Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH kisah balas dendam. Sebuah kisah bisnis kuliner. Tentang keluarga dan tentu saja tentang cinta dan persahabatan. Selama 16 episode, serial drama Korea ini berhasil menggenggam perhatian penonton Netflix terutama karena jalan cerita dan skenario yang ketat serta menyajikan suspens hampir pada setiap episode.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adalah Park Sae-ro-yi (Park Seo-joon), seorang mantan narapidana, yang tak lulus sekolah menengah atas dengan cita-cita besar. Tujuan hidupnya saat keluar dari penjara hanya satu: membangun restoran untuk menyaingi konglomerat terkemuka di bidang kuliner: Jangga yang dipimpin Jang Dae-hee (Yoo Jae-myung).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu saja tak mudah bagi dia membangun warung DanBam yang kecil mungil di area gemerlap seperti Itaewon. Sae-ro-yi yang masih muda belia itu—meski punya duit peninggalan bapaknya—hanya didukung empat orang muda yang sama sekali belum berpengalaman. Kecuali manajer muda DanBam, Jo Yi-seo (Kim Da-mi), yang sebelumnya dikenal sebagai selebgram dan influencer yang sangat berpengaruh di bidang kuliner, para pekerja lain yang terdiri atas narapidana, anak SMA, dan koki yang tak pandai memasak bukanlah “langkah awal yang mudah” untuk bisa bertahan, apalagi menyaingi raksasa semacam Jangga. Tapi, bagi Sae-ro-yi, misi hidupnya hanya satu: tak hanya menyaingi Jangga, tapi juga menghancurkan hidup pemiliknya, pengusaha keji Jang Dae-hee. Inilah pusat cerita: si underdog melawan si raksasa jahat.
Bukanlah drama Korea jika tak ada kilas balik yang menarik, yang menjadi jembatan dan jawaban mengapa tokoh-tokohnya bertingkah demikian di masa kini. Serangkaian kilas balik itu menjelaskan mengapa cerita balas dendam ini jauh lebih mendominasi perkara persaingan menu warung atau bumbu makanan (meski ada juga soal rahasia resep dan saus yang sempat disebut di sana-sini). Pendeknya, ini adalah serial soal drama pembalasan melalui bisnis.
Park Seo Joon dalam Itaewon produksi Netflix./imdb
Semua cikal-bakal permusuhan kedua keluarga ini dimulai dari masa Park Sae-ro-yi di SMA, belasan tahun silam, ketika ia masih dikenal sebagai murid berprestasi, atlet yang berlari seperti angin, dan anak yang bercita-cita menjadi polisi. Segalanya terjungkal begitu saja ketika suatu hari dia melihat putra CEO Jangga, Jang Geun-won, habis-habisan merundung seorang anak lelaki di kelasnya. Tak tahan melihat kawan sekelasnya ditendang ke sana-kemari dan disirami susu, apalagi guru di sekolah tersebut tak berani menegur, maka melayanglah tinju Sae-ro-yi ke wajah anak manja itu. Ini menggegerkan sejagat. Apalagi ternyata Sae-ro-yi adalah putra Manajer Park Sung-yeol (Son Hyun-joo), yang sudah belasan tahun bekerja di Jangga.
Beberapa drama Korea populer berseliweran di saluran Netflix dan semuanya memiliki penonton masing-masing. Namun, harus diakui, Itaewon Class—yang diadaptasi dari webtoon—memiliki skenario yang ketat, rapi, dan berhasil menampilkan cliffhanger yang tidak mengada-ada dalam setiap akhir cerita. Protagonis serial ini tampil persis sosok dan karakternya pada webtoon: tinggi, introvert, berambut ganjil (dengan poni rata bak jamur yang melekat di atas kepala), dan berhati mulia. Adalah Gwang Jin, si pencipta versi webtoon, yang juga dipercayakan menulis skenario serial ini, dan mungkin itu pula sebabnya dia berhasil membuat setiap karakternya konsisten dan pada saatnya berkembang sesuai dengan fitrah tokohnya.
Dua perempuan di kiri-kanan Park Sae-ro-yi adalah sosok yang mempunyai keinginan masing-masing: Jo Yi-seo yang cerdas tapi tak pernah peduli pada perasaan orang lain dan Oh Soo-ah (Kwon Nara), perempuan yang dicintai Sae-ro-yi sejak mereka remaja, yang berkembang menjadi seseorang yang oportunis dan manipulatif. Namun daya tarik serial ini adalah kita tak pernah sepenuhnya bisa membenci atau mencintai setiap tokoh karena selalu saja tokoh-tokoh itu memperlihatkan kelemahan, kebodohan di balik kecerdasan masing-masing. Satu-satunya yang konsisten selalu jahat sejak awal hingga akhir adalah si pemilik Jangga, yang hanya bercita-cita agar Sae-ro-yi bisa berlutut di hadapannya.
Itaewon Class/Imdb
Tentu saja ada masa saat kita jengkel melihat beberapa bagian “terlalu memudahkan” cerita. Sang koki yang semula tak bisa memasak kemudian berprestasi luar biasa hingga mengalahkan koki-koki istimewa lain atau betapa cepatnya mereka bisa pindah gedung untuk lokasi restoran. Ada juga beberapa sub-cerita yang agak berlayar sendirian dan kurang organik dengan cerita utama, misalnya tampilnya tokoh Kim To-ni yang kewarganegaraannya dipersoalkan karena warna kulitnya. Juga elemen cerita lesbian, gay, biseksual, dan transgender yang sebetulnya sangat menarik tapi kurang dijelajahi kelanjutannya.
Tapi Itaewon Class tetap sebuah serial menarik yang tak bisa membuat kita berhenti hingga episode terakhir.
LEILA S. CHUDORI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo