DALAM empat bulan mendatang Dewan Pers (DP), yang baru dilantik awal Mei ini, tampaknya akan sibuk memikirkan rumusan peraturan pelaksanaan untuk undang-undang tentang Surat Izin Usaha Perusahaan Penerbitan (SIUPP). Dalam kegiatan ini terkandung harapan yang menyangkut kesejahteraan bagi wartawan. Setelah dilantik Menteri Penerangan Harmoko di Jakarta, Kamis pekan lalu, DP 1984-1987 yang beranggotakan 25 orang langsung menyelenggarakan sidang plenonya yang ke-24 di Hotel Aryaduta Hyatt.Sidang ini menugasi Pengurus Harian yang diketuai B.M. Diah, 67, pimpinan redaksi harian Merdeka dan majalah Topik memperinci masalah yang dikemukakan Menpen dalam pidato pelantikan pekan lalu itu. Untuk ini. DP membentuk dua komisi komisi Idiil diketuai Zulharman Said, 50, Ketua umum PWI Pusat, dan Komisi Materiil diketuai Jakob Oetama, pemimpin redaksi harian Kompas. Penyusunan peraturan pelaksanaan UU tentang SIUPP itu sudah harus selesai "Agustus tahun ini," kata Diah kepada TEMPO. Rumusan peraturan pelaksanaan itu akan disusun rapat gabungan kedua komisi. "Inilah kesempatan bagi wartawan untuk memiliki saham perusahaan," ujar Zulharman. Dan Diah menilai, "Ini penting sekali. DP akan berusaha untuk itu." SIUPP sudah dicanangkan Juni 1982, ketika Menteri Penerangan Ali Moertopo menyampaikan rencana perubahan UU Pokok Pers di DPR. SIUPP yang akan menggantikan Surat Izin Terbit (SIT) - yang diatur peraturan peralihan UU Pokok Pers 1966 - tergolong code of enterprise. Menurut Prof. Oemar Senoadji, SIUPP lebih memberi tekanan pada faktor ekonomis dan manajemen perusahaan. Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Sukarno, S.H., yang kini menjadi sekretaris DP, mengatakan bahwa SIUPP lebih baik karena ia antara lain mengandung gagasan pemerataan ke dalam perusahaan,lewat pemilikan saham oleh karyawan (TEMPO, 10 Juli 1982). Tapi hingga kini bentuk pemerataan yang akan ditumbuhkan SIUPP belum jelas. Dikalangan penerbitan media massa di Indonesia pun, pemberian saham kepada karyawan masih sangat terbatas. Rumusan pelaksanaan yang dirancang DP hingga Agustus nanti diharap banyak berperan, walaupun pada akhirnya ia akan ditentukan pemerintah. Pemerintah sendiri mungkin mengharapkan gagasan yang lebih banyak dari DP. Seperti dikatakan Sukarno, peranan DP sangat penting di situ. Mungkin itulah sebabnya jumlahanggota Dewan bertambah. Dewan Pers 1984-1987, yang diangkat berdasarkan Keppres no. 72, 2 April 1984,antara lain beranggotakan lima orang yang berasal dari pemerintah, termasuk Menpen Harmoko, ketua DP, dan Jaksa Agung Muda S. Nugroho. Dari kalangan PWI terdapat delapan anggota, sedangkan seorang lagi, M.Wonohito dari SK Kedaulatan Rakyat, Togya, meninggal dunia empat hari setelah Keppres itu dikeluarkan, dan belum ada penggantinya. Unsur SPS diwakili enam anggota antara lain H.J. Djok Mentaya dari Banjarmasin Pos. Serikat Grafika Pers diwakili satu orang serta Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia diwakili Indra Abidin.Tiga anggota lainnya dari perguruan tinggi,wakil masyarakat, dan Dr. Alfian dari LIPI. Menteri Penerangan dalam pidato pelantikan Juga menyinggung rencana peningkatan oplah surat kabar dan majalah serta perluasan kelompok pembaca surat kabar. Tetapi menurut Diah, persoalan ini akan menyangkut kebutuhan kertas koran, yang hingga kini masih diimpor. Zulharman memang menyatakan, hendaknya pers diberi fasilitas, misalnya dalam memperlancar sirkulasi. Dan tentang pertambahan halaman tampaknya belum ada rencana kongkret dari DP. Di antara 267 penerbitan yang mendapat izin dewasa ini, 95 surat kabar harian mencatat oplah lebih dari 3,3 juta eksemplar, dan 27 majalah mingguan dengan oplah lebih dari 1,3 juta eksemplar. Pukul rata, setiap surat kabar harian akan punya oplah sekitar 34.000 eksemplar. Jumlah ini tentu berada jauh di bawah oplah Kompas, yang Desember 1983 saja sudah mencatat 411.000 eksemplar. Yang ada hubungannya dengan soal oplah ialah batasan "pers kuat" dan "pers lemah" yang juga belum kunjung jelas. Agaknya, menentukan batasan yang jelas turut menjadi beban DP.Hingga sekarang, di beberapa daerah sudah terdapat pers yang dapat disebut kuat dibandingkan beberapa penerbit yang ada di Jakarta sekalipun. Tetapi mereka masih lemah kalau dibandingkan dengan satu dua penerbit lain. Maret 1981 silam, DP menentukan perimbangan berita dan iklan 65%:35% untuk surat kabar dengan jumlah halaman maksimum 12.Lantas, biro iklan diserukan untuk berorientasi pada aspek pemerataan dan penembangan pers nasional. Tampaknya, keinginan pemerataan yang dikehendaki ketentuan ini tak tercapai. L.E. Manuhua, pemimpin redaksi Pedoman Rakyat Ujungpandang - kini anggota DP - pernah menyatakan pesimistis akan hal itu. Bagaimanapun, DP yang baru dilantik ini diharapkan berhasil mengembangkan gagasan untuk berbagai masalah pers yang selama ini hanya didiskusikan saja. Untuk SIUPP misalnya, masalah pemberian dan pencabutannya tentu berbeda dengan SIT. Akibat pencabutan SIUPP, suatu media bukan saja dilarang terbit, tetapi juga usaha penerbitan dibekukan. DP tampaknya ditantang untuk membenahi banyak masalah - yang mungkin sifatnya lebih mendasar, terutama bagi penerbitan, kebebasannya, dan wartawannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini