SELAIN ternama, Arsitek Paul Rudolph terbilang sosok penting dalam sejarah perkembangan arsitektur dunia.Minggu lalu, arsitek yang akan menangani sebuah perkantoran berlantai 24 di Jakarta - Wisma Dharmala (TEMPO,]8 februari 1984) itu muncul di Jakarta mengiringi pamerannya di Taman Ismail Marzuki. Namun, Paul Rudolph tidak terlihat secara utuh pada pameran itu. Materi pameran hanya berupa tiga perencanaan Iengkap karya-karyanya vang agaknya paling akhir. Selain Wisma Dharmala (1982), dipamerkan pula rencana sebuah pertokoan (1979) dan sebuah permukiman (1980), keduanya di Singapura. Padahal, sisi "besar" Paul Rudolph sebenarnya adalah keperintisannya pada masa-masa awal arsitektur modern bukan masa kini. Sesudah Perang Dunia II, Paul Rudolph bersama dua arsitek besar, Le Corbusier dan Eero Saarinen, disebutkan sebagai menghembuskan napas baru dalam arsitektur modern, yaitu "Sensualisme Baru" dengan menghadirkan bangunan-bangunan yang skuptural (mirip patung). Sedangkan pada masa itu menerapkan bidang- bidang rata yang plastis pada bangunan - yang mengingatkan orang pada patung - terbilang radikal. Pada saat itu, kecenderungan umum adalah gaya yang menekankan fungsi. "Fanatisme fungsi", yang dicetuskan gerakan Bauhaus di Jerman, beranggapan bahwa bentuk-bentuk yang melulu bertujuan menampilkan keindahan pada bangunan adalah percuma dan berlebihan. Lewat slogan terkenal "bentuk mengikuti fungsi"gerakan Bauhaus menggariskan,bentuk bangunan hendaknya sepanjang fungsinya. Paul Rudolph, 66, menentang pengiritan bentuk demi fungsi itu.Ia lebih suka pada bentuk yang sensuai yang tak selalu harus berfungsi secara langsung. Sampai kini, ia masih memegang teguh prinsip yang dicetuskannya hampir 40 tahun yang lalu itu. Dalam ceramahnya di Hotel Hilton pekan lalu, bak seorang pelukis atau pematung, ia kembali mengkaji pentingnya ekspresi pada karya seorang arsitek. "Arsitektur merupakan ungkapan gejolak jiwa," ujarnya. Dan karya-karyanya yang mutakhir di pameran memang tampil bagai patung. Tapi bentuk-bentuk sensuai bukan satu-satunya prinsip pada karya-karya Paul Rudolph. Sejak tahun 1950, sejumlah kritikus menyebutkan kecenderungannya bersama arsitek keturunan Jepang Minoru Yamasaki - sebagai"Formalisme Baru" yang merupakan pengecmbangan perinsip arsitek besar Mies van der Rohe. kecenderungan ini pada dasarnya percaya pada perbandingan bentuk yang dihitung berdasarkan skala. Tiga karya Paul Rudolph yang dipamerkan di TIM menampilkan dengan tegas kepercayaan pada skala itu. Baik pada Wisma Dharmala maupun dua bangunan di Singapura itu muncul pengulangan-pengulangan bentuk. Pada Wisma Dharmala, tampak pada irama bentuk yang menyerupai atap pada tubuh me nara. Prinsip inilah yang mungkin membuat Kritikus Budi Sukanda kurang percaya ketika arsitek kelahiran Amerika Serikat itu mengutarakan irama atap itu sebagai arsitektur tradisional Indonesia "Terlalu dicari-cari," ujar sarjana sejarah dan teori arsitektur lulusan Architectral Association Gradrate School, London,itu. "Paul Rudolph sudah lama mempunyai ciri itu," kata kritikus itu sambil mengimbau: jangan terlampau cepat menyimpulkan Wisma Dharmala sebagai contoh "Arsitektur Indonesia" yang sering dimasalahkan. Kendati tak menyangkal Paul Rudolph sebagai arsitek besar,Budi Sukanda cenderung berpen dapat bahwa Wisma Dharmala tak menjawab tantangan arsitektur masa kini. Kritikus itu beranggapan, Paul Rudolph terlalu bertahan pada prinsip-prinsip lama. Paul RudoIph sendiri mengakui bahwa memang tak sejalan dengan perkembangan arsitektur paling akhir. Secara tak langsung tampak pada sikapnya yang anti-Gaya Internasional yang percaya, arsitektur hanya menuju satu gaya yaitu arsitektur yang ekonomis. Arsitektur Indonesia agaknva berada dipersimpangan jalan.Artinya, masih banyak pilihan yang perlu dikaji Karena itu, arsitek terkenal, Suwondo, agaknya tak sependapat dengan Sukanda. "Saya tak setuju arsitektur didekati dengan pendekatan ekonomis,'' ujarnya. Menunjuk salah satu contoh, arsitek yang juga dosen Universitas Indonesia itu sangat khawatir melihat perkembangan "bangunan kaca" pencakar langit di Jakarta."Sudah sampai taraf merusakkan," katanva,"karena itu, karya Paul Rudolph mudah mudahan bisa menyetop kelatahan bangunan kaca." Namun, dalam hal menjawab masalah arsitektur di Indonesia, Suwondo agaknya sepaham dengan Sukanda. Betapa pun besarnya nama Paul Rudolph, tak semua masalah lokal" bisa dipecahkannya. Suwondo menunjuk sebuah kesalahan yang sangat mendasar. Paul Rudolph, kata Suwondo, pada pra rencana ternyata tidak memperhitungkan kemungkinan gempa. Selain struktur Wisma Dharmala sangat mudah diguncang gempa,menurut Suwondo, pondasi pada perencanaan Paul Rudolph sama sekali tidak memperhitungkan guncangan bumi. Belakangan, masalah gempa itu memang dikaji. Tapi karena Paul Rudolph tak mau mengubah desainnya.terpaksa bagian pondasi yang diperbaiki.Salah satu akibatnya,biaya pelaksaan melonjak. Toh Dharmala Group, pemesan bangunan itu, tidak keberatan dalam arti,siap "membeli barang mahal", dan juga siap menghadapi keinginan Seniman Paul Rudolph yang agaknya tak peduli biaya. Paul si arsitek besar itu memang mahal.Dalam wawancara dengan reporter TEMPPO,la mengakui honorarium yang didapatnya umumnya lebih tinggi 15% dari rekan- rekannya. Menurut Suwondo, untuk prarencana Wisma Dharmala saja, arsitek Amerika ini mendapat USS 400.000. Selain itu,pelaksanaan desainnya juga sangat mahal, karena ia tak memperkenankan pemasang kolom kolom beton penguat - agar tidak merusakkan bentuk dan pemandangan. Karena itu, konon, biaya pelaksanaan Wisma Dharmla mencapai Rp 1.000.000 tiap meter persegi. Pihak Dharmala Group pernah mengemukakan, Paul Rudolph yang mahal itu sengaja diminta karena Dharmala Group berniat membuat bangunan yang prestisius. Dan prestise ini dimaksudkan menarik penyewa bangunan perkantoran. Konon, karena pengalaman banyak bangunan perkantoran di Jakarta tak laku. Walaupun demikian,kemewahan Wisma Dharmala masih mengundang tanda tanya. Menurut perkiraan Suwondo. kalau pun kantor-kantor di wisma itu laku, baru 30 tahun biaya pembangunan bisa ditebus, alias kembali modal. Kalau begitu mahal, haruskah arsitek asing? Inilah yang masih perlu dijawab oleh gerakan "jasa Indonesia" - bukan cuma mencintai "produk Indonesia". Sebab, pencakar langit yang umumnya dibangun dengan bantuan modal asing biasanya disertai penunjukan seorang arsitek asing. Resminya sebagai pendamping, tapi merekalah yang mendesain. Pemerintah dan arsitek Indonesia, biasanya, juga diam saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini