- meski tak cukup gelap untuk menghitamkan sama sekali satu daerah panggung yang sedang tidak dipakai. Panggung memang simultan. Set (Jim B. Ardi) menggambarkan dengan bagus satu bagian kampung dengan rumah-rumah kayu yang rapat, miskin dan bertumpuk-tumpuk atas-bawah seperti rumahan di kampung Jakarta yang paling padat. Dengan memindah-mindahkan adegan berganti-ganti (di kamar Mariam di atas, di jalan umum di bawah, di sudut kiri atau kanan atau belakang), dan hanya kadang-kadang lampu menyala terang ketika hampir seluruh panggung dipakai, pembedaan cahaya yang kurang tajam menyebabkan sosok seluruh set yang besar itu (yang tetap membayang) terasa mubazir. Inti cerita lantas dikalahkan oleh kebesaran wadag--hal yang dalam opera sekalipun dihindari oleh para perancang mutakhir. Terasa kemudian, cara yang digunakan Teguh Karya ketika mement skan terjemahan Buchner ini beberapa tahun lalu di Teater Arena, yang mengutamakan kekuatan akting, lebih memunculkan substansi. Masalahnya tentu, karya pengarang Swiss yang pernah terlibat gerakan revolusioner ini (juga setelah jadi Doelkotjek) lebih mengesankan sebuah gumpalan visi daripada lirik model Lorca, umpamanya--jenis yang kelihatan disukai Riantiarno. Pada Woyzeck musikalisasi rasanya hanya akan efektif bila sekaligus berarti prestasi vokal--yang lebih berkait dengan para tokoh daripada dengan suasana. Musik menjadi jalan pengutaraan, sementara dialog hanya pendukung -- dan bukan sebaliknya. Dan bila demikian tak perlu terjadi - seperti pada pementasan ini--masuknya sebuah nyanyian kadang justru mengganggu ritme yang sedang dibangun dengan dialog. Rusaknya ritme itulah hakikatnya yang menghembuskan kebosanan. Memang, jalan teknis lebih sederhana bisa pula ditempuh: lebih memperketat seleksi dan mempertimbangkan posisi nyanylan pada ritme. Lebih-lebih karena Doelkotjek terhitung sudah lebih selektif, atau matang, dibanding karya Riantiarno yang sudah-sudah. Juga dibanding nilai rata-rata pementasan di TIM akhir-akhir ini. Akting Nano sendiri, sebagai Doelkotjek, kuat sekali. Iuga misalnya Syaiful Anwar si dokter--bahkan barangkali juga Titi Qadarsih sebagai Maryam, asal di malatn pertama itu lampu cukup terang untuk menonjolkannya. Akting itulah ternyau yang masih jadi faktor pengikat. Adaptasi naskah sendiri oleh sang sutradara, ke kalangan prajurit kolonial Belanda di awal abad ini, terhitung cocok. Pembunuhan Maryam oleh Si Doel (minus layar plastik itu) dilakukan dengan indah. Hanya bagian penutup terasa tak tentu arah. Dan tiba-tiba saja berhenti. Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus