Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengusaha dan konglomerat Bob Hasan telah memimpin pembinaan cabang olahraga atletik selama lebih dari empat dasawarsa.
Selama di bawah kepemimpinan Bob Hasan, PASI telah menelurkan sederet atlet berprestasi kelas dunia.
Pernah dipenjara karena kasus korupsi tidak menghentikan langkah Bob Hasan terus berkecimpung di dunia atletik.
DUNIA olahraga kita, khususnya cabang atletik, sangat kehilangan sosok Bob Hasan. Pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 24 Februari 1931, tersebut tutup usia karena kanker paru-paru di Jakarta, Selasa, 31 Maret 2020, pada usia 89 tahun. Sepak terjangnya sebagai pembina cabang atletik di Tanah Air telah merentang lebih dari empat dasawarsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya mengenal Mohammad “Bob” Hasan sejak 1982. Saat itu, saya baru setahun bekerja sebagai wartawan olahraga di majalah Tempo. Sedangkan Pak Bob—demikian saya memanggilnya—sudah menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI). Sebagai reporter olahraga, saya sering meliput kegiatannya selaku narasumber berita seputar atletik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya makin sering berinteraksi dengan Pak Bob setelah dia mengajak saya bergabung sebagai pengurus PASI pada 1985. Saya mengiyakan ajakan itu setelah melapor ke kantor dan memperoleh izin. Sejak itulah saya bisa melihat dengan lebih dekat bagaimana sentuhan tangan dingin Bob Hasan, yang sebelumnya lebih dikenal publik sebagai pengusaha kayu yang dekat dengan Presiden Soeharto, membenahi pembinaan cabang atletik.
Tidak semua pengusaha seperti Bob Hasan bersedia menyisihkan penghasilannya untuk pembinaan olahraga. Untuk atletik saja dia rela merogoh koceknya sampai Rp 10 miliar tiap tahun semasa 1980-an. Duit sebanyak itu antara lain digunakan untuk mendongkrak mutu pembinaan, dari mengirim atlet berlatih ke Amerika Serikat—kiblatnya pelari cepat—hingga mendatangkan pelatih dari Amerika dan Jerman, yang menjadi negara acuan cabang atletik non-lari. Kalau hanya bergantung pada Komite Olahraga Nasional Indonesia serta Kementerian Pemuda dan Olahraga tentu tidak memungkinkan.
Upayanya terbukti jitu. Atletik menjadi salah satu cabang olahraga yang mampu unjuk gigi di turnamen internasional. Kita masih mengingat mendiang Purnomo Muhammad Yudhi, sprinter satu-satunya wakil dari Asia yang sukses menembus semifinal lari 100 meter putra di Olimpiade Los Angeles, Amerika Serikat, pada 1984. Saat itu, Purnomo mencatatkan waktu 10,3 detik dan memecahkan rekor Mohamad Sarengat, legenda pelari cepat yang menyabet medali emas Asian Games 1962 di Jakarta.
Pembinaan atletik di era Bob Hasan juga menelurkan sederet atlet berprestasi lain, seperti Mardi Lestari, yang pada masa jayanya dikenal sebagai pelari tercepat se-Asia; Suryo Agung Wibowo, penerus Mardi yang tercatat menjadi manusia tercepat di Asia Tenggara setelah mencetak waktu 10,20 detik di SEA Games 2007 Vientiane, Laos; dan terakhir Lalu Muhammad Zohri, peraih emas nomor 100 meter Kejuaraan Dunia Junior 2018 di Tampere, Finlandia. Ini membuktikan pembibitan atlet lari berprestasi terus berjalan.
Kedekatannya dengan Pak Harto, yang saat itu ingin mengembalikan prestasi atletik Indonesia, turut memuluskan langkah Pak Bob menjadi Ketua Umum PASI. Ia terpilih menggantikan Sayidiman Suryohadiprojo pada 1979 setelah beberapa tahun sebelumnya menggeluti atletik sebagai pengurus PASI. Setelah menjabat ketua umum, Pak Bob tidak hanya berfokus pada atlet nasional. Dia juga mendirikan klub-klub atletik. Salah satunya Menteng Raya 72. Waktu itu masih ada kejuaraan atletik antarklub, terutama di DKI Jakarta.
Pak Bob sangat memperhatikan para atletnya. Dia tidak hanya mengelola PASI sebagai ketua dan penyandang dana, tapi juga terjun langsung mengubah gaya hidup para atlet. Kita mengetahui bahwa atlet atletik umumnya orang-orang kalangan menengah ke bawah yang berasal dari daerah. Lidah para atlet dari desa yang pindah ke kota biasanya sulit melepaskan kebiasaan makan yang untuk ukuran atlet kurang berimbang gizinya.
Terhadap mereka, Pak Bob kerap menegur, “Lu makannya yang bener, ya. Jangan hanya mi instan, enggak ada gizinya. Harus perbanyak makan steak atau daging. Sebelum bertanding, karbohidratnya harus dikurangi,” katanya suatu waktu saat mengikuti atletnya berlomba di turnamen luar negeri. Untuk memperbaiki kualitas fisik para atletnya itu, dia sampai mendatangkan dokter ahli gizi di pemusatan latihan nasional.
Dalam perjalanan Bob Hasan memimpin PASI, beberapa induk organisasi olahraga mempercayakan pembinaan atletnya di tangannya, seperti angkat besi, panahan, catur, golf, dan senam. Tapi tetap saja atletik yang menorehkan prestasi paling moncer. Dia bahkan sukses menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah Kejuaraan Atletik Asia 1985.
Dengan relasi yang banyak, apalagi pernah menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, dia tak kesulitan mencari sponsor turnamen olahraga. Walaupun akhirnya sebagian besar sponsor itu berasal dari perusahaan-perusahaannya sendiri. Misalnya, saat menghelat kejuaraan nasional angkat besi, lebih dari separuh perusahaan yang mensponsori kejuaraan adalah miliknya, selain tentunya ada beberapa perusahaan asal luar negeri.
Kepedulian Bob Hasan terhadap atletik berlanjut bahkan setelah dia tidak lagi menjabat menteri, menyusul lengsernya Pak Harto pada Mei 1998. Tiga tahun kemudian, dari dalam Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, tempatnya menjalani hukuman kasus korupsi, misalnya, dia masih mengurusi PASI. Ia menitipkan instruksi pembinaan atlet lewat para pengurus PASI, yang sebagian adalah orang-orang perusahaannya, ketika mereka membesuknya. Saya yang saat itu menjadi wartawan Gatra—majalah yang didirikan Pak Bob pada 1995—hampir dua pekan sekali ikut menengoknya di Nusakambangan.
Interaksi di Nusakambangan adalah persinggungan terakhir saya dengan Pak Bob. Setelah dia keluar dari penjara, saya praktis tidak berkomunikasi lagi dengannya. Tapi saya akan selalu mengenangnya sebagai figur yang penuh perhatian sekaligus blakblakan. Pernah dia marah besar kepada sejumlah wartawan olahraga yang menulis berita yang dianggapnya menjelekkan PASI tatkala ada atlet yang kalah dalam sebuah kejuaraan. “Kan, seharusnya mendukung kita,” ucapnya ketika itu. Tapi dia tak pernah memendam lama kekesalannya.
Ada topik yang enggan dia bicarakan, yaitu mengenai latar belakangnya sebagai warga keturunan Tionghoa. Alih-alih menyinggung status nonpribumi, pria dengan nama asli The Kiang Seng ini pernah berujar, “Saya ini anak angkatnya (Jenderal) Gatot Soebroto.” Selama mengenalnya, saya memang lebih banyak ngobrol seputar olahraga.
Terlepas dari kontroversinya, dedikasi dan jasa Pak Bob untuk pembinaan atletik sangat besar. Walaupun dia dikeluarkan dari keanggotaan Komite Olimpiade Internasional (IOC) karena kasus korupsi, semua pengurus PASI daerah masih mempercayainya. Pada Februari 2004, bulan yang sama setelah bebas dari bui, dia kembali dipilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum PASI. Ia bahkan diberi gelar “Bapak Atletik Indonesia” setelah kembali terpilih sebagai Ketua Umum PASI periode 2016-2020. Selamat jalan, Pak Bob.
RUDY NOVRIANTO, ANGGOTA STAF AHLI MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT BIDANG KOMUNIKASI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo