KOPRAL DOELKOTJEK
Karya: Georg Buchner
Musik: Embi C. Noer
Sutradara: N. Riantiarno
Produksi: Teater Koma
KISAH seorang laki-laki yang membunuh kawan hidupnya (yang
serong), sama sekali tak istimewa. Juga bila si laki-laki
ditindih kemelaratan dan hinakan orang.
Dan memang, yang menjadikan drama Woyzeck menonjol terutama
justru peran sejarahnya. Ditulis pada 1836, lakon Georg Buchner
ini (karya terakhir dari hanya tiga lakon pentasnya yang
semuanya dikerjakan dalam dua tahun) dikatakan meramalkan akan
berkembangnya jenis drama sosial mulai 1890 -- arus yang memberi
perhatian besar pada nasib si miskin. Dan naskah inilah yang
disadur menjadi Kopral Doelkotjek oleh Teater Koma, dimainkan di
Teater Tertutup TIM 20-26 November.
Tentu, cukup banyak daya penarik. Gaya Woyzeck sendiri diketahui
mendapat pengaruh baik dari Shakespeare maupun gerakan Sturn
und Drang. Sementara dalam bentuk maupun isi ia mendahului
zamannya, formatnya yang pendek -- seperti dua karyanya yang
lain-- mengkombinasikan naturalisme yang ekstrim dengan kekuatan
visi ekspresif. Dan itu ditubuhkan dalam berbagai karakter.
Kebesaran Wadag
Pertama Woyzeck sendiri--si bekas kopral yang hidup dengan
gendaknya yang memberinya seorang anak. Seorang gomba lemah
hati yang mendapat nafkah dari mencukur rambut atau
disuruh-suruh para perwira, yang berhadapan sekaligus dengan
tiga tokoh. Pertama si kapten yang birokrat picik, kedua si
mayor yang puas diri, dan terakhir si dokter yang membuatnya
sebagai eksperimen keilmuan yang tolol mengubah manusia, konon,
menjadi keledai.
Suasana memang penuh teror. Ternyata si kawan hidup sendiri,
Marie (Maryam, dalam pementasan) berhubungan seketiduran baik
dengan si mayor maupun si kapten. Dan ketiga-tiganya menganggap
Woyzeck tak lebih dari sampah --meski pada si Marie dengan
sedikit konflik. Juga para tetangga lingkungan jembel itu.
Warna dan tenaga yang muncul dari kaya itulah yang memungkinkan
Alban Berg, 1925, dengan musik yang kuat mengangkatnya dalam
sebuah libretto untuk opera Woyzeck. Dan itu pula yang tentunya
menarik sutradara kali ini Nano Riantiarno, mengangkatnya daiam
sebuah lakon penuh lagu, Kopral Doelkotjek.
Katakanlah jenis musical di Amerika. Musik digarap Embi C. Noer,
tampak bermaksud melantunkan suasana muram, meski kadang terasa
agak cerewet. Dan suasana muram terutama dihasilkan oleh
perlampuan yang hampir semuanya gelap -- meski tak cukup gelap
untuk menghitamkan sama sekali satu daerah panggung yang sedang
tidak dipakai.
Panggung memang simultan. Set (Jim B. Ardi) menggambarkan dengan
bagus satu bagian kampung dengan rumah-rumah kayu yang rapat,
miskin dan bertumpuk-tumpuk atas-bawah seperti rumahan di
kampung Jakarta yang paling padat. Dengan memindah-mindahkan
adegan berganti-ganti (di kamar Mariam di atas, di jalan umum di
bawah, di sudut kiri atau kanan atau belakang), dan hanya
kadang-kadang lampu menyala terang ketika hampir seluruh
panggung dipakai, pembedaan cahaya yang kurang tajam menyebabkan
sosok seluruh set yang besar itu (yang tetap membayang) terasa
mubazir.
Inti cerita lantas dikalahkan oleh kebesaran wadag--hal yang
dalam opera sekalipun dihindari oleh para perancang mutakhir.
Terasa kemudian, cara yang digunakan Teguh Karya ketika mement
skan terjemahan Buchner ini beberapa tahun lalu di Teater Arena,
yang mengutamakan kekuatan akting, lebih memunculkan substansi.
Masalahnya tentu, karya pengarang Swiss yang pernah terlibat
gerakan revolusioner ini (juga setelah jadi Doelkotjek) lebih
mengesankan sebuah gumpalan visi daripada lirik model Lorca,
umpamanya--jenis yang kelihatan disukai Riantiarno. Pada Woyzeck
musikalisasi rasanya hanya akan efektif bila sekaligus berarti
prestasi vokal--yang lebih berkait dengan para tokoh daripada
dengan suasana. Musik menjadi jalan pengutaraan, sementara
dialog hanya pendukung -- dan bukan sebaliknya. Dan bila
demikian tak perlu terjadi - seperti pada pementasan
ini--masuknya sebuah nyanyian kadang justru mengganggu ritme
yang sedang dibangun dengan dialog. Rusaknya ritme itulah
hakikatnya yang menghembuskan kebosanan.
Memang, jalan teknis lebih sederhana bisa pula ditempuh: lebih
memperketat seleksi dan mempertimbangkan posisi nyanylan pada
ritme. Lebih-lebih karena Doelkotjek terhitung sudah lebih
selektif, atau matang, dibanding karya Riantiarno yang
sudah-sudah. Juga dibanding nilai rata-rata pementasan di TIM
akhir-akhir ini.
Akting Nano sendiri, sebagai Doelkotjek, kuat sekali. Iuga
misalnya Syaiful Anwar si dokter--bahkan barangkali juga Titi
Qadarsih sebagai Maryam, asal di malatn pertama itu lampu cukup
terang untuk menonjolkannya. Akting itulah ternyau yang masih
jadi faktor pengikat.
Adaptasi naskah sendiri oleh sang sutradara, ke kalangan
prajurit kolonial Belanda di awal abad ini, terhitung cocok.
Pembunuhan Maryam oleh Si Doel (minus layar plastik itu)
dilakukan dengan indah. Hanya bagian penutup terasa tak tentu
arah. Dan tiba-tiba saja berhenti.
Syu'bah Asa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini