Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Jejak Ichlasul Amal: Dari Reformasi 1998 sampai Kode Etik Jurnalistik

Ichlasul Amal dikenal sebagai Rektor UGM pendukung gerakan mahasiswa penentang Orde Baru. Pelopor kode etik jurnalistik.

20 November 2024 | 14.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Profesor Ichlasul Amal dikenal sebagai Rektor UGM yang mendukung gerakan mahasiswa dalam Pisowanan Agung Yogyakarta pada Mei 1998.

  • Di era Reformasi, dia menjadi Ketua Dewan Pers yang melahirkan kode etik jurnalistik.

  • Ichlasul Amal berpulang pada Kamis, 14 November 2024, pada usia 82 tahun.

LANGIT sore di Bulaksumur, Yogyakarta, diwarnai mendung tebal pada Kamis, 14 November 2024. Tapi hujan tak kunjung turun. Barangkali itu penghormatan terakhir bagi Profesor Ichlasul Amal, Rektor Universitas Gadjah Mada periode 1998-2002, yang berpulang pada pukul 02.40 WIB hari itu di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jenazah mendiang kemudian dibawa ke rumah duka di Sawit Sari, Yogyakarta. Selepas jenazahnya disalatkan di masjid kampus UGM, upacara penghormatan terakhir bagi almarhum dihelat di Balairung UGM pada pukul 15.40 WIB dan dihadiri sekitar 200 orang. Ada murid, sahabat, dan rekan sejawat beliau, seperti Rektor UGM 2002-2007, Sofian Effendi; dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM 2004-2008, Mohtar Mas’oed.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam sambutan keluarga yang disampaikan Titan Hermawan, menantunya, disampaikan bahwa mendiang tergolong sehat untuk orang seusianya, 82 tahun. Bahkan belakangan Pak Amal—demikian beliau lazim disapa—acap berkendara dengan mobil ke Jakarta untuk menjenguk anak dan cucu sembari berwisata kuliner sepanjang perjalanan. Biasanya dia ditemani Ery Haryati, istri yang juga adik kelasnya saat kuliah di UGM dulu.

Agenda seperti itu yang berlangsung pada Kamis persis sepekan sebelum kepergiannya. Sampai di Jakarta pada sore hari, beliau menyempatkan diri mengajar di sebuah kampus di Jakarta pada malamnya. “Ayah tidak bisa dilarang soal mengajar. Ia menikmati berbagi ilmu. Bertemu dengan mahasiswa memberikannya kebahagiaan tersendiri,” kata Titan dalam pembicaraan via sambungan telepon.

Mungkin karena terlalu capek melakukan berbagai kegiatan, pada Ahad siang, kondisi kesehatan Pak Amal mulai menurun. Agenda makan siang bersama kedua anaknya, Amelin Herani dan Akmal Herawan, serta para cucu pun dibatalkan. Siang itu juga Pak Amal dilarikan ke rumah sakit. Setelah tiga hari dirawat di RSPI, beliau diperbolehkan pulang. Namun, petang harinya, kondisi kesehatannya kembali menurun dan berlanjut hingga Kamis dinihari saat Amal berpulang ke haribaan yang Maha Kuasa.

Pria yang lahir di Ambulu, Jember, Jawa Timur, 1 Agustus 1942, itu memiliki tempat istimewa dalam perjalanan UGM dan Indonesia. Menempuh pendidikan dasar hingga menengah di Jember, Amal muda kuliah di Jurusan Hubungan Internasional UGM dan lulus program sarjana pada 1961. Langsung diangkat menjadi dosen di almamaternya, Amal melanjutkan studi master di Northern Illinois University, Amerika Serikat, dan lulus pada 1974. Dia lalu menempuh studi doktoral di Monash University, Melbourne, Australia, dan lulus pada 1984.

Di bawah bimbingan Profesor Herbert Feith, sosok legendaris dalam studi ilmu politik Indonesia, Amal menulis topik disertasi yang saat itu belum banyak disentuh: dinamika politik dalam negeri dalam hubungan pemerintah pusat dengan daerah. Beliau dapat disebut sebagai pionir dalam kajian politik pusat-daerah sebelum kebijakan otonomi daerah ramai diperbincangkan.

Karier Amal di UGM melejit saat dia diangkat menjadi Direktur Pusat Antar Universitas Studi Sosial pada 1986-1988, berlanjut menjadi Dekan Fisipol 1988-1994, dan berpuncak sebagai Rektor UGM 1998-2002. Menjadi pucuk pimpinan kampus besar di era turbulensi politik tentu bukan perkara ringan. Ia harus menghela biduk di tengah gelombang pasang Reformasi yang mengempas di bumi Nusantara.

Sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam dan Ketua Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia cabang Yogyakarta 1967-1968, pilihannya jelas: berpihak kepada aspirasi kaum muda dan mahasiswa mendukung gerakan Reformasi. Seperti ditulis dalam buku 50 Tahun UGM: Di Seputar Dinamika Politik Bangsa (Sori Siregar dan Dody Mardanus, LP3ES, 1999): “Beruntung UGM memiliki Prof. Dr. Ichlasul Amal. Lelaki kecil dengan nyali besar. Di pengujung rezim Soeharto, di tengah pesona psikologis pergantian milenium yang diharapkan membawa perubahan, dia merupakan figur yang tepat pada saat yang tepat. Dia muncul dengan berani untuk menegakkan demokrasi yang sehat di negeri ini.”

Sebagai dosen muda di Departemen Sosiologi UGM sekaligus jurnalis paruh waktu di tabloid Adil, saya salah satu saksinya. Pada 20 Mei 1998 pagi, puluhan ribu mahasiswa, dosen UGM, dan masyarakat umum berkumpul di Lapangan Pancasila UGM dipimpin sang Rektor, Profesor Ichlasul Amal. Rombongan kemudian melakukan aksi konvoi damai berjalan kaki menuju Alun-alun Utara di depan Keraton Yogyakarta. Di sana mereka bergabung dengan ratusan ribu orang yang datang dari berbagai penjuru.

Di sepanjang jalan, warga menyambut peserta aksi massa dengan antusias. Mereka menyediakan minuman dan makanan gratis. Pada hari itu, polisi dan tentara menepi. Mereka digantikan Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama atau Banser NU, Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda atau Kokam Muhammadiyah, dan sejumlah tenaga pengamanan sipil lain yang menyapa ramah pengunjuk rasa.

Pada puncak aksi damai yang disebut sebagai Pisowanan Agung itu, diperkirakan 1 juta orang berkumpul di sepanjang Jalan Malioboro hingga Alun-alun Utara. Mereka secara tertib menyuarakan tuntutan reformasi. Massa disambut Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam VIII yang kemudian membacakan maklumat mendukung gerakan Reformasi.

Keesokannya, 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan mundur dari pucuk kekuasaan yang dia duduki selama 32 tahun. Runtuhlah rezim otoriter Orde Baru. Bagi sejumlah penafsir politik dan budaya, Soeharto tahu “wahyu kekuasaan”-nya berakhir ketika UGM dan Keraton Yogyakarta bersatu bersama rakyat mendukung gerakan Reformasi.

Reformasi juga berarti hadirnya peluang politik dan tawaran kursi kekuasaan bagi sejumlah orang. Tapi tidak bagi Amal. Dia menolak tawaran jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di kabinet Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, wakil presiden yang menggantikan Soeharto. Amal memilih teguh dan tegak berpihak pada cita-cita Reformasi 1998 dan kepentingan rakyat pada saat cakar kekuasaan mulai mencabik dan memecah gerakan prodemokrasi.

Setelah memanggul amanah sebagai Rektor UGM, Amal mendapat kepercayaan dari komunitas pers untuk menjadi anggota Dewan Pers dari unsur masyarakat/pakar. Latar belakangnya sebagai pegiat pers mahasiswa, integritasnya sebagai intelektual, dan keteguhannya sebagai aktivis prodemokrasi nonpartisan mengantarkannya terpilih sebagai Ketua Dewan Pers dua periode, 2003-2006 dan 2006-2009.

Pada periode pertama, Amal terpilih sebagai anggota Dewan Pers bersama Sulastomo dan Hinca I.P. Panjaitan dari unsur masyarakat/pakar serta R.H. Siregar, Santoso, Uni Zulfiani Lubis, dan Sutomo Parastho dari unsur wartawan. Sementara itu, unsur pimpinan perusahaan media diwakili Amir Effendi Siregar dan Sabam Leo Batubara. Sebagai ketua, Amal dibantu R.H. Siregar selaku wakil.

Amal kembali terpilih di periode berikutnya didampingi Sabam Leo Batubara sebagai wakil. Anggota lain adalah Garin Nugroho dan Wikrama Iryans Abidin mewakili masyarakat; Bambang Harymurti, Bekti Nugroho, dan Wina Armada Sukardi mewakili wartawan; serta Abdullah Alamudi, Sabam Leo Batubara, dan Satria Naradha mewakili perusahaan pers.

Menjadi Ketua Dewan Pers pada periode awal Reformasi tentu bukan perkara ringan. Ia harus menghadapi aneka masalah akibat banjir penerbitan pers di era liberalisasi media. Maka lahirlah kode etik jurnalistik yang ditetapkan melalui Peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers.

Kode etik jurnalistik sangat penting di era demokrasi dan sekurangnya memiliki lima fungsi berikut ini. (1) Melindungi keberadaan seorang profesional dalam berkiprah di bidangnya. (2) Melindungi masyarakat dari malapraktik oleh praktisi yang kurang profesional. (3) Mendorong persaingan sehat antarpraktisi. (4) Mencegah kecurangan antar-rekan profesi. (5) Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber (Wijaya dan Gischa, 2023).

Bagi Amal, merawat pers yang sehat berarti menjaga muruah demokrasi yang diperjuangkannya sejak belia. Seperti ditulisnya dalam refleksi tentang peran pers dalam membangun kebangsaan dan demokrasi: “Pers dalam sejarahnya telah turut memperjuangkan pembebasan rakyat dari penjajahan dan penindasan. Pada era kini, pers masih harus turut memperjuangkan pembangunan untuk melepaskan rakyat dari kemiskinan, ketidakadilan, dan keterbelakangan. Pergulatan untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang lebih baik, makmur, dan sejahtera masih harus terus diperjuangkan” (Dewan Pers 2013).

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus