Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ekspresi Hanafi Memaknai Pandemi

Sebanyak 65 karya Hanafi yang dibuat selama pandemi dipamerkan. Momen lebih intens bagi sang perupa untuk kembali menggunakan kertas.

13 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ekspresi Hanafi Memaknai Pandemi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kanvas tak lagi menjadi ruang imaji dalam karya Hanafi kali ini. Lembaran buku metrik kecil berukuran dua kali 14 x 28 sentimeter menjadi pengganti kanvas. Dalam pameran bertajuk "60 Tahun dalam Studio" di Galerikertas Studiohanafi, Depok, sejak 5 Juli lalu, itu digambarkan obyek yang mewakili personifikasi perupa bernama lengkap Hanafi Muhammad tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Pameran kali ini tidak biasa, karena material yang digunakan kembali pada media dasar kertas. Pandemi membuat kerja menjadi terbatas, termasuk keterbatasan materialnya," ujar pelukis alumnus Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta itu kepada Tempo, Kamis lalu. Ia menganggap pengalihan material itu sebagai caranya yang paling personal untuk melihat situasi pandemi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan hanya kertas, perupa kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 5 Juli 1960, itu juga mengganti roller cat menjadi kuas kecil yang bisa dijangkau oleh ujung ruas-ruas jarinya. Kegamangan ini pun ia utarakan lewat beberapa lukisan roller cat yang tersangkut masker, jagung bakar, hingga puntung rokok. Hanafi memaknai hal itu sebagai upaya lepas pada suatu kondisi keterbatasan.

Menurut Hanafi, keterbatasan memberi petunjuk untuk mencari jalan lain dalam merespons situasi. Selama pandemi, ia lebih leluasa melukis di mana saja, termasuk di meja makan. Itu meruntuhkan kebiasaannya yang bertahun-tahun berkarya di studio. Dan dalam setiap karya yang dipamerkan itu, muncul garis putih pemisah dua kertas yang disatukan untuk menjadi karya utuh. Ia memberi jarak sebagai pesan dan simbol penjarakan fisik dan sosial.

Kurator Galerikertas, Heru Joni Putra, menjelaskan pameran ini menampilkan 65 karya dari 100 karya yang diciptakan Hanafi selama masa corona ini. Menurut Heru, masa pandemi memberikan momen lebih intens bagi Hanafi untuk kembali menggunakan kertas meskipun medium itu pernah digunakan sebelumnya. "Memanfaatkan motorik halus menjadi media eksplorasi garis, yaitu sesuatu yang tidak dominan secara umum namun mendapatkan intensitas yang baru," ujar Heru.

Meskipun banyak menyuarakan ihwal keterbatasan ruang gerak, pakar semiotika Universitas Indonesia, Tommy Christommy, justru melihat lukisan-lukisan Hanafi sebagai pembuka ke ruang yang tidak terbatas. Misalnya pada lukisan mobil-mobil yang teronggok dengan selimut terpal biru di sebuah halaman belakang pabrik. Imaji dalam visual itu menggambarkan artefak latar industrial yang muram sejak adanya pandemi.

"Visual itu meluruhkan, hal yang selama ini kita lihat sebagai satu hal yang hebat dari sebuah industri, justru luruh," kata Tommy.

Warna gelap mencekam yang mendominasi menambah kesan horor dan kelamnya peradaban manusia selama dirundung wabah. Namun, tak melulu kemuraman, Tommy masih melihat optimisme dari goresan Hanafi lewat warna-warna cerah, meski tak dominan dan cenderung minor. Garis putih lurus vertikal yang dibuat Hanafi menjadi jangkar karena memberi kesan dikotomi namun penuh pertanyaan, sehingga mengundang pemirsa untuk memperhatikan terus-menerus.

Sisipan teks dengan kolaborasi visual menambah dalam makna karya pria kelahiran 1960 ini. Misalnya kalimat, "Sudah dibilang jangan keluar rumah, tapi masih saja," dengan metafora jagung bakar menjadi sangat eksplisit menggambarkan rumitnya situasi pandemi. "Penggabungan visual dan teks akan berdampak cukup besar terhadap signifikansi pada proses pemaknaan," ujar Tommy.

Dosen seni rupa dan desain Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Hujatnikajennong, melihat kualitas pengerjaan, baik dengan media sebesar tembok maupun sekecil lembaran buku, penguasaan bidang ruang, dan komposisinya, masih sangat identik dengan karya Hanafi. Meski digambarkan lewat komposisi asimetris, tidak lurus, ataupun sangat tidak wajar, makna karya Hanafi tetap bisa ditangkap secara satu kesatuan dari apa yang ditampilkan.

Kekuatan lain pun muncul ketika Hanafi menghadirkan obyek-obyek dengan makna personifikasi, misalnya peniti, puntung rokok, dan jagung. Ide-ide itu, menurut Agung, bisa dengan mudah tersampaikan karena datang dari kehidupan sehari-hari dan isu yang sangat besar seperti wabah Covid-19. "Itu bisa diekspresikan dalam satu proses tersebut." ***

 LARISSA HUDA

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus