Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YOGYAKARTA, Juli 2013. Pagi itu, penyair Joko Pinurbo bergegas meninggalkan rumahnya. Mengenakan setelan celana berkelir hitam dan kemeja berwarna putih, dia muncul dari gang sempit di Wirobrajan, Kota Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rambutnya dibelah tengah dengan sorot mata tajam. Jokpin—sapaan akrab Joko Pinurbo—tak banyak mengobrol. Ia sesekali tersenyum. Raut mukanya datar ketika kami mengobrol tentang perdebatan terhangat para sastrawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kala itu, kami bertemu untuk kedua kalinya setelah Tempo menyaksikan Jokpin membaca puisi di Lembaga Kajian Islam dan Sosial Yogyakarta. Ia membaca puisi berjudul “Tahi Lalat” yang berkisah tentang kedekatan hubungan ibu dan anak.
Beberapa pekan kemudian, Jokpin mengajak Tempo berkunjung ke Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Selama satu jam kami melaju dengan mobil menuju seminari tempat dulu sang penyair menimba ilmu.
Lelaki bertubuh ceking itu mengajak Tempo menyusuri setiap sudut seminari. Kami melihat kapel, kamar Jokpin dulu yang bersusun seperti kamar santri di pesantren, lorong asrama, dapur, dan lapangan.
Joko Pinurbo di Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Juli 2013. Dok. Tempo/Suryo Wibowo
Seminari Mertoyudan inilah yang mempengaruhi penciptaan karya-karya puisinya yang bertema religiositas. Boleh dibilang, tema religiositas yang mewarnai hampir seluruh karyanya berpijak pada pengalamannya selama belajar menjadi calon pastor di seminari tersebut.
Namun Jokpin urung menjadi pastor. Ia memilih puisi sebagai jalan hidup hingga akhir hayatnya. Ia merasa tidak cocok menjadi pastor, karena menganggap bukan panggilan hidupnya.
Puisi-puisinya yang sederhana, jenaka, mendalam, imajinatif, dan reflektif populer di banyak kalangan. Dia acap menggunakan benda-benda keseharian yang ia hidupkan melalui metafora, seperti celana, telepon seluler, dan kamar mandi.
Kendati larik-larik puisinya jenaka, ia mengerjakannya dengan sangat serius. Ia menyatakan sangat berhati-hati dan memikirkan setiap kata dengan perenungan yang mendalam supaya tak menyinggung orang. Contohnya ketika ia menciptakan puisi bertema religiositas berjudul “Perjamuan Khong Guan”, yang menggambarkan simbol keberagaman.
Sastrawan Joko Pinurbo di ruangan asrama Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Juli 2013. Dok. Tempo/Suryo Wibowo
Belakangan, Jokpin lebih banyak menulis puisi yang dekat dengan kehidupan anak-anak muda. Puisinya, “Jogja Terbuat Dari Rindu, Pulang, dan Angkringan” banyak dikutip di mana-mana.
Istri Joko Pinurbo, Nurnaeni Amperawati Firmina, menyebutkan puisi-puisi mendiang suaminya belakangan terasa renyah dan ramah terhadap anak muda karena Jokpin ingin menyuguhkan tema yang relevan. Jokpin juga kerap mengunggah puisi-puisinya di Twitter (X) sebelum sakit.
Dalam menciptakan karya-karyanya, tutur Nurnaeni, Jokpin lebih banyak menulis di rumah. Satu puisi bisa ia kerjakan hingga bertahun-tahun dengan beberapa kali perbaikan. Dia bolak-balik membongkar karyanya, merevisinya berulang kali, hingga menghasilkan karya yang menurut ia sudah tepat.
Tapi ada juga puisi yang bisa ia buat hanya dalam hitungan menit. Misalnya, saat mengikuti acara pemberkatan pernikahan seorang teman, dia spontan membuat puisi tulisan tangan yang kemudian ia berikan sebagai hadiah pernikahan.
Joko Pinurbo (atas, kedua dari kiri) berziarah saat acara peringatan kematian wartawan Harian Bernas Jogja, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, di tempat pemakaman umum Trirenggo, Bantul, Yogyakarta, pada 2015. Dok. AJI Yogyakarta
Begitu pula saat ia menulis puisi khusus untuk mengenang wartawan harian Bernas Jogja, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Pada Agustus 2015, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta menggelar acara peringatan meninggalnya wartawan Udin.
Saat itu Jokpin menggenggam selembar kertas bertulis tangan di Tempat Pemakaman Umum Trirenggo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Puisi yang dia ciptakan khusus untuk mengenang Udin yang dibunuh karena menulis berita secara kritis itu ia beri judul “Ziarah Udin”.
“Puisi ‘Ziarah Udin’ khusus saya tulis dengan tangan. Selama ini hanya satu-dua puisi yang saya tulis tangan,” kata Jokpin yang menulis puisi tersebut sehari sebelum ia berziarah bersama sejumlah anggota AJI Yogyakarta.
Puisi dengan tulisan tangan Joko Pinurbo tentang wartawan Harian Bernas Jogja, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin. Dok. AJI Yogyakarta
Menurut Nurnaeni, bagi mendiang suaminya, penulis puisi adalah profesi. Dia sangat menekuni profesinya seperti orang lain menekuni pekerjaan mereka.
Meski begitu, Nurnaeni menambahkan, Jokpin tak punya ruangan khusus untuk menulis. Ia biasa menulis di meja kerja yang terletak di dekat ruang tamu, menghadap teras. Dia sangat berkonsentrasi dan bisa bekerja lembur berhari-hari.
Jokpin menulis puisi pada buku catatan, merevisinya berkali-kali, lalu bagian akhirnya ia taruh di laptop. Aktivitas favoritnya saat dia sedang tidak di depan laptop adalah duduk-duduk sembari ngopi di kursi butut di depan dapur. Bila ada teman atau tetangga yang datang, dia mengobrol dengan mereka di situ.
Bila tidak sedang menulis, Jokpin banyak menghabiskan waktunya dengan membaca. Ia banyak menggali pengetahuan dan membaca karya-karya penyair lain. “Dia sangat tekun dan serius,” tutur Nurnaeni ketika ditemui Tempo di sela misa arwah di Perkumpulan Urusan Kematian Yogyakarta, Sabtu, 27 April 2024.
Sastrawan dan aktor Landung Simatupang mengungkapkan, pada 1980-an, Jokpin menciptakan puisi bertema religiositas yang kaku dan formalistis. Puisinya lalu berkembang menjadi jenaka. Dia piawai merangkai kata-kata dengan sederhana sehingga puisinya gampang dipahami bahkan oleh mereka yang tak menyukai puisi.
Baca Juga:
Semua orang bisa memahami puisi Jokpin, meski tidak semuanya bisa mengerti akan lapisan-lapisan makna yang terkandung. Melalui kemampuan itu, Jokpin meraih popularitas sekaligus dihormati rekan-rekannya sesama sastrawan.
Puisi Jokpin berbicara tentang hal remeh-temeh, seperti kaleng biskuit Khong Guan, celana, bulan, kuburan, telepon seluler, dan hilangnya dendam yang seperti pisau dicabut pelan-pelan dari cengkeraman luka. Ada juga yang membicarakan pentingnya kerinduan, perpisahan, Yesus yang naik ke surga memakai celana buatan ibunya, penunaian ibadah puisi, tukang cukur, senja, penjual kalender, dan tingting mangkuk bakso.
Syair-syairnya awet dan relevan dengan perkembangan zaman. Menurut Landung, Jokpin penyair yang menulis puisi dengan sangat serius. Bagi Jokpin, menulis puisi bukan perkara personal, apalagi sentimental. “Menulis puisi merupakan pekerjaan sungguh-sungguh. Menulis puisi perlu tekun membaca dan sabar mengoreksi tulisan,” ujarnya.
Hasilnya adalah puisi sederhana yang digemari banyak kalangan, termasuk anak-anak muda. Atas capaiannya, Jokpin menerima sejumlah penghargaan. Di antaranya Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001), Hadiah Sastra Lontar (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001), Kusala Sastra Khatulistiwa (2005), South East Asian Write Award (2014), dan Anugerah Kebudayaan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (2019).
•••
LAHIR di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962, Joko Pinurbo hidup sederhana. Pria yang punya nama baptis Philipus ini boleh dibilang tipikal orang yang tidak pernah membicarakan keburukan orang lain.
Tak seperti puisinya yang jenaka, Jokpin orangnya biasa saja. Menurut Nurnaeni Firmina, istrinya, dia jarang bercanda. Tapi celetukannya sering membuat sang istri tertawa.
Seperti kebanyakan puisinya, Nurnaeni menyebutkan, Jokpin boleh dibilang tidak romantis. Saat berpacaran pun Jokpin tak pernah membuat puisi untuknya.
Namun ia menulis surat dalam bentuk tulisan tangan yang panjangnya hampir satu buku tulis. “Bukan berisi rayuan romantis, tapi tentang diri dan keluarganya,” ucap Nurnaeni.
Penulis sekaligus sahabat Jokpin, Dorothea Rosa Herliany, mengenang dia sebagai orang yang serius dalam keseharian dan ketika berkarya. Menurut Dorothea, Jokpin seperti orang pada umumnya. Namun gaya bercanda Jokpin hanya bisa dipahami orang jika benar-benar sudah dekat dan akrab.
Dorothea menuturkan, Jokpin mudah bergaul dengan siapa saja karena ramah dan bersahaja. “Mirip puisi-puisinya yang sederhana," kata Dorothea ketika dihubungi Tempo, Ahad, 5 Mei 2024.
Penulis Dorothea Rosa Herliany (kiri) bersama penyair Joko Pinurbo menerima piagam dalam acara malam pengumuman pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa ke-15 di Jakarta, Januari 2016. Dok. Tempo/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Puisi-puisi Jokpin lahir dari kepekaan dan kehalusan rasa dalam menghadapi realitas. Semua muncul setelah direnungkan dan direfleksikan secara mendalam, sebelum kemudian diolah menjadi karya.
Kepada Dorothea, Jokpin sering menceritakan buku-buku yang ia sukai ketika bersekolah di Seminari Mertoyudan. Selain menyukai karya sastra Indonesia, ia gemar membaca sastra terjemahan karena waktu itu banyak terjemahan sastra asing ke bahasa Indonesia koleksi perpustakaan seminari tersebut.
Jokpin sering menyebut Sapardi Djoko Damono, bukan Chairil Anwar, sebagai salah satu penyair yang ia sukai. Ia juga sangat antusias ketika membicarakan karya sastrawan Iwan Simatupang.
Suatu ketika, Dorothea mengungkapkan, Jokpin pernah bercerita punya buku puisi perdana berupa stensilan seperti halnya kebiasaan para penyair lain. Judul buku puisinya Selamat Malam.
Yang menarik, Dorothea melanjutkan, Jokpin menyebut dirinya aktif di forum permenungan tunggal yang anggotanya hanya ia seorang. Forum itu ia sebut dalam bukunya. “Ia memang sering lucu," tuturnya.
Dorothea satu perkuliahan dengan Jokpin di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan Sanata Dharma, yang kini bernama Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dorothea satu angkatan di bawah Jokpin. “Jokpin lulus tahun 1987.”
Mereka saling mengenal ketika sama-sama aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Jokpin lebih dulu aktif dalam organisasi tersebut. Saat itu mahasiswa seangkatan Dorothea sudah memanggil Joko Pinurbo dengan Jokpin.
Dorothea dan Jokpin sama-sama menyukai bidang tulis-menulis dan mengurus majalah jurusan. Setelah itu, mereka mengurus majalah kampus bersama mahasiswa lain. “Dari situ mulai ada ikatan khusus di antara kami,” ucap Dorothea.
Ikatan khusus itu membuat mereka kian akrab. Namun ada juga masa-masa ketika mereka tidak saling bertemu karena kesibukan masing-masing. Misalnya, setelah Dorothea lulus kuliah, keduanya malang melintang dalam dunia sendiri-sendiri.
Dorothea aktif di bidang sastra, jurnalistik, dan kepenulisan lain, sementara Jokpin bergelut di dunia akademis. Jokpin menjadi dosen di almamaternya, kemudian menjadi editor dan bekerja kantoran.
Baca Juga:
Mereka bertemu kembali di Indonesia Tera. Pada 1999, Dorothea mendirikan penerbitan Indonesia Tera di Magelang. Penerbit ini dalam perjalanannya dikenal sebagai penerbit buku sastra. Tapi, karena kesulitan modal, buku pertama yang diterbitkan bukan buku sastra, melainkan buku pendidikan, yakni tulisan seorang pakar pendidikan, Henry Alexis Rudolf Tilaar. Buku itu ternyata laku dan bisa dicetak ulang beberapa kali, yang membuat mereka bisa menerbitkan buku sastra.
Buku sastra pertama yang diterbitkan adalah kumpulan puisi karya Joko Pinurbo berjudul Celana. Buku ini mengantar Jokpin mendapatkan Hadiah Sastra Lontar pada 2001. Inilah buku yang mendekatkan Jokpin dengan Dorothea.
Jokpin sering bercanda di depan orang banyak atau saat dia menjadi pembicara. Kepada Dorothea, dia mengatakan bahwa Celana adalah buku percobaan di Indonesia Tera karena banyak salah tik.
Menurut Dorothea, biasanya Jokpin menyampaikan hal itu dengan rasa sayang dan sebagai kenangan indah karena buku tersebut adalah titik tolak yang kemudian membawanya menjadi penyair yang banyak dikenal orang.
Jokpin kemudian meraih sejumlah penghargaan. Dia pernah mengungkapkan bahwa buku puisi Celana menjadi pemicu kreativitasnya karena pada tahap selanjutnya ia menemukan ide baru. Ia kemudian mengeksplorasi obyek-obyek lain, peristiwa sehari-hari yang sederhana, misalnya, yang malah sering dialami banyak orang.
Setelah buku pertama Jokpin, mereka menerbitkan buku puisi kedua, Pacar Kecilku. Sampul dan isi buku puisi ini sangat memuaskan Jokpin. Adapun buku puisi ketiganya berjudul Di Bawah Kibaran Sarung.
Selain menerbitkan buku, mereka ikut mengelola Jurnal Puisi dan Matabaca pada 2000-an yang digarap penerbit Indonesia Tera. Jurnal Puisi adalah satu-satunya jurnal berkala yang secara khusus mengulas puisi. Sedangkan Matabaca satu-satunya majalah khusus perbukuan.
Jokpin harus bolak-balik Yogyakarta-Magelang untuk mengurus keduanya selama lima tahun. Dia mengerjakan hal teknis seperti keredaksian hingga artistik. “Setiap satu bulan sekali Jokpin naik bus ke Magelang dari Yogya untuk mengurus majalah-majalah itu,” kata Dorothea.
Sejak Jokpin dan Dorothea saling mengenal sebagai rekan sejawat, hubungan mereka bertambah dekat. Namun, bila sedang mengobrol, mereka malah jarang membicarakan dunia kepenyairan. Jokpin lebih sering membicarakan keluarganya, orang tuanya, atau salah satu kakaknya. “Kedekatan hubungan kami lebih ke kekeluargaan,” ujar Dorothea.
Sekitar tujuh tahun belakangan, mereka membahas masalah kesehatan Jokpin. Sebelumnya, Jokpin menceritakan bahwa saat kecil ia sering sakit-sakitan. Ia sudah merasa payah secara fisik dan kreativitas. Jokpin juga menyatakan ingin pensiun.
“Tentang pensiun ini, ia menyinggungnya kembali dua hari sebelum meninggal, saat saya datang menjenguknya dan kami sempat mengobrol berdua, dengan kondisi napasnya yang sudah tak baik. Saya sedih sekali,” tutur Dorothea.
•••
JOKO Pinurbo berpulang pada usia 61 tahun. Ia meninggal pada Sabtu, 27 April 2024, setelah menjalani perawatan intensif karena menderita asma bronkitis kategori kronis di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Tubuh Jokpin lemah sejak November 2023. Ayah dua anak itu bolak-balik menjalani perawatan serius di rumah sakit. Sejak kecil dia punya asma.
Dorothea Herliany mengungkapkan, kesehatan Jokpin sudah lama terganggu. Pada Januari 2002, Dorothea berangkat ke acara Winternachten Festival di Belanda bersama Jokpin dan sastrawan D. Zawawi Imron.
Dalam acara itu, kondisi fisik Jokpin sering lemah. Dorothea menduga, karena penyakit yang dideritanya, Jokpin tidak tahan akan cuaca dingin. Ia memang tidak mengeluhkan rasa dingin itu, tapi bibirnya tampak membiru dan wajahnya pucat.
Misa arwah penyair Joko Pinurbo di rumah duka, Bantul, Yogyakarta, 27 April 2024. Tempo/Shinta Maharani
Mereka sering harus naik-turun tangga stasiun untuk berganti kereta, berpindah ke jurusan lain, sementara koper mesti selalu dijinjing. Jokpin sering tak kuat membawa kopernya. Dorothea yang masih bertenaga membantu mengangkatnya.
Pengalaman mengesankan terjadi ketika mereka berkunjung ke rumah seorang teman penulis yang sudah lama tinggal di sebuah desa di Belanda. Suatu hari, mereka bepergian dan harus berpindah-pindah kereta.
Udara bertambah dingin. Hari bertambah gelap. Tanpa mereka sadari, kereta yang mereka tumpangi adalah kereta terakhir. Padahal mereka masih harus melanjutkan perjalanan satu rute lagi.
Mereka seperti terjebak di sebuah stasiun entah di mana waktu itu. Stasiunnya sangat sepi. Saat mereka keluar dari stasiun, daerah itu benar-benar sangat sepi. Mereka kebingungan. Waktu itu belum ada ponsel.
Mencari atau memanggil taksi pun bukan hal yang mudah, tidak tinggal menyetop di jalanan sebagaimana di Indonesia. Tak ada orang yang bisa mereka tanyai. Daerah itu sungguh sangat sepi. “Hotel, tak kami tahu ada di mana. Hanya bangunan-bangunan dengan lampu-lampu redup,” kata Dorothea.
Baca Juga:
Namun entah bagaimana akhirnya mereka bisa mendapatkan taksi dengan sopir yang serba formal, baik pakaiannya maupun gerak-geriknya saat menyetir mobil. Dia sangat sopan dan bersikap penuh hormat kepada penumpangnya. Mereka merasa agak lega, tapi tetap tegang. Mereka bertiga tidak berbicara.
Menurut Dorothea, perjalanan dengan taksi itu ternyata lama sekali. Taksi melewati desa-desa, area persawahan, dan kincir angin, tak sampai-sampai ke tempat tujuan. Ketika akhirnya mereka sampai, tuan rumah sudah menunggu dengan cemas.
Esoknya, barulah Jokpin sempat bercerita tentang acara Winternachten. Ia terkesan melihat banyaknya orang yang datang ke sebuah acara puisi tatkala peminat puisi di Indonesia belum sebanyak itu.
Para hadirin tampak sebagai orang yang serius dan membaca karya-karya para penyair yang ditampilkan dalam acara tersebut. Itu adalah bentuk penghargaan dan pengalaman yang berarti bagi Jokpin.
“Sampai ia meninggal, yang saya tahu tentang Jokpin adalah bahwa penghargaan kepada puisi, kepada karya, adalah hal yang sangat dihargai Jokpin,” ucap Dorothea.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Friski Riana berkontribusi pada penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Ia yang Mendedikasikan Hidup kepada Puisi."