Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pameran Lukisan Di Oet's

Pelukis, hasil karya lukisannya yang berbau keindonesiaan yang kuat, dipamerkan di oet's gallery, jakarta. (sr)

12 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA tahun 1940-an, siapa tak kenal dua bersaudara pelukis, Agus dan Otto Djaya? Yang satu ini diketahui menjadi ketua Persagi (Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia, yang berdiri pada 1937). Juga dikenal sebagai pelukis yang menyajikan bau keindonesiaan yang kuat, banyak diilhami bentuk figur pada relief candi. Itu Agus Djaya. Lalu adiknva. Otto. diakui beberapa pengamat seni rupa sebagai pelukis yang mampu menangkap semangat kesenian rakyat dan menuangkannya kembali pada kanvas dengan gaya merakyat pula. Tapi itu dulu hampir 40tahun yang lalu, ketika umur seni luks modern Indonesia belum 15 tahun, ketika sekolah dan akademi seni rupa belum lahir. Kini seni rupa Indonesia menjelang setengah abad. Para pelukis,yang tak lagi takut tak berciri Indonesia, pada muncul.Dan karya-karya Agus dan Otto Djaya tiba-tiba bisa tampak kuna. itu bisa dibuktikan diOet's Gallery,Jakarta, bulan ini. Di situ 27 lukisan Agus dan 20 lukisan Otto dipamerkan bersama. Entah mengapa, begitu masuk galeri itu terasa suasana masa lalu menyergap - padahal lukisan yang dipasang sebagian besar bertahun 1970-an dan 1980-an. Ada Nostalgia: dua perempuan telanjang di tepi pantai, dan di kejauhan tampak seorang nelayan jongkok. Ada potret diri Agus Djaya dan seorang model telanjang di depan cermin. Ada lukisan perempuan penuai padi bertelanjang dada. Kurang jelas sebenarnya yang mau dikomunikasikan Agus ini. Dari segi bentuk, ia sama sekali tidak menjanjikan apapun. Bahkan wujud figur yang dulu kerelief-reliefan itu kini menipis. Agus sudah cenderung menyuguhkan bentuk realistis, sementara temanya sekadar peristiwa sehari-hari yang ditangkap dengan netral. Maka, meski sebuah lukisan Pulang. Perang 1977, membuktikan masih adanya upaya kreatif pelukis kelahiran Pandeglang, JawaBarat, 70 tahun yang lalu ini, kenyataan itu seperti tak ada artinya. Lukisan itu menggambarkan seorang yang tinggal kerangka, menunggang kuda. Sebuah gambaran kengerian perang? Tak ada terasa. Kecenderungan ke arah realisme pada diri pelukis ini melenyapkan napas simbolistis karya karyanya. Hasilnya, lukisannya sekarang cenderung ilustratif. Adapun Otto Djaya, tiga tahun lebih muda dari abangnya, tetap setia dengan temanya yang Jelata. Ia masih saja menggambarkan tari-tarian daerah dengan gemuruh, dengan warna-warni, dengan sapuan yang menggerakkan sepenuh bidang gambar. Yang hilang dari pelukis ini, justru, semangat kerakyatan itu sendiri. Kesenian yang tampil pada kanvasnya tak lagi mengharukan. Tari-tari rakyat yang digambarkannya seolah dilukis dari acara pertunjukan di televisi atau paket turis. Memang, satu dua karya Otto masih boleh. Masih mengingatkan pada salah satu lukisan empunya, Pertemuan, 1947 - yang menggambarkan seorang perempuan duduk dipinggir ranjang, terbuka bajunya, dan seorang lelaki berpici duduk pula di sampingnya, agak berjarak, memandangnya mesra.Di situ ada cerita muncul dari adegan pertemuan dua makhluk, di sebuah tempat,yang bisa memberikan macam-macam asosiasi. Bukan hanya cara Otto menghadirkan komposisi yang harus dianggap cemerlang disitu. Gaya perempuan itu duduk, yang seperti hendak naik keranjang, sementara lelaki itu melipat sebelah kaki dengan santainya,harus dipuji. Juga bagaimana Otto menghadirkan suasana akrab, hingga lukisan itu tidak mirip sebuah adegan sandiwara. Dekat dengan semangat itu adalah Memberi Restu pada Pengantin, 1983, juga lukisan Otto.Jauh dari sikap canggih, seniman ini menggambarkan tamu-tamu berderet lurus dari sisi ke sisi ang lain pada kanvas. Datar jadinya, memang. Tapi justru ini memberikan kesan lucu. Keasyikan para tamu bersalaman dengan sesama tamu, ketawa bercanda, sementara pengantinnya sendiri tak tampak di kanvas, justru menjadi jelas dengan formasi yang datar itu. Akhirnya, memang tak ada rumusan yang jelas. Bertahan pada ciri khas sendiri tak selalu menjamin lahirnya karya bermutu - seperti pada Agus dan Otto ini. Tapi mengubah gaya juga belum jaminan. Tapi ketak jelasan ItU, mungkln, yang men)adlkan dunia seni tetap menarik. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus