Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah lebih dari 30 tahun tinggal di negeri orang, dia kembali menjejakkan kaki di tanah kelahirannya pada Oktober 2009. Usianya sudah 84 tahun. Teungku Hasan Muhammad di Tiro datang dengan pesawat carteran dari Malaysia. ”Beliau ingin tinggal terus di Aceh selama sisa hidupnya,” kata Musanna Tiro, ajudan pribadinya, kepada Tempo, awal Januari lalu.
Di Aceh, Hasan Tiro selalu dipanggil Paduka yang Mulia. Tubuhnya telah renta ketika kembali menghirup udara Aceh. Namun Hasan Tiro masih bisa mengunjungi tanah kelahirannya di Pidie, sekitar 110 kilometer dari Banda Aceh. Setelah itu, Hasan Tiro dirawat di Rumah Sakit Umum Dr Zainoel Abidin, Banda Aceh, karena gangguan pernapasan. Ia juga sempat dirawat di sebuah rumah sakit di Malaysia.
Kamis pekan lalu, Sang Paduka kembali ke hadirat Sang Pencipta. Dia wafat karena komplikasi penyakit jantung dan paru-paru. Aceh dan Indonesia pun berduka. Seantero Aceh mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang selama empat hari. Dari Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengirim ucapan duka.
Hasan Tiro lahir di Kampung Tiro, Pidie, dari keluarga bangsawan. Pada awal 1948, ia menjadi anggota staf Wakil Perdana Menteri II Syafruddin Prawiranegara. Hasan Tiro pernah menjadi duta Aceh untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Ia juga pernah menjadi pengusaha di bidang minyak, emas, timah, dan permukiman.
Kekecewaan terhadap pemerintah membuat Hasan angkat senjata di hutan Aceh pada 1976. Lahirlah Gerakan Aceh Merdeka. Beberapa tahun di gunung, ia hengkang ke Malaysia karena diburu tentara. Dari Malaysia, ia kemudian mendapat suaka politik—disusul kewarganegaraan—di Swedia, pada akhir 1979.
Pada masa mudanya Tiro banyak menulis. Selain Drama and Legal Status of Acheh Sumatra, ia pernah menulis The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro. Buku 226 halaman ini merupakan catatan hariannya ketika ia berperang di hutan Aceh pada 1976-1979.
Hasan Tiro menggugat konsep ke-Indonesia-an dan menganggap Aceh seharusnya menjadi negara berdaulat. Dalam artikel yang ditulis pada November 1980, The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law, Tiro menyatakan penyerahan kedaulatan Aceh dari Belanda ke Indonesia pada 1949 sebagai sesuatu yang ilegal. Basis hukum yang dipakainya adalah Resolusi PBB yang mewajibkan negara kolonialis menyerahkan daerah jajahannya kepada penduduk asli.
Indonesia, menurut Tiro, bukanlah penduduk asli Aceh. Di mata Tiro, Indonesia adalah negara yang dipaksakan keberadaannya oleh Soekarno. Daerah seperti Aceh, Padang, Maluku, dan Kalimantan sesungguhnya punya hak untuk menjadi kawasan yang berdaulat.
Menurut dia, perjuangan kemerdekaan melawan Belanda dari setiap daerah adalah upaya setiap anak bangsa untuk membebaskan kawasannya sendiri dan bukan untuk ”Indonesia”.
Situasi berubah setelah bencana tsunami menerjang Aceh pada 2005. Indonesia dan kelompok GAM setuju duduk di meja perundingan. Perdana Menteri GAM Malik Mahmud serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin menandatangani kesepakatan damai di Helsinki, Finlandia.
Dalam kesepakatan damai itu, GAM diberi kompensasi ekonomi dan politik sebagai imbalan tak lagi melakukan perlawanan. GAM diperbolehkan mendirikan partai lokal. Para tokohnya berhak kembali menjadi warga negara Indonesia. Hasan pun kembali ke tanah kelahirannya, tiga tahun setelah perjanjian itu. Sebelum wafat, dia menerima sertifikat tanda kembali menjadi warga negara, yang diserahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Joko Suyanto.
Aceh menjadi daerah otonomi khusus yang menerapkan syariat Islam. Pemerintah Aceh mengangkat Hasan Tiro sebagai Wali Qanun. Selama di Aceh, Hasan selalu menyempatkan diskusi tentang masa depan Aceh. Ketika itu, ia tinggal di daerah Lamteumen, Banda Aceh, dengan pengawalan bekas kombatan GAM.
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengatakan Hasan sering mengeluhkan kadar gulanya yang rendah. Hasan selalu memeriksakan kesehatannya jika merasa letih dan merasakan kadar gula darahnya tak stabil.
Dalam ceramah yang sendu melepas jenazah Hasan Tiro, ulama Aceh Tengku Muhibuddin Mudawali berkata, ”Semoga kita semua menjaga amanah Wali untuk terus menjaga perdamaian abadi di Aceh.” Paduka telah mangkat meninggalkan perdamaian di negeri yang ia cintai.
Yandi M.R. (Jakarta), Adi Warsidi (Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo