Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pameran seni Occupied Truth: The Art Intifada berlangsung di Galeri Soemardja ITB Bandung hingga Senin, 23 Desember 2024.
Ekshibisi ini menampilkan 26 karya seniman Indonesia dan Palestina.
Kebanyakan karya mengangkat tema genosida Gaza dan perjuangan rakyat Palestina lewat intifadah.
BADANNYA yang telanjang tampak kerempeng dengan tulang rusuk menonjol di sekitar perut nan cekung. Dari lubang besar di bagian kiri, terlihat Masjid Al-Aqsa yang berkubah emas di dalam dada. Sedangkan kepala yang dibalut kain kefiyeh bermotif jaring terlepas dari leher, lalu diusung oleh kedua tangannya. Tanpa lelehan darah, lukisan buatan 1982 yang menggetarkan hati dan nyali itu hasil sapuan cat minyak Bashir Sinwar pada kanvas berukuran 84 x 104,5 sentimeter. Seniman kelahiran Palestina yang hidup pada 1942-2017 tersebut menyematkan judul karya Sacrifice.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pameran seni berjudul Occupied Truth: The Art Intifada di Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berlangsung pada 17-23 Desember 2024 itu, panitia menghadirkan 26 karya buatan 24 perupa. Menurut kurator pameran Inas Annisa Aulia, lima seniman di antaranya berasal dari Palestina yang karyanya tersimpan pada arsip digital The Palestinian Museum, termasuk Ruqayya Al-Lulu, Maisara Baroud, dan Bashir Sinwar. Secara khusus panitia juga meminta karya dari lima seniman yang juga dosen Seni Rupa ITB, yakni Tisna Sanjaya, Deden H. Durahman, Muksin M.D., Aminuddin T.H. Siregar, dan Agung Kurniawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Targets The Walls of Gaza Series karya Laila Shawa dalam pameran Occupied Truth The art of Intifada di Galeri Soemardja ITB, Bandung, Jawa Barat, 17 Desember 2024. TEMPO/Prima Mulia
Penyelenggara pameran, Student for Justice in Palestine ITB bersama The Palestinian Museum serta Against Dehumanization, juga berkolaborasi dengan lembaga sosial Tab Space yang mendukung seniman difabel untuk menampilkan dua karya dari Nuval Rizki dan Adryan Adinugraha. Tujuannya, agar ekshibisi ini bersifat inklusif.
Adapun mayoritas karya sebanyak 14 judul berasal dari seniman hasil undangan terbuka yang diseleksi. Para seniman yang terpilih yaitu Michael Ezekiel Parulian, BOYA, Muhammad Eric Priana, Nafis Jauhar, Fariq Ridwan, Galih Hermawan, Risca Nogalesa, M. Abdan, Fatih Jagad Raya, Washfa Fadilla, Zahra Azkiya Nabila, dan Yusa Widiana. “Kami ingin agar orang tidak lupa dan terus bersuara soal Palestina,” kata Inas kepada Tempo pada Selasa, 18 Desember 2024.
Menggunakan cat minyak hitam, seniman Tisna Sanjaya membuat lukisan baru berjudul Make Art No War pada kanvas berukuran 200 x 140 sentimeter. Seperti lukisannya belakangan ini yang menggunakan arang, Tisna menggambarkan situasi global yang kacau, berantakan, disertai tulisan "amnesia cultura" berhuruf kapital. Menurut dia, istilah itu menyiratkan kelompok masyarakat yang melupakan asal-usul sejarah, akar, dan kebudayaan mereka, seperti bangsa Yahudi lewat gerakan Zionisme di tanah Palestina.
Make Art No War karya Tisna Sanjaya dalam pameran Occupied Truth The art of Intifada di Galeri Soemardja ITB, Bandung, Jawa Barat, 17 Desember 2024. TEMPO/Prima Mulia
Sementara itu, Deden Hendan Durahman, yang memajang foto olahan di atas kanvas berjudul After the War #12; Palestine, berupaya mengungkap kenyataan semu setelah perang ketika narasi dan kebenaran dipermainkan oleh mereka yang mengendalikan media. Karyanya menggambarkan orang-orang bersosok siluet tengah melintasi jalanan penuh puing di tengah deretan bangunan bertingkat yang porak-poranda. Kritiknya disematkan lewat beberapa nama jenama global dari produk minuman ringan hingga fashion yang utuh di tengah kehancuran.
Adapun Michael Ezekiel Parulian, lewat karya berupa suara yang bisa diakses lewat tampilan quick response code berjudul Silent Night, Holy Night, menyuguhkan kolase bunyi berdurasi 1 menit 48 detik. Dia menyandingkan tembang bernuansa damai Malam Kudus dengan keriuhan suara laporan-laporan jurnalis yang mengabarkan kematian warga Palestina dari serangan tentara Israel.
Muhammad Eric Priana secara khusus menyoroti nasib anak-anak di wilayah konflik bersenjata. Karyanya yang berjudul Childhood Under Siege memadukan fotografi dan diorama berukuran 110 x 60 x 34 sentimeter. Dia membuat berbagai reka adegan dampak perang pada anak-anak dengan sudut-sudut tertentu dari dioramanya, lalu difoto sebagai karya akhir.
Di tengah suasana yang kelam itu, lukisan cat minyak Zahra Azkiya Nabila pada kanvas berukuran 90 x 70 sentimeter seakan-akan menawarkan kesegaran dan harapan. Berjudul The Olive Tree, karyanya menggambarkan buah pohon zaitun sebagai tanaman berharga di Palestina. Berumur sangat panjang dengan laju pertumbuhan yang lambat, pohon itu bernilai ekonomi dan sosial yang tinggi dari hasil budi daya dan penyebarannya secara luas.
Pameran Occupied Truth The Art of Intifada yang menghadirkan karya-karya seniman Indonesia dan Palestina di Galeri Soemardja ITB, Bandung, Jawa Barat, 17 Desember 2024. TEMPO/Prima Mulia
Gerakan prokemerdekaan Palestina dari ruang galeri seni ini makin dikuatkan oleh tampilan arsip sejarah hingga peristiwa mutakhir. Menurut Inas, pameran yang diinisiasi oleh Student for Justice in Palestine ITB dan dipersiapkan sejak tiga bulan lalu itu ingin membangkitkan kesadaran dan edukasi publik tentang konflik Israel-Palestina. “Kami enggak mendikte orang untuk berpikir seperti apa. Silakan lihat dan olah sendiri, sehingga di ujungnya nanti bisa tahu mana yang benar,” ujar Inas.
Arsip yang dipamerkan, Inas melanjutkan, berdasarkan hasil kajian Student for Justice in Palestine ITB, lalu dicocokkan dengan arsip The Palestinian Museum. Pemutakhiran datanya berasal dari laporan para jurnalis independen. Ketika ada perbedaan data, misalnya jumlah korban warga Palestina, panitia pameran memutuskan untuk menuliskan angka dari otoritas resmi serta media massa.
Inas dan kawan-kawan memulai sejarah Palestina dari 1516 ketika seluruh wilayah Asia Barat merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman. Sultan Suleiman, 1520-1566, membangun tembok megah yang mengelilingi Kota Tua Yerusalem. Kesultanan itu melanjutkan tradisi toleransi antarumat beragama serta membuka gerbangnya bagi ratusan ribu pengungsi Yahudi yang melarikan diri dari penganiayaan di Spanyol dan bagian lain. Aturan penguasa menjamin kebebasan orang Yahudi dan Kristen pergi ke situs dan monumen keagamaan mereka masing-masing.
Hingga 1887-1888, populasi bangsa Arab di Palestina berjumlah sekitar 600 ribu jiwa yang mayoritas adalah muslim Sunni, kemudian Kristen, dan orang Yahudi yang berjumlah sekitar 25 ribu jiwa. Mereka hidup berdampingan dengan damai dan mengalami kesulitan hidup bersama. Namun hubungan berbagai kelompok etnis di dalam kekaisaran menjadi makin tegang selama periode dari pergantian abad hingga Perang Dunia I ketika sebagian besar wilayah di bawah pengaruh nasionalisme Eropa.
Jejak pendudukan di Palestina dapat ditelusuri asal-usulnya sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Seiring kebangkitan politik Zionisme dan kedatangan para pemukim zionis dengan tokoh awal Edmond de Rothschild, 1845-1934, yang mendukung pembelian tanah secara besar-besaran di Palestina dan menjamin pemukiman Yahudi di sana.
Rothschild memberikan dukungan signifikan terhadap gerakan itu sepanjang 1880-an hingga terbentuk Asosiasi Penjajahan Yahudi atau Jewish Colonization Association pada 1891 oleh Baron Maurice de Hirsch. Tujuannya adalah memfasilitasi orang-orang Yahudi yang dipersekusi di beberapa negara Eropa ke Argentina hingga membantu pemukiman Yahudi di Palestina.
Pada 1916, wilayah bekas Kesultanan Ottoman atau Utsmaniyah dibagi-bagi lewat perjanjian rahasia Sykes-Picot yang melibatkan negara besar Eropa sehingga terbentuk zona pengaruh Inggris, Prancis, dan Rusia yang kemudian juga melibatkan Italia. Ketika Perang Dunia I, Inggris, yang mendukung gerakan Zionisme, awalnya berharap mendapat dukungan kalangan elite Yahudi untuk membantu biaya perang. Dukungan itu disampaikan lewat Deklarasi Balfour 1917 via surat dari Menteri Luar Negeri Ingris Arthur Balfour kepada Lionel Walter, Lord Rothschild kedua yang menjadi pemimpin tidak resmi komunitas Yahudi Inggris.
Deklarasi Balfour diterima dengan antusias oleh gerakan Zionis, tapi ditolak oleh pemimpin dan penduduk Arab yang merasa dikhianati oleh Inggris karena mereka telah dijanjikan kemerdekaan. Implikasinya, Liga Bangsa-Bangsa memutuskan untuk memberi mandat kepada Inggris atas Palestina, kemudian terjadi peningkatan migrasi orang Yahudi, hingga tercipta konflik berkepanjangan antara komunitas Arab dan Yahudi.
Menjelang akhir mandat kepada Inggris pada 1947, Gaza menjadi bagian dari negara Palestina dalam rencana partisi PBB. Namun peristiwa Nakba membuat Gaza berada di bawah kekuasaan Mesir pada 1948-1967. Pembagian wilayah oleh PBB pada 1947 menetapkan 42 persen tanah untuk mayoritas penduduk Palestina, sementara 56 persen area untuk minoritas Zionis. Adapun sisa 2 persen daerah yang terdiri atas Kota Yerusalem dan Betlehem akan menjadi zona internasional. Namun gejolak konflik terus berlanjut yang melibatkan beberapa negara.
Serangan Israel ke Mesir, Yordania, dan Suriah pada 5 Juni 1967 menandai dimulainya Perang Enam Hari. Israel kemudian menduduki Gaza, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan Suriah. Pada 25-27 Juni 1967, Israel melakukan aneksasi di Yerusalem Timur dan berbagai wilayah di Tepi Barat, lalu mendeklarasikan wilayah tersebut sebagai bagian dari negaranya. Tindakan itu dikritik dan tidak diakui PBB serta komunitas internasional.
Dari kamp pengungsi Jabalia di Gaza, muncul intifadah pertama pada 9 Desember 1987. Pembentukan Hamas untuk mengangkat senjata bergabung dengan faksi-faksi Palestina lainnya dalam pemberontakan total melawan pendudukan kolonial Israel.
Gerakan intifadah—yang berarti melepaskan diri—sempat berhenti oleh negosiasi di Oslo pada 1993 yang disusul pembentukan Otoritas Palestina pada 1994. Namun, pada 2000, intifadah kembali menyala setelah terjadi kebuntuan politik ketika pemimpin oposisi sayap kanan Israel, Ariel Sharon, mendobrak status quo dan secara paksa memasuki Masjid Al-Aqsa di Yerusalem disertai tentara bersenjata lengkap.
Perlawanan itu memaksa Israel menarik tentaranya dari Gaza pada 2005. Namun, setelah Hamas memenangi pemilihan umum, Israel pada 2006 mengintensifkan pendudukan militernya secara langsung di Gaza dengan memblokade total Jalur Gaza. Konflik berkepanjangan yang ikut menewaskan warga berkobar kembali setelah serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023.
Kementerian Kesehatan Gaza memberi konfirmasi perihal jumlah korban tewas mencapai 44 ribu orang. Sedangkan menurut data PBB, kerusakan di Palestina mencapai 87 persen rumah penduduk, 80 persen fasilitas publik, 87 persen gedung sekolah, 17 dari 36 rumah sakit, 68 persen akses jalan, dan 68 persen lahan pertanian.
Lewat lukisan barunya yang berjudul 4#5 Al-Israa pada kanvas berukuran 100 x 120 sentimeter, seniman M. Abdan menggambarkan kerusakan di muka bumi akibat kezaliman dan kesombongan manusia. Dan itu terjadi di Palestina.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo